Mirza Adtyaswara *)
*Analis perbankan Business Reform & Reconstruction Corp.
SEMENJAK krisis empat tahun lalu, semua ramalan mengenai kondisi ekonomi Indonesia harus bergantung pada prediksi mengenai kurs rupiah—yang banyak bergantung pada situasi politik dan keamanan. Naik-turunnya kurs rupiah sangat mempengaruhi angka kredit ermasalah dan juga inflasi. Selanjutnya, inflasi akan sangat menentukan tren suku bunga. Karena itu, tanpa mengesampingkan faktor-faktor ekonomi makro, prediksi kondisi perbankan masih harus dimulai dengan meramalkan situasi politik dan keamanan Indonesia pada tahun 2002.
Terlepas dari tidak adanya kemajuan dalam pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme, harus kita akui bahwa situasi politik sekarang sudah jauh lebih stabil daripada periode 1998-Juli 2001. Suhu politik yang lebih sejuk ini bersumber pada semakin kuatnya posisi politik Megawati dan kemungkinan adanya kompromi antar-partai politik untuk tidak mengganggu pemerintahan ini sampai Pemilu 2004. Dari sisi luar negeri, melunaknya tekanan pemerintah Amerika Serikat terhadap Indonesia sangat membantu membawa ketenangan di dalam negeri. Maka bisa dikatakan, sejak kuartal keempat 2001, faktor politik tidak lagi menjadi faktor penentu pergerakan kurs rupiah.
Salah satu faktor ekonomi yang akan mempengaruhi suhu politik pada tahun 2002 adalah dibukanya kembali pembahasan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia. Maka dibutuhkan sikap yang bijak dari kedua belah pihak, baik pemerintah maupun Bank Indonesia, dalam pembahasan undang-undang tersebut demi kepentingan nasional.
Implementasi penurunan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik juga merupakan faktor ekonomi yang akan mempengaruhi suhu politik tahun 2002. Apabila pemerintah sanggup menyosialisasi kenaikan harga BBM/listrik dengan baik, bukan hal yang mustahil kestabilan politik akan terjamin sampai 18 bulan ke depan. Mengapa hanya sampai semester pertama 2003? Karena rasanya suhu politik akan kembali memanas di semester kedua 2003, menjelang Pemilu 2004.
Jika situasi politik-keamanan tidak menjadi faktor penentu pergerakan kurs rupiah pada tahun 2002, ada faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi pergerakan mata uang rupiah. Itu adalah pelaksanaan letter of intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF), neraca pembayaran, anggaran pemerintah, serta volume permintaan dan penawaran valuta asing.
Dalam hal implementasi LoI, pasar selalu menyoroti program divestasi aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), program privatisasi badan usaha milik negara (BUMN), dan program reformasi hukum. Dengan berakhirnya konflik di Afganistan, Indonesia kembali menjadi tidak terlalu penting di mata Amerika. Maka pemerintah tidak bisa berharap bahwa Amerika dan negara donor akan tetap bersikap lunak terhadap kegagalan-kegagalan Indonesia dalam melaksanakan kesepakatan dengan IMF.
Pada tahun 2001, BPPN tampaknya tidak mengalami kesulitan mencapai target penerimaan tunai Rp 27 triliun walaupun untuk target penukaran obligasi Rp 10 triliun mungkin hanya tercapai 65 persen. Yang mengecewakan adalah governance/transparansi BPPN pada tahun 2001 yang tampaknya memburuk.
Target penerimaan tunai BPPN pada tahun 2002 naik menjadi Rp 35 triliun. Dengan semakin kecilnya aset eks Salim Group yang tersisa, di kuartal ketiga 2002, divisi Asset Management Investment (AMI) BPPN harus berusaha menjual aset eks pemilik bank bermasalah seperti Sinar Mas Group, Admajaya Group, Bob Hasan Group, dan Gadjah Tunggal.
Divisi Asset Management Credit (AMC) BPPN harus mulai menjual unsustainable portion dari kredit yang sudah direstrukturisasi (dalam bentuk saham dan convertible bonds) dan juga menjual kredit yang belum direstrukturisasi. Selanjutnya, divisi Bank Restructuring Unit (BRU) BPPN sebaiknya tidak lagi berfokus pada upaya stabilisasi, tapi harus mulai memutuskan strategi divestasi Bank Niaga, Danamon, Lippo, BII, dan bank hasil merger Bali-Universal.
Kurs rupiah dan suku bunga juga dipengaruhi oleh neraca pembayaran, yang banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dunia. Sementara itu, komponen neraca modal banyak dipengaruhi oleh status restrukturisasi utang dan kepercayaan investor terhadap Indonesia.
Konsensus saat ini adalah ekonomi Amerika akan bangkit di semester kedua 2002. Jika itu benar, kita bisa bernapas lega karena ekspor akan kembali bergairah. Tapi, jika perekonomian Amerika masih menurun, bukan hal yang mustahil tahun depan Indonesia kembali mengalami defisit neraca pembayaran. Dalam situasi seperti itu, secara teoretis kurs rupiah akan melemah dan suku bunga sulit untuk turun, yang akan berakibat pada memburuknya kualitas aktiva dan kembali tersendatnya pengucuran kredit. Untuk mencegah terjadinya defisit neraca modal, pemerintah harus terus berupaya melakukan restrukturisasi utang luar negeri dan menciptakan iklim yang kondusif buat investor asing.
Pasar juga sangat memperhatikan situasi anggaran pemerintah. Jika pemerintah gagal menurunkan subsidi, rupiah mungkin melemah. Dilematisnya, jika kenaikan harga BBM/listrik menimbulkan gejolak politik, rupiah juga akan melemah. Yang jelas, kenaikan harga BBM/listrik pasti akan membuat inflasi tetap tinggi pada tahun 2002. Jadi, secara teori memang sulit mengharapkan penurunan bunga pada tahun 2002. Walau demikian, dengan melihat "suku bunga riil" di negara-negara tetangga, saya tetap berpendapat bahwa sebenarnya ada ruang buat Bank Indonesia untuk menurunkan bunga sebesar 1,5 persen.
Banyak investor yang tahu bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan fiskal pada tahun 2004-2009, yaitu jatuh temponya obligasi rekap. Hal inilah yang membuat investor sangat membatasi credit limit buat pembelian aset di Indonesia. Karena itu, akan lebih baik bagi psikologi dan transparansi pasar jika pemerintah sejak sekarang menjelaskan strategi fiskal sampai tahun 2009.
Kondisi perbankan sebenarnya masih rentan karena porsi kredit kategori II (kredit dalam perhatian khusus) masih sangat tinggi. Walaupun kredit bermasalah kategori III, IV, dan V hanya sekitar 18 persen, jika kita masukkan kredit kategori II, angka kredit bermasalah masih sekitar 41 persen.
Jika situasi membaik, kredit kategori II akan menjadi kategori lancar. Tapi, jika situasi memburuk, besar kemungkinan kredit kategori II akan kembali menjadi bermasalah, padahal pencadangan yang ada hanya cukup menutup 40 persen dari jumlah kredit bermasalah. Apabila ini terjadi, tidak mustahil Bank Indonesia terpaksa melonggarkan kembali peraturan capital adequacy ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal dan pencadangan. Mudah-mudahan skenario pesimistis ini tidak akan pernah terjadi.
Jika politik tetap stabil pada tahun 2002, penyaluran kredit sangat mungkin akan lebih tinggi daripada tahun 2001. Tapi situasi setiap bank sebenarnya berbeda-beda. Di antara bank-bank BPPN, BII masih memerlukan tambahan modal sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti deferred tax dan tagihan antarbank. Bali-Universal harus ditambahi modal agar CAR-nya mencapai di atas 12 persen dan sebagian obligasi rekap berbunga tetap harus diganti bunga mengambang. Bank-bank ini sepertinya baru layak melakukan divestasi pada tahun 2003.
Pemerintah kembali berjanji melakukan divestasi atas Bank Niaga, tapi divestasi baru bisa dilakukan apabila obligasi berbunga tetap diganti berbunga mengambang. Lippo memiliki biaya dana yang lebih rendah daripada BCA dan CAR-nya 23 persen. Maka, setelah opsi pemilik lama jatuh tempo, Lippo selayaknya masuk dalam program divestasi di kuartal ketiga 2002. Sedangkan Bank Danamon, yang kondisinya membaik, layak masuk program divestasi paling lambat awal 2003.
BRI mempunyai kinerja lebih bagus daripada BNI dan Mandiri, baik dalam biaya dana maupun kualitas aktiva dan pencadangannya. Walaupun ada perbaikan kinerja di Mandiri, bank tersebut masih memiliki kredit kategori II yang cukup besar dan kendala tingginya biaya dana.
Tantangan paling besar membenahi bank BUMN adalah bagaimana membangun budaya prudent banking. Salah satu cara untuk memperbaiki governance dan kinerja bank BUMN adalah dengan mengikat technical assistance atau twinning management dengan strategic bank dan setelah itu secepatnya dilakukan divestasi. Tapi, seperti biasa, ide seperti ini selalu menemui hambatan politis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini