Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dakwah harus diteliti ?

Efektivitas dakwah harus diteliti. seminar hasil penelitian atas 5 komunitas di luar jawa, di palembang menunjukkan pada umumnya bekerja untuk mencari nafkah, bukan untuk ibadah.

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBENARNYA sudah lama ada penelitian dakwah. Ada yang dilakukan pihak intel. Apa menghina pejabat tinggi-tinggi? Apa menganjurkan pemberontakan? Mungkin menyuarakan gagasan berbau SARA? Apalagi contohnya sudah banyak--seperti kasus Imran. Bagai racun, dakwah yang diberikanya secara eksklusif kepada bekas anak buah sudah membuahkan perbuatan-perbuatan kriminal. Ada juga yang dilakukan sejumlah lembaga -- seperti Kodi (Koordinator Dakwah Islamiah) DKI Jakarta Raya. Berapa masjid yang ada, dulu dan kini? Bagaimana dakwah dilakukan? Substansinya? Gayanya? Diseminarkan juga--seperti acara lokakarya 'Dakwah Di Ibukota Tahun 2000' tahun lalu. Juga pendidikan dakwah dipakai sebagai umpan untuk mengembangkan hasil kajian. Di samping itu diterbitkan sejumlah buku tentang cara-cara melakukan dakwah di kalangan berbeda-beda: narapidana, masyarakat gedongan, kaum ibu, remaja, begitulah seterusnya. Mudah-mudahan dakwah akan menjadi efektif. Persoalannya justru di sini: efektifkah dakwah hingga saat ini? Dan apakah ukuran yang digunakan? Banyaknya pengunjung? Bukankah banyak di antara mereka mengantuk? Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimanakah diterangkan pola perilaku mereka yang, di luar forum dakwah, tidak berubah banyak? Paling banyak hanya beberapa aspek moralitas pribadi: pakai tutup kepala bagi wanita, rajin ke masjid bagi sementara, getol mendermakan uang bagi yang kaya. Seminar Palembang. Di sinilah perlu direnungkan hasil penelitian atas lima komunitas di luar Jawa, yang diseminarkan di Palembang baru-baru ini. Dari jawaban, umumnya responden ternyata menganggap hidup, hanya untuk bekerja. Fungsi kerja itu umumnya mereka rumuskan sebagai mencari nafkah. Mencari nafkah, sedikit banyak, dikaitkan dengan pertimbangan antargenerasional: untuk kepentingan anak-cucu. Kecil sekali orang yang menjawab bahwa hidup ini untuk beramal dan mengabdi. Cukup mengejutkan. Bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan komunitas-komunitas yang diteliti? Kenyataan itu juga wajar, kalau ditafsirkan dari sudut lain: perhatian warga masyarakat masih terpusat pada upaya bertahan sekedar hidup. Maklumlah masih banyak yang berada pada tahap hidup di bawah garis kemiskinan mutlak. Memang, di luar, dalam pengamatan lahiriah tampak muncul kebutuhan kepada ritus keagamaan dalam skala masif. seperti terbukti dari derasnya arus 'back to mosque'. Tetapi lalu muncul pertanyaan: apakah 'kebangkitan Islam' yang seperti itu sebenarnya bukan pelarian dari derita hidup, upaya 'politik burung unta' untuk melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual? Masih harus diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid, dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman iman serta keterlibatan yang lebih bermakna. Bukti paling nyata dan sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti dari hasil penelitian yang kita bicarakan di sini, adalah tidak bertautnya sama sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran agama. Agama mengajarkan kesetiakawanan, padahal hidup masyarakat kita justru terungkap, oleh penelitian di atas, "menunjukkan lajunya proses individualisasi". Agama menghendaki solidaritas kuat antara berbagai lapisan masyarakat, tetapi dalam kenyataan sebaliknyalah yang terjadi. Kesenjangan semakin besar antara si kaya dan si miskin adalah bukti paling kongkrit. "Khahibin nas 'ala qadri 'uqulihim," kata Nabi Muhammad. Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah. Bukankah diktum Nabi itu justru mengharuskan kita meneliti pelapisan masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya--seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan hiburan bagi para pengunjung. Tetapi dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan kongkrit yang sedang dihadapi. Sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas dipermukaan. Sekedar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritus yang ditetapkan faham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap": ketakutan kepada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama. Hasil penelitian di atas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan amal dan pengabdian menunjukkan betapa salahnya 'agenda dakwah' yang disebutkan terdahulu itu. Ternyata tujuan dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup bermasyarakat. Kalau demikian, bukankah harus disadari - oleh para pemikir dan penentu kebijaksanaan keagamaan Islam kita - bahwa efektivitas dakwah masih harus diteliti?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus