Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah semestinya menutup program pascasarjana yang terbukti melahirkan doktor abal-abal. Praktik itu memungkinkan mahasiswa meraih gelar doktor kurang dari setahun, sangat kilat dibandingkan dengan normalnya- sekitar tiga tahun.
Doktor adalah jenjang akademik tertinggi. Mereka yang meraih gelar itu idealnya mampu memberi perspektif atau temuan baru pada satu bidang ilmiah. Mustahil menyusun sebuah disertasi, sebagai syarat mencapai gelar itu, tanpa melakukan riset yang orisinal dan penelitian "berdarah-darah" .
Faktanya, banyak pejabat di daerah mengambil program S-3 di Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Sejumlah universitas mempermudah kelulusan mereka. Tiba-tiba sang pejabat dengan gagah telah mencantumkan titel doktor di depan namanya. Predikat baru itu menjadikannya mendapat promosi jabatan. Rangkaian ini sangat mencurigakan.
Pemerintah semestinya membongkar kecurangan akademik tersebut. Universitas yang menyediakan program doktor asal-asalan memiliki modus sama. Atas nama kelas khusus atau kelas jarak jauh, kuliah dipadatkan. Mahasiswa tak perlu sering bertatap muka dengan dosennya. Dosen pembimbing pun bisa diundang ke daerah tempat pejabat dengan bayaran mahal. Kelas jarak jauh demikian sudah dilarang sejak 1997. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Penyelenggaraan Program Studi di Luar Domisili Perguruan Tinggi mewajibkan praktik itu mendapat izin menteri. Kuliah tetap harus berlokasi di universitas yang sama.
Pembimbingan disertasi dan promosi juga dibuat enteng dan sama sekali tak mengindahkan etika akademik. Pada 2012-2016, Rektor Universitas Negeri Jakarta Djaali menghasilkan 327 doktor. Artinya, ia mendampingi 65 mahasiswa doktoral per tahun. Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bahkan mendapati seorang promotor di perguruan tinggi lain meluluskan 118 doktor sepanjang 2016- walhasil, ia menghasilkan seorang doktor setiap tiga hari.
Kualitas disertasi promovendus demikian amat meragukan meski dalam persidangan ia dinyatakan lulus cum laude atawa sangat memuaskan. Menurut Pasal 28 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015, beban promotor maksimum membimbing 10 mahasiswa untuk semua jenjang. Dengan beban yang tak terlalu banyak itu, seorang profesor diharapkan secara selektif hanya bisa meluluskan dua-tiga doktor per tahun.
Bisa terjadi materi atau substansi disertasi hanya merupakan hasil olahan salin-tempel atau cut and glue dari informasi yang tersebar di berbagai sumber dan media online tanpa mencantumkan sumbernya. Terbuka sekali kemungkinan mahasiswa melakukan plagiat atau penjiplakan disertasi. Mahasiswa pun bisa saja menggunakan ghost writer untuk pembuatan disertasinya.
Bisnis pembuatan disertasi sudah merebak di mana-mana. Berbagai bentuk disertasi bisa dipesan dengan tarif dan tenggat tertentu di banyak biro jasa. Disertasi palsu adalah kejahatan akademik. Bila terbukti disertasi seseorang dibuatkan orang lain, tidak hanya gelar doktornya harus dicopot, universitas dan promotor yang meluluskannya pun mesti diberi sanksi.
Makin banyak program pascasarjana tak akuntabel, yang proses akademiknya tak memenuhi standar minimum, makin merosot mutu pendidikan Indonesia. Kementerian Pendidikan harus segera membenahi program instan gelar doktor ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo