Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERLALU pagi untuk mengkritik Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi. Unit kerja itu belum lagi mulai bekerja. Surat keputusan presiden yang membentuknya pun baru sebulan umurnya. Padahal unit kerja akan bertugas selama tiga tahun.
Maka, sikap paling baik sekarang adalah memberi waktu cukup dan melihat unit kerja itu menjalankan tugasnya. Kritik bertubi-tubi sejak dini terhadap unit kerja yang belum tampak "apa-apa"-nya itu bisa-bisa dianggap sebagai langkah yang kurang berpihak pada pelaksanaan pro-gram-program reformasi.
Lagi pula, dalam sistem presidensial, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya hak prerogatif untuk memilih dan mengangkat pembantunya. Hak prerogatif ini menurut konstitusi melekat pada jabatan presiden, dan bukan wakil presiden.
Itu sebabnya pelaksanaan hak itu memang tidak memerlukan "persetujuan" dari wakil presiden. Kalau diperlukan, presiden bisa saja meminta masukan dari wakil presiden. Tapi bila presiden tidak meminta masukan wakil presiden, itu bukan sebuah kesalahan, walau agak "menyimpang" dari kebiasaan selama ini.
Dalam hal ini kritik Partai Golkar, bahwa tidak dilibatkannya Jusuf Kalla dalam pembentukan unit kerja bisa merusak hubungan presiden dan wapres, terdengar berlebihan. Kritik Golkar itu terasa dilandasi paradigma berpikir sistem parlementer, di mana seorang perdana menteri wajib meminta pertimbangan partai-partai pendukung pemerintahannya.
Tambahan lagi, Partai Golkar pernah mengambil peranan sebagai oposisi bagi pemerintahan SBY. Golkar baru mendukung pemerintah tidak lama setelah Jusuf Kalla-yang tidak dicalonkan Partai Golkar-menjadi wakil presiden. Perlu diingatkan, setiap pilihan politik mengandung konsekuensinya sendiri, misalnya dalam hal memasukkan kader ke dalam pemerintahan.
Barangkali, yang tidak terlontar keluar adalah kekhawatiran Partai Golkar bahwa unit kerja akan mengambil alih sebagian tugas wakil presiden-yang notabene ketua umum partai.
Namun, bila keterangan Menteri Koordinator Perekonomian Boediono bisa dipakai sebagai pegangan, kekhawatiran itu tak perlu. Unit kerja itu hanya bertugas memonitor dan memberikan masukan kepada presiden tentang lima bidang, misalnya perbaikan investasi, pelaksanaan reformasi, dan peranan usaha kecil dan menengah.
Ada pendapat tugas ini terlalu luas. Tapi unit kerja, yang mungkin mendapat inspirasi dari pemerintahan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, mungkin bisa memecahkan soal penting yang menjadi salah satu kelemahan pemerintahan Presiden SBY. Satu kelemahan itu, banyak program dan memorandum of understanding dibuat, tapi belum banyak yang diimplementasikan.
Barangkali karena "mengidap" kelemahan itulah pemerintahan SBY banyak dikritik berjalan lamban. Padahal beberapa soal perlu diputuskan lebih cepat, terutama yang menyangkut ekonomi-bidang yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Banyaknya program yang belum terlaksana di bidang ekonomi, termasuk yang menyangkut investasi, membuat usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi terhambat. Bukankah bila unit kerja bertugas dengan baik, Presiden SBY akan lebih banyak mencurahkan perhatian pada program-program peningkatan kesejahteraan rakyat kecil?
Karena itu, meminta unit kerja segera dibubarkan, seperti terlontar dari mulut Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, agaknya terlalu buru-buru. Dengan tetap menghormati hak berbeda pendapat, yang paling baik sekarang adalah memberikan waktu kepada unit kerja untuk bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo