Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASTI ada yang salah dengan kebijakan pengembangan kawasan Indonesia timur. Potensi lautnya luar biasa. Kandungan bahan tambang, minyak dan gas, juga berlimpah. Lahan masih terhampar luas. Tapi, setelah 63 tahun merdeka, dalam segala hal Indonesia timur masih sangat tertinggal dibandingkan dengan Indonesia barat. Kawasan timur masih menjadi sesuatu yang ”amat jauh”.
Memang, belakangan ini Indonesia timur mencatat pertumbuhan yang mengesankan. Namun kemajuan berlipat itu dihasilkan dari posisi yang sangat rendah. Tetap saja besaran ekonomi kawasan timur jauh lebih rendah daripada Jawa atau Sumatera. Size ekonomi Sulawesi dan Maluku serta Papua pada 2005 cuma Rp 59 triliun, sedangkan Jawa sudah lebih dari 26 kali lipat dari angka itu.
Semua itu tak bisa dilepaskan dari rendahnya perhatian pemerintah. Rezim demi rezim yang memerintah mencanangkan percepatan pembangunan, tapi hasilnya belum kelihatan. Di era Soeharto, misalnya, dibentuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu untuk 12 daerah di timur dan satu di Aceh. Hanya lima daerah yang boleh dibilang berkembang—dua di Kalimantan, dua di Sulawesi, dan satu di Papua—sedangkan tiga daerah sekadar jalan, selebihnya tinggal kenangan.
Berbagai kemudahan, terutama pajak, juga sudah dijanjikan kepada para investor. Tapi tetap saja insentif itu tak membuat investor berpaling ke timur. Soal terberat adalah infrastruktur—baik jalan, pelabuhan, bandar udara, listrik, maupun telekomunikasi. Jelas, investor ngeri untuk datang apabila listrik, sebagai contoh, sehari bisa tiga kali mati. Pembangunan infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah. Perhatian pemerintah adalah kata kunci dalam soal ini. Serba terbatasnya infrastruktur di kawasan timur merupakan bukti yang jelas betapa minimnya perhatian pemerintah untuk kawasan itu.
Sarana-sarana dasar itulah yang harus dibangun di timur agar investor tidak hanya memandang ke barat. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal tahun lalu menunjukkan 97 persen dari realisasi investasi modal asing tertumpuk di Jawa dan Sumatera. Kawasan timur hanya kebagian kurang dari satu persen. Data investasi modal dalam negeri kurang lebih menunjukkan ketimpangan yang sama.
Padahal, bisa dikata, Jawa sudah ”selesai” dieksploitasi. Lahan untuk industri semakin sempit, jumlah penduduk terus membesar. Pertumbuhan industri manufaktur yang menjadi andalan Jawa kini melambat. Salah satu penyebabnya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia—yang menghantam daya saing barang ekspor Indonesia.
Potensi Sumatera juga hampir selesai digarap. Lahan habis dikaveling-kaveling untuk perkebunan kelapa sawit. Minyak nyaris habis dipompa. Kalimantan hampir sama. Selain kelapa sawit, batu bara di bumi Kalimantan kini habis-habisan digali untuk meraup dolar. Bali dan Nusa Tenggara hidup dari kegiatan pariwisata serta sektor lain yang agaknya sulit dikembangkan besar-besaran di sana.
Dengan kondisi begitu rupa, pilihan terbaik untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional adalah Indonesia timur. Kawasan itu masih bisa diandalkan untuk membuat ekonomi tumbuh di atas enam persen, agar Indonesia bisa mengurangi laju pengangguran yang makin cepat. Selama ini Indonesia sulit memangkas pengangguran karena kesempatan kerja jauh lebih sedikit daripada jumlah tenaga kerja yang masuk dunia kerja. Akibatnya, tingkat kemiskinan juga sulit dikurangi.
Alokasi anggaran pembangunan yang ”memihak” timur dipercaya bisa mendorong pertumbuhan kawasan itu. Dengan anggaran yang meningkat, pembangunan infrastruktur akan lebih banyak dilakukan. Sarana jalan dan perhubungan yang lebih baik pasti akan membuat kekayaan alam yang berlimpah semakin mudah diolah dan dipasarkan.
Pemerintah perlu memberikan insentif lebih menarik agar pihak swasta lebih banyak berbisnis di timur. Modal swasta sangat diperlukan untuk menggali potensi alam yang kaya. Kandungan minyak berlimpah, tapi eksploitasi di laut dalam perlu investasi besar. Lahan pertanian Papua masih sangat luas, tapi perlu modal besar untuk membuka lahan dan mengembangkan industri pertanian. Investasi dan pembangunan infrastruktur merupakan dua hal utama untuk meraih kemajuan wilayah timur.
Berikutnya, secara politis pemerintah perlu menempatkan pejabat, paling tidak setingkat menteri, untuk mengurus Indonesia timur. Memang perlu konsep matang dan tidak mengulang kesalahan masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dulu. Menteri khusus Indonesia timur yang ditunjuk Abdurrahman ternyata tak dibekali perangkat aturan dan kewenangan besar sehingga tak sanggup berbuat banyak.
Pilihan ada di tangan pemerintah, kendati tak banyak lagi. Yang paling rasional adalah mencurahkan perhatian pada kawasan itu, demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Sudah waktunya slogan memajukan Indonesia timur benar-benar dibuktikan dengan program yang nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo