Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Dari Sebuah Pemberontakan Pajak

Arthur Laffer menyerukan teori tentang perlunya pajak diturunkan. pemberontakan pajak terjadi di negara bagian california, disebut propotion 13. anggaran menyusut, si miskin juga yang menderita. (ctp)

14 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH seorang ahli ekonomi Amerika yang masih muda yang gemar memelihara burung beo. Rambutnya agak gondrong dan perutnya agak buncit. Pada suatu hari di tahun 1981 ia mengungkapkan inti pandangan ekonominya ke khalayak ramai: "Orang tak bekerja untuk membayar pajak. Orang pada dasarnya bekerja agar memperoleh yang dapat mereka peroleh setelah pajak." Tak luar biasa memang pandangan seperti itu. Namun, sang ahli ekonomi - seperti telah Anda dengar, namanya Arthur Laffer - punya kesaksian yang cukup kuat. Tanggal 6 Juni 1978, di Negara Bagian California, terjadilah sebuah pemberontakan yang kemudian disebut "pemberontakan pajak". Hari itu sejumlah besar pemilih mencetuskan suatu aksi yang disebut sebagai Proposition 13: mereka menurunkan pajak kekayaan secara drastis, lebih dari separuh. Dengan itu, gerundelan yang selama ini terdengar mereka bikin jadi letupan: getarannya menyebar ke seantero negeri. Tak heran bila Arthur Laffer, yang sudah agak lama menyerukan teorinya tentang perlunya pajak diturunkan, jadi tokoh yang populer. Konon suatu hari di bandar udara La Guardia, New York, seorang polisi mengenalinya. Pak Polisi dengan bersemangat menyalaminya. "Saya setuju dengan semua yang Tuan ucapkan," katanya. "Terus saja, biar ada harapan bagi orang kecil." Orang kecil? Polisi itu, yang kena pajak Rp 3 juta buat rumah miliknya, mungkin "orang kecil" dalam ukuran Amerika yang umum. Tapi tak banyak kolega Arthur Laffer yang setuju bahwa anak muda pintar ini juru bicara orang-orang melarat. Para "pemberontak" di berakang Proposition 13 adalah kelas menengah dalam kategorisasi Amerika: punya rumah di daerah bersih, punya mobil satu dua, dan punya wajah putih seperti yang kita lihat dalam film seri TVRI. Mereka tak ingin kekayaan mereka terganggu. Mereka merasa telah banyak memberi. Pajak telah mereka bayar. Tentu, pajak itu digunakan pemerintah untuk membantu si penganggur, si jompo, si miskin, si hitam. Tentu, dengan cara itu pemerintah bukan sekadar hendak melipur rasa risi si kaya yang terdampar di tengah kemelaratan pemerintah juga ingin meningkatkan daya beli, merangsang permintaan, menciptakan aggregate demand dalam sim-salabim John Maynard Keynes. Singkatnya, pemerintah ingin, pada akhirnya, menghidupkan perekonomian dan menyenangkan semuanya.... Tapi lihat: pajak telah dibayar, toh kemiskinan tak kunjung kikis. Uang pada akhirnya lebih terhisap oleh birokrasi yang mau menolong orang-orang miskin itu. Di ujung keran, si miskin cuma dapat tetesan terakhir. Uang juga pada akhirnya hanya memanjakan si pemalas: bukankah para penganggur itu sebetulnya orang-orang yang enggan bekerja? Dan bukankah semua itu telah memandekkan ekonomi? Demikianlah, akhirnya, orang-orang berada itu berontak. Kami kapok, kata mereka. Kami tak punya gairah lagi bekerja, berproduksi, tanam modal, dan seterusnya, kata mereka. Kami tahu, di ujung sana Bapak Pemerintah akan mengambil uang kami. Kami tahu karena Presiden Reagan juga tahu. "Menaikkan pajak," kata presiden itu, akhir Januari 1984, "berarti menimbuni rakyat dengan beban yang tak sepatutnya, memedihkan penyusunan modal dan merusakkan rangsangan untuk tumbuh." Lalu, Amerika pun mencoba, dengan setengah gagah setengah bingung, berdiri di depan defisit. Dulu juga, sehabis Proposition 13, pendapatan pemerintah setempat dari pajak kekayaan merosot, dari US$ 12 milyar jadi US$ 5 milyar. Perpustakaan rakyat, taman-taman kota, museum, rumah jompo, barisan pemadam kebakaran, sekolah negeri, lembaga bantuan orang miskin - semua itu dengan sendirinya terancam kekurangan anggaran. Itu tentu bukan soal besar bagi seorang yang kaya. Ia masih bisa menikmati buku di perpustakaannya sendiri, atau terbang ke suatu tempat untuk menikmati kebun Jepang dan membeli barang antik Mesir. Ia punya mobilitas dan alternatif. Si miskin tidak. Tapi dengan semua itu, salahkah Laffer? Salahkah para "pemberontak pajak" dari California? Mungkin tidak 100%. Orang memang tak bekerja untuk membayar pajak. Dan sepanjang perpajakan adalah manajemen dana-dana di masyarakat, orang memang perlu yakin lebih dulu: berhakkah dia bicara tentang manajemen itu? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus