Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Persoalan muncul ketika perpanjangan masa karantina tidak disertai dengan persiapan yang matang.
Para pendatang yang baru tiba kesulitan mendapatkan hotel repatriasi.
Pemerintah bisa memperbanyak hotel repatriasi dengan tidak memberlakukan syarat yang kurang penting.
KEBIJAKAN karantina bagi warga negara asing dan warga negara Indonesia yang baru datang dari luar negeri bertujuan baik, yakni mencegah penularan virus Covid-19 dari luar. Namun janganlah aturan itu membebani pendatang dengan keruwetan yang tidak perlu dan aksi pemerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Covid-19 varian Omicron merebak di Afrika pada pertengahan November lalu, pemerintah memutuskan memperpanjang masa karantina bagi pendatang dari luar negeri mulai Desember 2021. Masa karantina, yang semula hanya tiga hari, ditetapkan menjadi tujuh hari. Dua pekan kemudian diperpanjang lagi menjadi sepuluh hari. Khusus pelaku perjalanan yang berasal dari atau pernah singgah di negara-negara tempat varian Omicron terdeteksi, mesti menjalani karantina selama 14 hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan muncul ketika perpanjangan masa karantina tidak disertai dengan persiapan yang matang. Tamu yang sedang menjalani karantina di hotel-hotel yang tersertifikasi otomatis menambah durasi menginap. Akibatnya, para pendatang yang baru tiba kesulitan mendapatkan hotel repatriasi—sebutan untuk hotel yang menyediakan fasilitas karantina.
Pada mulanya, terdapat 72 hotel karantina. Belakangan, pemerintah menambah 16 hotel baru untuk mengantisipasi kebijakan perpanjangan masa karantina. Tapi itu pun tidak cukup. Persoalan bertambah rumit lantaran tidak sembarang hotel bisa menjadi tempat karantina. Pengelola hotel harus mengantongi sertifikat cleanliness, health, safety, dan environmental sustainability (CHSE) dari Kementerian Pariwisata, dengan nilai minimal 90 atau memuaskan. Hotel juga harus memiliki layanan penjemputan ke bandara, menyediakan dua kali tes usap polymerase chain reaction (PCR), serta memiliki koneksi Internet cepat dan saluran televisi yang beragam. Tamu karantina dilarang memesan makanan dari luar dan tak boleh keluar dari kamar sama sekali.
Pemerintah harus secepatnya mengatasi kesemrawutan ini. Beberapa langkah bisa dilakukan, antara lain tidak memukul rata semua pendatang harus menjalani karantina di hotel rujukan Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Pendatang yang tidak berasal dari negara tempat Omicron mewabah, misalnya, diperbolehkan melakukan karantina mandiri dengan persyaratan ketat.
Cara lain, membuka pintu Wisma Atlet untuk pendatang umum. Selama ini wisma hanya untuk pekerja migran, mahasiswa, dan pegawai pemerintah yang baru pulang dinas dari luar negeri. Langkah ini sekaligus meringankan ongkos karantina yang angkanya terbilang fantastis. Pendatang rata-rata harus merogoh kocek Rp 8-22 juta untuk karantina.
Pemerintah juga bisa memperbanyak hotel repatriasi dengan tidak memberlakukan syarat yang kurang penting, seperti memiliki kanal televisi beragam. Pakai saja syarat standar dengan memenuhi kebutuhan pokok layanan karantina, yakni bersih, sehat, aman, dan lingkungan yang lestari. Setelah itu, biarlah mekanisme pasar yang menentukan. Jika pendatang menginginkan fasilitas lebih, mereka bisa mencari hotel yang lebih mahal.
Berkelindan dengan urusan karantina adalah pengawasan. Sudah benar setiap pendatang dari luar negeri harus terdaftar dalam sistem identifikasi kesehatan dan pelacakan, seperti Health Alert Card serta aplikasi PeduliLindungi. Betul pula setiap wisatawan harus mendapat vaksinasi Covid-19 dosis lengkap dan menunjukkan tes PCR dengan hasil negatif Covid-19. Tapi pemerintah juga perlu memperketat sistem pelacakan dan pengawasan. Sistem ini pernah berhasil mengidentifikasi warga negara India yang lolos dari karantina pada April 2021. Jadi, jangan sampai kendur.
* * *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo