Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Mahkamah Agung dalam kasasi perkara korupsi sering tidak disangka-sangka. Setelah membuat orang melongo ketika membebaskan Akbar Tandjung, sekarang Mahkamah Agung (MA) memutuskan menghukum bekas Deputi Ketua BPPN Pande Lubis, yang terlibat kasus Bank Bali. Seolah-olah tidak ada patokan yang bisa teraba dalam cara MA mengarahkan hukum: Pande Lubis kena empat tahun penjara, tapi MA tetap membebaskan pengusaha Joko Tjandra dalam putusan kasasinya. Keduanya tersangkut perkara yang sama, dan keduanya mendapat putusan bebas di tingkat pengadilan negeri.
Perkaranya serupa, bahkan sama, hanya perlakuannya berbeda. Salah satu di antaranya tentu tidak benar. Padahal fungsi MA adalah menjaga kesatuan dan konsistensi penerapan hukum, demi keadilan. Quo vadis Mahkamah Agung? Ada empat kasasi yang diputuskan MA seputar perkara Bank Bali ini, dengan hasil yang berlawanan arah. Dua perkara pidana korupsi, menyangkut Joko Tjandra dan Pande Lubis. Satu perkara sengketa dalam peradilan tata usaha negara (PTUN), menyangkut sah atau tidaknya pembatalan kontrak cessie tagihan Bank Bali yang ditetapkan BPPN. Satu lagi perkara gugatan perdata oleh PT Era Giat Prima—milik Joko Tjandra dan Setya Novanto, bendaharawan Golkar saat itu—terhadap Bank Indonesia dan Bank Bali, meminta agar uang Rp 546 miliar hasil tagihan segera dibayar.
Dari empat putusan kasasi itu, satu berpihak pada pelaku cessie, sedangkan yang tiga lagi tergolong menyatakan cessie tidak sah sambil mengaitkannya dengan korupsi. Putusan MA menyatakan Joko Tjandra bebas, dan uang Rp 546 miliar hasil cessie tagihan Bank Bali yang disita jaksa harus dikembalikan kepada Joko Tjandra. Sebaliknya, kasasi jaksa pada kasus Pande Lubis dikabulkan MA, Pande Lubis dihukum, yang implikasinya adalah uang Rp 546 miliar itu dibebani dengan sifat melawan hukum, berarti Joko Tjandra dan kawan-kawan menguasainya secara tidak sah. Kontradiksi ini harus bisa diselesaikan.
Sebelumnya, kasasi sengketa tata usaha negara dimenangi oleh BPPN, sehingga pembatalan cessie dinyatakan sah, berarti uang Rp 546 miliar hasil cessie tidak pernah jadi hak PT Era Giat Prima atau Joko Tjandra. Gugatan perdata PT Era Giat Prima terhadap Bank Indonesia dan Bank Bali—sekarang lebur menjadi Bank Permata—juga ditolak dalam kasasi MA, sehingga bertambah lagi alasan untuk tidak membenarkan kedudukan Joko Tjandra dalam perkara cessie tagihan Bank Bali ini.
Adakah kesalahan hukum—error of law—yang terjadi? Kita tidak bisa sekadar menerima penjelasan bahwa, karena majelis hakim agung yang memeriksa kasasi Joko Tjandra dan Pande Lubis berbeda, wajar kalau putusannya juga lain. Atau, kalau yang diperiksa tak sama kedudukan dan kekayaannya, putusan pun bisa jadi berbeda. MA seharusnya memakai argumen hukum yang sama untuk kasus yang sama. Kalau MA membolehkan dirinya bersikap diskriminatif, berarti MA benar jadi institution of error dalam hukum di negeri ini.
Ketua MA Bagir Manan memang sudah berusaha, tapi tidak cukup hanya mengimbangi kesalahan dengan menghukum Pande Lubis dan dua putusan kasasi pembatalan cessie serta menolak gugatan perdata. Kalau memang dianggap ada yang salah, kasus Bank Bali harus dibuka kembali dari permulaan sama sekali. Bahkan harus dibongkar secara keseluruhan, dengan membawa semuanya—banyak nama tokoh penting yang terlibat—ke muka pengadilan. Ini memerlukan terobosan hukum, tapi demi keadilan masih lebih dibenarkan daripada membiarkan kesalahan hukum terus berlanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo