Deregulasi Pilih Kasih R. RAMLI PEMERINTAH Indonesia telah melakukan serangkaian langkah deregulasi dalam bidang ekonomi sejak Juni 1983. Keputusan atas proses deregulasi itu telah mendapat dukungan masyarakat karena deregulasi sendiri diartikan sebagai usaha mengurangi dan meng- hapuskan berbagai jenis peraturan dan campur tangan pemerintah yang berlebihan dalam bidang ekonomi. Agaknya, masyarakat memang sudah "bosan" dengan berbagai jenis peraturan dan izin yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan dan izin-izin tersebut, dalam prak- teknya, sering hanya menjadi sumber pendapatan dan rezeki bagi sejumlah oknum birokrasi yang berurusan dengan masyarakat yang harus dilayaninya. Tapi, setelah proses deregulasi berlangsung lebih dari tujuh tahun, dukungan dan appeal politis atas kebijaksanaan deregulasi itu mulai surut. Banyak pihak pun mulai mempertanyakan. Apakah deregulasi dirancang hanya untuk keuntungan sebagian kecil dari masyarakat Indonesia? Ataukah asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam perencanaan deregulasi kurang tepat sehingga menghasilkan akibat yang berbeda dari yang diharapkan? Di segi lain, setelah deregulasi itu berusia tujuh tahun, masyarakat dihadapkan kepada semakin menonjolnya penguasaan ekonomi oleh sejumlah kecil perusahaan dan orang yang itu-itu saja. Pola konsumsi sebagian masyarakat atas juga semakin men- colok dan nyaris tak terkendali. Tidak aneh kemudian jika dukungan dan appeal terhadap deregulasi semakin pudar. Perbedaan yang kian tajam antara harapan umum terhadap deregulasi dan kenyataan yang tampak dalam kehidupan sehari-hari semakin jelas. Praktek-praktek monopolistis dan kecenderungan konsentrasi pemilikan ekonomi sebetulnya telah terjadi jauh hari sebelum masa deregulasi. Gejala konglomerasi ekonomi juga sudah terjadi sejak tahun 1970-an, sebagai akibat kebijaksanaan perdagangan serba lisensi dan proteksi, serta suntikan kredit murah. Tujuan deregulasi sebetulnya sangat positif. Dengan deregulasi diharapkan terjadi kompetisi yang sehat, baik di sektor riil maupun finansial, yang akan meningkatkan efisiensi ekonomi baik secara mikro maupun makro. Efisiensi itu bisa ter- capai sebagai akibat persaingan di antara pelaku pasar baik domestik maupun internasional. Rangkaian kebijaksanaan deregulasi yang dimulai sejak tahun 1983 sebetulnya dimaksudkan untuk menghilangkan berbagai jenis lisensi, proteksi, dan kredit murah sehingga tercipta kondisi ekonomi yang lebih kompetitif. Setelah tujuh tahun deregulasi, memang harus diakui bahwa telah terjadi peningkatan efisiensi di beberapa sektor ekonomi, terutama pada sektor-sektor yang memang terjadi kompetisi tajam. Namun, cukup banyak sektor yang tak terjadi peningkatan efisiensi karena telah ada peningkatan konsentrasi industri, baik dalam pemilikan maupun kebijaksanaan kartel produksi dan harga. Sebagai contoh, konsentrasi pemilikan ataupun kartel harga telah terjadi di industri minyak nabati, semen, otomotif, bahan plastik, dan lain-lain. Ada sejumlah sebab mengapa terjadi peningkatan konsentrasi pemilikan dan kartel produksi sekalipun telah dilakukan serang- kaian kebijaksanaan deregulasi. Pertama, konglomerasi ekonomi yang telah terbentuk pada tahun 1970-an ternyata lebih "siap dan mampu" memanfaatkan peluang- peluang dalam bidang perdagangan dan keuangan yang tercipta akibat deregulasi. Kepesatan akumulasi modal dan pangsa pasar mereka jauh lebih cepat berkembang daripada pengusaha "biasa". Kedua, kebijaksanaan deregulasi sendiri masih sering "pilih kasih", tergantung apakah sektor yang akan dideregulasi itu punya punggawa atau kekebalan politis. Masyarakat sering naif dengan beranggapan bahwa kebijaksanaan deregulasi hanya didasarkan pada pertimbangan "pragmatis" dan "tidak pandang bulu". Pertimbangan teknis/ekonomis ternyata masih harus ditambah dengan pertimbangan politik situasional dan elitis. Ketiga, tidak hanya "pilih kasih" dalam memilih bidang yang akan dideregulasi. Tapi ironis bahwa ternyata muncul kembali praktek-praktek lisensi dan kebijaksanaan khusus dalam bidang perkreditan. Kebijaksanaan khusus tersebut diambil di tengah- tengah suasana "uang ketat" yang dicanangkan Pemerintah, suatu hal yang jelas menurunkan kredibilitas si pembuat kebijaksanaan. Dukungan dan appeal politik terhadap deregulasi akan kembali menguat jika ternyata deregulasi berhasil menyentuh kepentingan sebagian besar masyarakat dan jika kebijaksanaan deregulasi tak lagi "pilih kasih". Kredibilitas pembuat kebijaksanaan juga akan naik jika tak ada lagi lisensi dan perlakuan khusus dalam bidang perkreditan bagi kelompok yang sebetulnya tak memerlukan. * Penulis adalah ekonom lulusan Boston University, dan pengajar program MM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini