Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dapatkah Megawati Bertahan Hingga 2004?

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi A. Mallarangeng *) *) Dosen Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta Dapatkah pemerintahan Megawati bertahan hingga 2004? Pertanyaan ini sering kali diutarakan dengan harap-harap cemas. Sebab, jawabannya bisa saja menghilangkan harapan tentang stabilitas pemerintahan, dan menentukan nasib kita sebagai rakyat. Jawaban yang pernah disampaikan Wakil Presiden Hamzah Haz, 12 Desember lalu kepada pers, bahwa sudah bagus jika pemerintahan ini selamat sampai 2004, sama sekali tidak meyakinkan. Jawaban saya, mungkin bisa. Sementara pemerintahan Gus Dur dapat bertahan sampai 21 bulan dengan dukungan hanya 11 persen kursi di parlemen, pemerintahan Megawati dengan kekuatan 34 persen di parlemen akan mampu bertahan hingga 2004. Apalagi jika koalisi dengan PPP (11 persen) dan dukungan TNI/Polri (7 persen) dapat dijaga, di atas kertas pemerintahan ini dapat bertahan walaupun Golkar menarik dukungannya. Persoalannya, pemerintahan seperti apa yang akan berlangsung sampai 2004. Sebuah pemerintahan yang efektif yang mampu memberikan solusi bagi persoalan bangsa, ataukah pemerintahan yang hanya berusaha bertahan demi kekuasaan itu sendiri? Yang kita harapkan tentu saja pemerintahan yang mampu membawa kita keluar dari krisis yang berkepanjangan, menumbuhkan perekonomian, menciptakan lapangan kerja, menjamin kepastian hukum, seraya memberikan rasa aman bagi setiap warga negara dan keluarganya. Jelas, kita tidak menginginkan sebuah kekuasaan yang seluruh energinya difokuskan untuk permainan politik demi mempertahankan kekuasaaan, sekadar bisa mencapai garis finish 2004. Memang sulit untuk berharap banyak dalam masa tiga tahun dengan setumpuk warisan kesalahan pemerintahan-pemerintahan terdahulu. Tapi, bukankah semua pemerintahan memang harus mewarisi kesalahan-kesalahan masa lalu dan berkewajiban memperbaikinya? Kalau tidak, untuk apa memberanikan diri dan menganggap diri mampu menjadi pemimpin seluruh rakyat. Dari tiga tahun masa jabatan ini, setahun yang terakhir boleh dikata akan terfokus pada persiapan Pemilu 2004. Pada saat itu, kabinet koalisi besar yang ada di kabinet akan kehilangan gairah bekerja karena masing-masing akan lebih melihat satu sama lain sebagai kompetitor dalam pemilu. Artinya, masa efektif pemerintahan ini sebenarnya hanya dua tahun pertama. Sementara itu, hampir setengah tahun pertama sudah berlalu tanpa ada kemajuan berarti. Bahkan kebijakan-kebijakan yang solid yang dapat menjadi landasan penyelesaian masalah-masalah bangsa belum juga tampak. Kini, masa efektif pemerintahan ini boleh dibilang hanya tinggal satu setengah tahun. Jika waktu tersisa ini tidak dipakai dengan baik untuk menyiapkan prioritas yang tepat bagi persoalan bangsa, kita akan kehilangan waktu enam tahun, yaitu tiga masa kepresidenan dalam era reformasi, untuk membawa bangsa ini bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Ini merupakan era yang mahal dan penuh dengan korban kemanusiaan, sementara bangsa-bangsa lain telah melangkah maju, keluar dari krisis. Upaya memperbaiki ekonomi rakyat dan meredam persoalan politik yang tidak perlu adalah fokus yang perlu diambil oleh pemerintahan ini. Nilai tukar rupiah dan indeks harga saham yang terpuruk, defisit anggaran dan utang luar negeri yang mengancam inflasi, tingkat investasi yang merangkak, pertumbuhan ekonomi yang jauh dari harapan, serta tingkat pengangguran yang menyesakkan merupakan persoalan yang membutuhkan perhatian utama. Pengalaman negara-negara lain memperlihatkan, pemerintahan bisa jatuh karena ekonomi yang tidak terurus. Karena itu, dalam waktu yang sangat sempit ini, pemerintah harus mencegah jangan sampai persoalan politik yang tidak perlu justru mengusik usaha perbaikan ekonomi rakyat. Ini bukan berarti saya menganjurkan sebuah moratorium politik seperti yang disarankan oleh beberapa pakar. Sama sekali bukan. Yang saya maksudkan adalah sebuah manajemen politik yang bertujuan meredam konflik politik yang terbuka dan mencegah konflik politik yang potensial dengan mencari solusi yang dapat diterima berbagai pihak, setidaknya sampai 2004. Salah satu konflik yang tidak perlu tapi secara potensial sangat dapat mengganggu upaya perbaikan ekonomi adalah soal hubungan pusat-daerah. Ini bisa dalam bentuk ekstrem berupa ancaman separatisme, seperti di Aceh dan Papua, juga di Maluku, Riau, dan sebagainya. Dalam bentuknya yang lebih moderat, ia berupa pembangkangan daerah terhadap pusat, pendudukan masyarakat dan pengambilalihan daerah secara sepihak atas aset pusat, dan pembuatan peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan pusat. Dalam bentuknya yang lebih ringan adalah munculnya berbagai retorika konflik antara pusat dan daerah tentang isu-isu kewenangan, atau munculnya berbagai tuntutan hukum antara pusat dan daerah tentang kewenangan, aset, dan uang. Semua bentuk konflik itu akan menimbulkan ketegangan yang tidak perlu antara pusat dan daerah, menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan warga negara, dan merusak legitimasi dan kinerja pemerintahan. Pengalaman kita sebagai sebuah negara yang sedang berproses menjadi bangsa, konflik politik dan ketegangan pusat-daerah selalu melibatkan emosi-emosi etnisitas, kedaerahan, dan agama. Ini menyebabkan proses penyelesaiannya sering berlarut-larut, irasional, dan menjalar ke arena-arena lain yang tidak terkira. Jika energi dan fokus pemerintahan ini harus tersedot untuk mengurusi ketegangan pusat-daerah, niscaya tidak mungkin pemerintahan ini dapat memusatkan perhatian untuk memperbaiki ekonomi rakyat. Jadi, resepnya sederhana: hentikan upaya-upaya yang dapat menimbulkan konflik politik dan ketegangan yang tidak perlu antara pusat dan daerah, dan sebaliknya teruskan dengan sungguh-sungguh kebijakan yang dapat meredam konflik politik dan ketegangan itu. Dalam bahasa yang lebih gamblang, resep itu menjadi "hentikan upaya resentralisasi, dan teruskan dengan sungguh-sungguh implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah". Desentralisasi dan otonomi daerah adalah kebijakan yang bertujuan mengembalikan kepercayaan masyarakat di daerah dan pemerintah daerah terhadap entitas yang bernama pemerintah pusat. Dengan kebijakan ini, kita ingin menyampaikan pesan bahwa, dalam era reformasi ini, pemerintah pusat sudah berbeda dengan pemerintah pusat sebelum era reformasi. Karena itu, pemerintah pusat ini bersedia berbagi kewenangan dan keuangan secara adil dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Jadi, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan solusi bagi persoalan konflik politik dan ketegangan pusat-daerah. Sebaliknya, sentralisasi justru mengancam integrasi bangsa. Sebagian saudara-saudara kita di Aceh dan Papua meneriakkan tuntutan merdeka justru sebagai reaksi terhadap sentralisme kekuasaan yang sekian lamanya menebarkan ketidakadilan dan pelecehan. Jika sentralisasi menyebabkan disintegrasi bangsa, resentralisasi akan berakibat serupa. Dalam konteks ini, revisi Undang-Undang No. 22/1999 dan Undang-Undang No. 25/1999 merupakan upaya resentralisasi. Dengan kata lain, ia merupakan upaya untuk menjerumuskan pemerintahan ke jurang yang tak berujung dalam ketegangan pusat-daerah. Ketegangan ini akan sulit diselesaikan karena ketidak-percayaan dijadikan lagi sebagai landasan hubungan. Bahwa ada persoalan yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah, itu tidak dapat dimungkiri. Tapi penyebabnya harus dikaji dan dievaluasi secara saksama. Apakah undang-undangnya yang menjadi biang ataukah justru pelaksanaannya? Apakah undang-undang itu yang harus direvisi ataukah pemerintah pusatnya yang tidak menjalankan tugas implementasinya dengan sepenuh hati, dengan saksama dan tepat? Apakah pasal-pasalnya yang salah ataukah pemerintah pusat yang tidak kunjung menetapkan berbagai pedoman, norma, kriteria, standar, dan prosedur dalam bentuk peraturan pelaksanaannya? Apakah ayat-ayatnya yang keliru ataukah pemerintah pusat yang tidak melakukan monitoring, supervisi, dan koordinasi terhadap jalannya devolusi kewenangan? Seharusnya kita melakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu terhadap implementasi otonomi daerah sehingga kita mempunyai data dan peta yang obyektif tentang persoalan yang muncul. Dengan itu, kita dapat melakukan revisi yang komprehensif. Lagi pula, implementasi otonomi daerah baru setahun, yang dipenuhi dengan berbagai persoalan transisional seperti formula dana alokasi umum, transfer kewenangan, transfer pegawai negeri sipil pusat ke daerah sebesar 2,1 juta jiwa, restrukturisasi birokrasi daerah sesuai dengan kewenangan dan transfer pegawai pusat, dan penetapan APBD secara trial and error karena data transfer keuangan dari pusat tidak jelas. Ada juga persoalan dana bagi hasil yang baru turun bulan Juni, serta kenaikan gaji pegawai negeri sebesar 15 persen pada Mei yang berlaku surut pada 1 Januari 2001, yang harus ditanggung daerah. Biarkan implementasi otonomi daerah dilakukan setahun lagi, dengan secara sungguh-sungguh menetapkan kerangka-kerangka acuannya sembari pemerintah pusat mengefektifkan fungsi monitoring, supervisi, dan koordinasinya. Setelah itu, kedua undang-undang itu kita evaluasi secara menyeluruh pada tahun 2003, yang disesuaikan pula dengan hasil amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Setelah Pemilu 2004, parlemen baru dapat melakukan revisi secara menyeluruh pada kesempatan pertama. Dengan resep sederhana itu, pemerintah pusat dapat menghindarkan diri dari konflik dan ketegangan yang tidak perlu antara pusat dan daerah. Ini juga akan meningkatkan kepercayaan masyakat dan pemerintah daerah terhadap Jakarta. Dengan demikian, pemerintah pusat bisa lebih memusatkan energi pada upaya perbaikan yang dilakukan oleh tim ekonomi yang sering disebut The Dreaming Team. Maksud saya The Dream Team.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus