Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Dari Peking ke Beijing

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sapardi Djoko Damono

Puluhan tahun yang lalu seorang teman menegur saya karena telah menuliskan nama sebuah tanjung di ujung selatan Afrika, yang banyak disebut dalam sejarah "penemuan" tanah dan negeri non-Eropa, sebagai Tanjung Harapan. Saya pikir dianggap keliru karena tempat itu seharusnya ditulis Tanjung Pengharapan, tetapi ternyata karena dia berpendapat bahwa nama tempat tidak boleh diubah. Katanya nama asli tempat itu Cape of Hope, "Jadi, ya ditulis begitu saja," ujarnya. Lho? Kita tentu tidak boleh berkeberatan jika Bang Hamsat mau naik pesawat ke Yogyakarta sedangkan Den Sastro pilih naik kereta rel ke Ngayogyakarta-meskipun kota yang menjadi tujuan mereka itu sama saja. Jelas bukan lidah yang berbeda yang menentukan perbedaan nama itu, karena dalam menuliskan dalam bahasa Jawa krama (atau kromo), terutama jika juga ditulis dalam aksara Jawa, nama kota yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mataram itu adalah Ngayogyakarta. (Saya ingat Ayuthayya, nama kota lama di Kerajaan Muangthai, eh, Thailand). Lidah Jawa maupun non-Jawa tentu bisa saja menyebut kedua nama itu tanpa kesukaran apa pun. "Mau ke Yogya, Pak?" dan "Badhe tindak Ngayogya, Den?" menyebutkan nama berbeda untuk kota yang sama karena bahasa Indonesia dan Jawa memiliki kebiasaan yang berbeda dalam penyebutan nama itu.

Ketika berbahasa Inggris, kita pergi ke New Zealand; waktu menggunakan bahasa Indonesia kita mau berlibur ke Selandia Baru. Lha, tetapi seandainya ingin pergi ke New York mengapa tidak lucu kalau kita bilang mau ke York Baru? Dan mengapa orang Jawa juga tidak pernah pergi ke York Enggal? Dalam peta dunia yang diterbitkan di Indonesia ibu kota India tetap bernama New Delhi, bukan Delhi Baru, tetapi nama sebuah negeri di Afrika adalah Pantai Gading dan bukan Ivory Coast. Negeri saudara tua kita adalah Jepang, atau Jepun, meskipun orang Inggris menyebutnya Japan dan orang Jepang sendiri menyebutnya entah apa. Priayi Jawa zaman normal akan bangga kalau bepergian ke Negari Welandi, sebuah negeri yang oleh pembantunya dikenal sebagai Negoro Londo. Pada zaman kita ini (yang jangan sampai disebut abnormal) negeri di Eropa Barat itu kita sebut (Negeri) Belanda. Dulu, ketika saya masih menjadi mahasiswa, ada teman yang suka frustrasi setiap kali belajar coro Englan-begitulah dia menyebut bahasa Thatcher. Itu taktik dia melepaskan rasa jengkelnya. Sekarang pun kita tenang saja menyebut kata "Inggris" untuk England, English, dan British sehingga tentunya boleh mengatakan, "Di Inggris orang bicara bahasa Inggris Inggris, di Amerika bahasa Inggris Amerika."

Itu semua merupakan gambaran tentang adanya kebebasan dalam penyebutan nama, tidak hanya yang merupakan terjemahan. Saya lahir di Solo, sebuah negari gung "kota besar" yang juga disebut Surakarta-dalam bahasa Jawa kota itu disebut juga Sala atau Surakarta. Sala, konon, adalah nama sebuah desa di tepi bengawan yang dipilih sebagai pusat kerajaan Jawa; Surakarta adalah nama kota yang dibalik dari Kartasura, kerajaan Jawa yang mendahuluinya, yang jaraknya hanya sekitar 11 kilometer. Bandingkan dengan Tokyo, yang merupakan balikan dari Kyoto (pusat Kerajaan zaman dulu) di Jepang. Nama-nama yang disebut dalam alinea ini mempunyai sejarah, tetapi adakah "aturan" yang mendasari perbedaan dan pengubahan nama kota dan tempat yang disebut sebelumnya?

Tidak ada? Alhamdulillah! Janganlah ada "usul" dengan paksa, atau "paksakan" lewat usul, seperti seputar kata Cina yang pernah disinggung oleh Harimurti Kridalaksana dalam rubrik ini. Perubahan dari Peking menjadi Beijing bukan kehendak masyarakat dunia karena sejak dulu dalam aksara Latin kota tua itu disebut Peking. Seiring dengan berubahnya Peking menjadi Beijing, berubahlah nama kota dan orang di Cina: Kanton menjadi Guangdong, Mao Tse Tung menjadi Mao Zedong, dan Republik Rakyat Cina menjadi Republik Rakyat China. Tentu tidak apalah kita ikuti kehendak bangsa lain, meskipun mungkin alasannya tidak murni linguistik. Meskipun Rusia pasti tidak cemberut kalau ibu kotanya kita sebut Moskow atau Moskwa.

Dan, syukurlah, bahwa dalam hal kaitan antara lafal dan ejaan, Harimurti dan saya tidak pernah mempertengkarkan perbedaan ejaan antara dua suku kata terakhir nama kami, Kridalaksana dan Damono, meskipun bunyi vokal yang sama ditulis dengan huruf yang berbeda. Bukan begitu, Pak Hari?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus