Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU tak bisa disebut berpikiran sempit, mandek atawa jumud, alasan ini jelas mengada-ada. Spirit dakwah Sunan Gunungjati dicatut sebagai salah satu dalih penolakan terhadap pengangkatan seorang Kepala Polisi Resor (Kapolres) Kota Cirebon yang bukan muslim. Protes dilakukan sebagian organisasi massa Islam di kota yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa itu.
Protes berjemaah itu cuma relevan untuk satu hal: Cirebon memang didirikan oleh wali yang nama aslinya Syarief Hidayatullah dan wafat pada abad ke-16 itu. Selebihnya jauh panggang dari api. Selain beda konteks historis, para pemrotes yang ramai-ramai berkirim surat ke Kapolri itu lupa bahwa sejatinya mereka hidup di negara yang bukan mendasarkan diri pada agama tertentu.
Republik ini bukanlah negara agama. Semua agama diakui dan kesetaraan antarpemeluk agama juga dijamin oleh konstitusi. Meski mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, sampai kini kita masih bersepakat bahwa negara kita tidak diatur dengan hukum syariah. Cirebon pun, meski 90 persen lebih penduduknya muslim, juga tidak (atau belum) mengikatkan diri secara formal berdasarkan ketentuan agama satu di atas agama lainnya.
Sikap polisi sudah tepat. Meski dihujani protes bertubi-tubi, disertai surat resmi penolakan kepada Kapolri di Jakarta, mereka tetap mengirim Kapolres Ajun Komisaris Besar Polisi Edison Sitorus, seorang Kristiani, untuk bertugas di kota yang dikenal dengan empal gentongnya itu. Tapi bukan berarti polisi lantas cuek-bebek terhadap aspirasi masyarakat kota wali yang padat santri itu.
Jika kelak Kapolres Edison tetap mengikis perjudian dan pelacuran, itu bukanlah lantaran dia sedang berbulan madu dengan umat muslim atau ingin mengambil hati mereka. Tapi tindakan ini lebih didasari karena semua perbuatan maksiat tersebut melanggar undang-undang. Ujian berat bagi Edison, memang: berpijak pada hukum positif di tengah masyarakat yang lagi gandrung menegakkan syariah.
Polisi adalah alat negara. Mereka wajib menjalankan peraturan di negara ”sekuler” ini, termasuk menertibkan perjudian, penjualan minum keras, dan pelacuran, lepas dari apa pun agamanya. Polisi brengsek tak ada hubungannya dengan agama yang dipeluknya. Polisi yang memeras, melindungi perjudian, membekingi pembalakan liar, bisa memeluk agama apa pun.
Para pemrotes berdalih sang Kapolresta akan kesulitan diajak berembuk dengan masyarakat yang biasa dilakukan di masjid. Weleh-weleh, soal teknis begini kok repot amat mengaturnya. Mengapa dibikin susah? Komunikasi mestinya tak perlu terbentur alasan beda agama ini. Keindahan Islam adalah ketika yang non-muslim dipersilakan masuk ke masjid untuk berembuk. Kalaupun ada yang kuat beranggapan tak boleh duduk di dekat mihrab, ambil saja terasnya, atau ruangan khusus di sekretariat takmir masjid. Beres.
Cirebon identik dengan Islam karena didirikan oleh Sunan Gunungjati? Justru karena kental dengan sejarah Islam itulah para penentang Kepala Polresta mestinya lebih bisa bersikap inklusif. Bukankah oleh para wali, termasuk Kanjeng Sunan Gunungjati, Islam disebarkan dengan santun dan saling menghargai, tanpa rasa permusuhan, terhadap mereka yang berbeda keyakinan?
Menolak dan memprotes pejabat lokal tentu boleh-boleh saja. Tapi itu harus didasarkan pada aspek kinerjanya. Bu-kan karena keyakinannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo