Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"We do indeed have to face the past, for if we do not face the past, it may return." ?Desmond Tutu
Putusan Mahkamah Agung yang membebaskan Abilio Soares dari pelanggaran berat hak asasi manusia tentu disambut rasa syukur oleh keluarga Abilio. Saya pun ikut merasa lega karena saya tak paham mengapa ia yang dihukum, sementara pihak-pihak lain, terutama tentara yang bertanggung jawab pada tragedi hak asasi pascajajak pendapat di Timor Timur dibebaskan. Ada rasa keadilan yang terusik. Seyogianya semua pihak yang diduga terlibat pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur berdasarkan kesimpulan penyidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPP HAM Timtim) dihukum. Jadi, jangan hanya orang-orang sipil yang justru tak perannya tak sebesar para petinggi tentara yang dijadikan kambing hitam. Apa yang salah dengan proses peradilan pelanggaran hak asasi manusia Timor Timur?
Tidak mengherankan jika Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, bebasnya Abilio Soares menyusul bebasnya para terdakwa lain telah menimbulkan erosi kepercayaan komunitas internasional akan kredibilitas pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. Seiring dengan itu, beberapa pemerhati hak asasi manusia khawatir bahwa bebasnya Abilio Soares ini justru akan membuka kembali kasus Timor Timur di forum internasional yang bukan mustahil akan menghidupkan kembali tuntutan perlunya penyidikan dari pihak PBB.
Saya sendiri tidak terlalu yakin hal itu akan terjadi, karena suasana global sekarang ini tak terlalu bersemangat mengusut kasus pelanggaran hak asasi manusia. Perang melawan terorisme sekarang menyita banyak sekali tenaga dan perhatian sehingga soal pelanggaran hak asasi manusia jadi kurang penting. Setidaknya, menangnya George Bush dalam pemilihan Presiden Amerika baru-baru ini jelas akan menjadi sandungan bagi pengusutan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, pelanggaran hak asasi manusia di kamp konsentrasi Guantanamo dan penjara Abu Ghuraib, misalnya, tetap akan ditutup kabut hitam. PBB tidak berdaya sama sekali. Dalam kaitan ini, saya tak melihat pengusutan kembali kasus pelanggaran hak asasi manusia Timor Timur akan diagendakan, apalagi Presiden Timor Timur Xanana Gusmao tampaknya ingin mengubur masa lalu dan berbaik-baik dengan pemerintah Indonesia.
Asas kedaulatan negara melindungi lembaga peradilan dari intervensi internasional meskipun lembaga peradilan tersebut tidak independen, atau tidak memenuhi kriteria yang universal berlaku di tingkat internasional. Hanya saja kualitas lembaga peradilan yang "cacat" ini akan menjadi catatan bahwa nanti akan sangat sulit melaksanakan pengadilan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Saya kira tak banyak yang peduli konsekuensi ini karena masa depan tak perlu dipikirkan sekarang: yang penting Indonesia sekarang ini terlepas dari cengkeraman Pengadilan Internasional. Seolah persoalan Indonesia selesai dengan tak mungkinnya Pengadilan Internasional dibentuk sehingga rasa malu pemerintah seperti di Yugoslavia dan Rwanda tak perlu terjadi di sini. Sayang, ini semua barulah separuh dari kebenaran. Faktanya, persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur tak akan bisa selesai karena dukacita para korban belum jua terobati. Luka yang dalam itu tak akan pernah sembuh.
Pemerintah Indonesia tampaknya ingin segera mengakhiri proses peradilan ini dan melangkah ke agenda rekonsiliasi yang dalam akan difasilitasi oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?undang-undangnya baru saja disahkan DPR pada September yang lalu. Tujuan komisi ini adalah menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, serta mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. Jelas, titik berat Komisi ini adalah rekonsiliasi yang melalui pengungkapan kebenaran (truth telling) dan diikuti proses penyembuhan (healing). Lalu Komisi akan mempertimbangkan pemberian kompensasi, rehabilitasi, dan amnesti.
Di mana keadilan (justice) dalam proses ini? Komisi serupa yang dibentuk di Guatemala dalam laporannya setebal 3.600 halaman yang berjudul "The Memory of Silence", "reconciliation is impossible without justice" menunjukkan, para korban tak akan ikhlas menerima rekonsiliasi kalau tak ada keadilan. Hasilnya, rekonsiliasi pun gagal.
Terus terang, amat sukar buat saya membayangkan rekonsiliasi di Aceh dan Papua tanpa ada keadilan. Sayangnya, terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah menegaskan bahwa fokus utama Komisi adalah mengungkapkan kebenaran (truth) dalam rangka mencapai rekonsiliasi nasional. Kewenangan yang cukup luas pada Komisi mencakup kewenangan penyidikan, permintaan keterangan dan dokumen dari pihak mana pun (discovery), memanggil dan memeriksa (subpoena), merekomendasikan rehabilitasi, kompensasi dan amnesti. Tak ada kewenangan untuk menyeret pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan kecuali pelaku pelanggaran hak asasi manusia itu tak mau mengungkapkan pelanggaran yang dilakukannya dan tak menunjukkan rasa penyesalan sama sekali.
Seyogianya, dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia, yang utama adalah para pelakunya harus diseret ke pengadilan dan dihukum. Harus ada yang diproses agar ada proses pembelajaran bagi semua pihak di negeri ini. Sayang, pandangan ini tak dianut oleh pembuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tidak salah jika dikatakan bahwa paradigma yang dibangun adalah sepenuhnya paradigma rekonsiliasi yang lebih cenderung berpihak kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia, bukan paradigma keadilan yang berpihak pada korban pelanggaran hak asasi manusia.
Rekonsiliasi yang sejati adalah penting dan mulia karena ini akan menjadi social capital yang berharga untuk menuju masa depan. Dalam konteks ini, pendapat ilmuwan politik Kanbawza Win dari Canada menarik untuk disimak. Menurut dia, ada empat elemen penting rekonsiliasi, yaitu "no reconciliation without forgiveness, no reconciliation without truth, no reconciliation without justice, and no reconciliation without peace".
Lagi-lagi, di sini elemen justice ditekankan. Saya kira pengalaman di banyak negara membuktikan kepada kita bahwa harga rekonsiliasi itu adalah diberikannya sebagian keadilan kepada para korban. Kalau tidak, rekonsiliasi akan dirasakan sebagai pemutihan dosa (whitewash) yang tidak akan membuat jera (deterrence) dan tak pula menghilangkan apa yang disebut sebagai kejahatan tanpa hukuman atau impunity.
Latar belakang lahirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tampaknya tidak sama dengan yang kita saksikan di Guatemala, Argentina, atau Afrika Selatan, misalnya. Komisi di negara-negara tersebut betul-betul berurusan dengan soal keadilan transisional (transitional justice) akibat pergantian kekuasaan umumnya dari yang otoriter ke kekuasaan yang demokratis. Karena itu, mandat yang diberikan kepada komisi itu dipagari dengan time frame yang jelas.
Sedangkan di sini, komisi yang kita miliki ini praktis berurusan untuk suatu kurun waktu yang panjang sekali, yaitu kurun waktu sebelum UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dilahirkan. Bayangkan, betapa sulitnya komisi ini bekerja karena banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang sudah terlalu jauh jaraknya. Saya kira, meskipun bukan mudah, rentang waktu mandat Komisi bisa dimulai dari peristiwa 1965, karena memang pada waktu itu kita dihadapkan pada tragedi pelanggaran hak asasi manusia yang menelan banyak korban tak berdosa. Tetapi pendapat yang berkembang justru menginginkan rentang waktu mandat Komisi dimulai sejak tahun pertama kemerdekaan. Kehendak politik ini jelas tidak manageable.
Beban yang ditimpakan kepada Komisi harus serealistis mungkin agar Komisi dapat bekerja dan meletakkan dasar bagi tercapainya rekonsiliasi sejati. Hal ini penting karena luka-luka masa silam masih tetap membekas. Pemerintah tak akan mampu merangkul semua dukungan jika luka-luka itu dibiarkan menganga. Jadi arti penting komisi ini adalah untuk masa depan kita semua agar kita bisa melangkah bersama tanpa dibebani pahitnya masa lalu. Anggaplah kita tengah melakukan penyucian diri, suatu katarsis sejarah.
Potret sosial politik yang terbelah-belah sekarang ini sebagian adalah buah dari masa lalu kita yang penuh konflik. Lihat apa yang terjadi di Poso, Aceh, Papua, Maluku, dan tempat-tempat lain. Lihat pula apa yang terjadi di DPR dan elite politik negeri ini. Saya kira tantangan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono adalah datang dengan agenda rekonsiliasi yang jelas dan realistis.
Sekarang saatnya pemerintah merangkul semua pihak dan kalangan, duduk bersama merajut masa depan. Tapi semua ini harus tetap mengacu kepada justice karena masa depan hanya bisa dibangun jika kita mendasarkannya pada justice.
Kalau ini kerangka pikir yang dianut maka sepatutnya tak ada kontroversi seputar bebasnya Abilio Soares. Abilio tak layak dihukum jika pelanggar hak asasi manusia lainnya terutama dari kalangan tentara tidak dihukum. Proporsionalitas dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di mana pun adalah mutlak. Jangan main politik kambing hitam karena, bagaimanapun, kasus Abilio Soares harus diletakkan dalam kerangka yang lebih besar dan berdasar keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo