Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Perwakilan Rakyat sebaiknya menghentikan dulu pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung. Selain tidak urgen, pengkajian yang terburu-buru dan terkesan tertutup oleh para wakil rakyat itu bisa memunculkan kecurigaan. Seakan-akan ada agenda khusus di balik pembuatan undang-undang dengan cara ngebut itu. Sepertinya ada kepentingan kelompok tertentu yang dilayani. Dikhawatirkan semua ini berakibat semakin jauhnya harapan warga untuk memiliki para penjaga ”benteng peradilan terakhir” yang tangguh dan tepercaya.
Kekhawatiran ini sangat beralasan. Lihat saja substansi perdebatan dalam pembahasan rancangan yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung itu. Fokus bahasan bukan tentang cara menciptakan mekanisme kerja yang bisa menangkal mafia peradilan, misalnya, melainkan soal-soal lain yang mestinya bisa menjadi prioritas berikutnya. Malah yang riuh-rendah terdengar adalah perjuangan wakil rakyat untuk menambah usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun.
Tidak perlu antipati dengan batas usia ini. Di beberapa negara, usia pensiun hakim agung memang 70 tahun, sedangkan Indonesia atau Malaysia mematok batas usia 65 tahun. Bahkan di Amerika Serikat hakim agung tak kenal pensiun. Mereka ”pensiun” ketika dipanggil Tuhan atau didera pikun sehingga tak lagi mampu menjalankan tugas.
Kondisi fisik manusia Indonesia jelas berbeda dengan Amerika Serikat atau negara maju yang lain. Ini tak lepas dari kecukupan gizi dan jaminan sosial. Indeks harapan hidup orang Indonesia pun berbeda dengan negara lain, sehingga menyamakan usia pensiun jelas bukan keputusan yang bijak. Lagi pula, para wakil rakyat mestinya paham bahwa Mahkamah Agung belum sekokoh lembaga serupa di Amerika, misalnya, yang kemandiriannya sangat terjaga. Para hakim agung Negeri Abang Sam terseleksi dengan ketat, sehingga produk hukum yang dikeluarkan berwibawa dan bebas dari intervensi siapa pun.
Mahkamah Agung kita masih belum bersih dari mafia peradilan. Kasus tertangkapnya sejumlah karyawan Mahkamah Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima uang dari pengusaha Probosutedjo untuk mengurus perkara beberapa waktu silam membuktikan hal itu.
Soal usia pensiun hakim agung ini mestinya ditetapkan setelah ada penelitian yang komprehensif—menyangkut beban dan produktivitas kerja serta akurasi, umpamanya. Jika ukuran Badan Pusat Statistik yang dipakai sebagai acuan, jelas usia 70 tahun sudah dianggap tak lagi produktif. Badan Pusat Statistik menyatakan harapan hidup dan usia produktif orang Indonesia rata-rata 66 tahun. Kalau sekarang ini usia pensiun hakim agung dinaikkan sampai 67 tahun, sebenarnya itu sudah lebih dari cukup.
Ketimbang terseret debat berlarut-larut tentang usia pensiun, Dewan disarankan ”banting setir” dan mendahulukan pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial. Tidak hanya karena ini perintah Mahkamah Konstitusi, tapi juga karena revisi itu kelak menjadi dasar Komisi Yudisial untuk mengawasi dan menyeleksi calon hakim agung.
Lebih baik sekarang ini Dewan membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial dengan serius. Undang-undang itu mestilah menetapkan sistem seleksi hakim agung yang ketat. Dari sana kita bisa menunggu hakim yang benar-benar agung—baik ilmu maupun moralitasnya. Untuk hakim agung ideal seperti itu, tentu usia bukan soal yang perlu diperdebatkan mati-matian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo