SEBAGAI manajer pabrik gula di Jawa Timur tahun 1860-an, Isaac van de Putte menyaksikan sendiri kemiskinan penduduk Jawa akibat sistem tanam paksa yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda sejak selesainya Perang Diponegoro pada 1830. Sebagai manajer profesional, dia kurang senang dengan campur tangan pemerintah Belanda yang besar terhadap perekonomian. Sebagai politikus yang menganut aliran liberal, dia percaya, bila kekuatan ekonomi di Indonesia dibebaskan dari campur tangan pemerintah, Indonesia dan Belanda akan mengalami peningkatan kemakmuran yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, seperti yang sedang berlangsung di Eropa dan Amerika waktu itu. Maka, ketika dipanggil kembali ke Belanda pada 1867 untuk menjabat menteri urusan tanah jajahan dalam kabinet Thorbecke, dia sudah siap dengan konsep reformasi dan deregulasi ekonomi untuk Indonesia. Pada 1870, parlemen Belanda mengesahkan satu undang-undang yang secara radikal mengubah sistem ekonomi di Indonesia. Segala macam bentuk monopoli, termasuk monopoli perdagangan cengkeh di Maluku, dihapuskan. Penanaman modal swasta dibuka lebih lebar. HGU tanah diberikan untuk 75 tahun. Sistem perdagangan bebas diberlakukan. Tak ada pembatasan dalam perdagangan luar negeri. Hambatan tarif dan nontarif dalam impor dihapuskan. Tak ada proteksi bagi produksi dalam negeri. Sistem lalu lintas devisa menganut sistem devisa bebas. Hasilnya adalah seperti yang diperkirakan Van de Putte. Indo- nesia kebanjiran modal asing, dan jumlahnya secara kumulatif sampai tahun 1930 mencapai 4 miliar gulden. Indonesia menyerap 60% modal asing yang ditanam di Asia. Produksi perkebunan Indonesia seperti gula, kopi, karet, teh, tembakau, kopra, mengalami ekspansi besar-besaran selama kurun waktu 1870-1930. Ekspor gula dan karet Indonesia menguasai pasaran dunia. Dalam periode ini eksplorasi dan produksi minyak dan timah dimulai. Pertumbuhan ekspor Indonesia meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor dunia. Pada 1880-1890, saat ekspor dunia tumbuh 3% tiap tahun, ekspor Indonesia tumbuh 3,3%. Dari tahun 1900 hingga 1913, ekspor dunia tumbuh 4% tiap tahun, ekspor Indonesia tumbuh 5,4%. Pada 1913-1929, sewaktu ekspor dunia cuma tumbuh 1,1% tiap tahun, ekspor Indonesia tumbuh 7%. Surplus neraca pembayaran rata-rata tiap tahun mencapai 11 juta gulden pada 1881-1890, meningkat menjadi 21 juta gulden pada 1901-1910, dan melonjak menjadi 100 juta gulden pada 1911-1920. Ini benar-benar sebuah zaman keemasan untuk ekonomi Indonesia tempo dulu. Ramalan Isaac van de Putte bahwa ''Indonesia akan mengalami kemakmuran besar bila kekuatan ekonomi pasar dilepaskan dari kendali pemerintah'' tampaknya terwujud. Pada 1923-1927, surplus transaksi berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia mencapai rata-rata 5% dari pendapatan nasional. Menurut Hansen, tingkat surplus dari pendapatan na- sional untuk tahap ekonomi Indonesia pada masa ini merupakan ''satu hal yang luar biasa''. Surplus Inggris saja pada abad ke-19 adalah 5,5%, dan surplus Jepang pada 1980-an adalah 2,5% dari pendapatan nasional. Ini berarti bahwa akumulasi surplus modal Indonesia pada masa itu setaraf dengan dua negara kre- ditor utama di dunia. Pertanyaan besar yang sampai sekarang belum terjawab secara memuaskan: kenapa pertumbuhan ekonomi berkesinambungan selama enam puluh tahun itu gagal meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia? Beberapa kalangan mencoba mencari jawabannya. Ada yang mencoba menjawab dari segi pendidikan. Kebijaksanaan pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang bersifat elitis tidak mempersiapkan rakyat Indonesia untuk pekerjaan di luar sektor pertanian. Di sektor pertanian tak ada perkembangan teknologi yang bisa meningkatkan produktivitas. Fungsi perda- gangan, pemasaran, dan perkreditan yang menghasilkan nilai tambah dikuasai penduduk nonpribumi yang minoritas. Lalu ada yang mencoba menjawab dari segi kultur: struktur masyarakat feodal dengan elite birokrasi yang antibisnis tidak memberi peluang timbulnya kelas menengah yang pintar berbisnis. Di Jawa, para raja dan bupati, sekalipun selalu menikmati upeti, memandang rendah golongan pedagang. Tragedi Indonesia, tulis Benjamin Higgins, adalah ditindasnya bibit-bibit kewiraswastaan terus-menerus oleh elite penguasa sejak zaman Mataram sampai masa depresi tahun 1930-an. Sektor pertanian diperlemah dengan makin kuatnya dominasi sektor perkebunan yang dimiliki asing. Di Jawa, tulis Clifford Geertz, sektor pertanian mengalami ''involusi''. Deregulasi yang dilakukan pemerintah orde baru sekarang ini, yang sudah berlangsung sejak awal 1980-an, tentunya menghadapi keadaan yang berbeda. Sektor pertanian sudah jauh lebih kuat, karena mendapat prioritas anggaran pembangunan. Elite birokrasi sudah tidak bersikap anti-bisnis (bahkan kadang-kadang terlalu pro-bisnis). Kegiatan bisnis telah menduduki status yang terhormat. Golongan kelas menengah berkembang pesat. Sekalipun masih dirasakan banyak ketimpangan, tingkat pendapatan rakyat umumnya sudah meningkat. Memang masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini. Banyak hal yang masih terasa tersendat-sendat. Barangkali karena deregulasinya juga masih tersendat. Sejarah Indonesia pada zaman kolonial menunjukkan bahwa diperlukan deregulasi yang tidak tanggung-tanggung. Dan untuk ini kita jadi ingat Isaac van de Putte.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini