Sutan Takdir Alisjahbana, pengarang dan pemikir Indonesia terkemuka itu, melihat Indonesia di depan zamanyang besar. Ia melihat tanda-tanda kebangkitan kawasan Asia Tenggara, yang ia sebut sebaga "Bumantara" (Bumi Antara). Berikut ini intisari pidatonya ketika menerima gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universiti Sains Malaysia, 25 Juli 1987: DUNIA terasa semakin kecil saja. Terutama setelah Perang Dunia Kedua berakhir, yang menyaksikan semakin bercampur aduk dan ruwetnya hubungan antara manusia, sebagai akibat dari bertambah cepatnya komunikasi. Maka, masyarakat dan kebudayaan tradisi, yang umumnya berdasarkan pada kepercayaan dan upacara pralogis. mengalami krisis. Karena mengecilnya dunia, tiap-tiap budaya tradisi berbenturan. Tiba-tiba mereka menghadapi kenyataan bahwa kebenaran, kekudusan, dan keindahan yang selama ini dianggap satu-satunya, ternyata hanya salah satu dari yang banyak. Hingga timbullah kesangsian dalam jiwa manusia. Kesangsian ini makin besar, karena perkembangan kerasioan ilmu, teknologi, dan ekonomi modern. Wajarlah kalau goyahnya kepercayaan dan upacara pralogis itu melahirkan sekularisme, agnotisme, bahkan ateisme. Apalagi kebudayaan modern yang tumbuh sejak renaisans, reformasi, revolusi industri, revolusi Prancis, dan lain-lain itu bertambah lama bertambah tak memberi arti dan tujuan kepada hidup manusia di dunia yang semakin cepat berubah dan memesonakan, membingungkan, serta dahsyat itu. Lompatan teknologi transportasi dan telekomunikasi ini mengingatkan kita kepada Zaman Poros Sejarah di abad ke-5 S.M. Yakni ketika, secara bersamaan, bangkit sejumlah filosof dan pembentuk agama yang besar di Cina, India, Timur Tengah, dan Yunani. Itulah saat lahirnya Konghucu, Moti, Laotse di Cina. Upanishad, Budha, Mahavira di India, nabi-nabi Yahudi di Jazirah Arab. Parmenides, Heraklitos, dan Plato di Yunani. Merekalah yang antara lain, melahirkan konsep tentang monoteisme, demokrasi, dan logika. Hal ini terjadi, menurut Alfred Weber, karena waktu itu tersebar pemakaian kuda sebagai hewan pacuan dan penarik kereta. Jadi, sebuah revolusi dalam transportasi dan telekomunikasi akan menyebabkan juga terjadinya revolusi dalam masyarakat dan kebudayaan. Itulah yang terulang kembali sekarang, yang dapat kita sebut sebagai "Zaman Poros Sejarah Yang Baru". Sejak Zaman Poros Sejarah abad ke-5 S.M. hingga sekarang, telah terjadi pergeseran letak puncak kebudayaan dunia. Amerika, Jepang, dan Eropa -- yang kini dapat dikatakan menjadi tempat puncak budaya dunia -- bukanlah daerah yang mengalami masa keemasan budaya Zaman Poros Sejarah. Demikian pula halnya dengan daerah Bumantara. Namun, yang membedakan Bumantara dengan daerah lain adalah letaknya yang di persimpangan budaya dunia. Dalam 2.000 tahun terakhir ini, Bumantara adalah satu-satunya daerah yang telah meresapkan kebudayaan tinggi yang bangkit di Cina, India, Timur Tengah, dan Yunani. Dalam hubungan ini kita dapat memandang ke masa depan Bumantara dengan hati yang terbuka luas, penuh gairah. Sebab, di Asia Tenggara yang strategis -- terletak antara Cina dengan 1 milyar penduduk dan India dengan 800 juta penduduk, antara dua samudra terbesar di dunia serta antara Australia dan Asia sedang terjadi sintesis antara segala kebudayaan dunia yang terpenting dalam sejarah. Kemampuan mensintesiskan berbagai budaya ini justru lahir karena sebelumnya Bumantara merupakan daerah yang paling terpecah, yang beragam budayanya. Adalah pengalaman berharga memadukan budaya-budaya ini melalui saling pengertian -- seperti yang terjadi di Indonesia -- yang membuat Bumantara memiliki kesempatan baik untuk memadukan budaya dunia. Dan inilah tuntutan mutlak "Zaman Poros Sejarah yang Baru", yang sedang membawa seluruh dunia ke dalam krisis dan proses transformasi yang dahsyat, penuh dengan kemungkinan tapi juga bahaya. Pekerjaan ini tak mudah dan memerlukan kesabaran dan kelapangan hati. ASEAN pun setelah 20 tahun, masih jauh dari kebulatannya, juga dengan meiihat beragamnya agama yang dianut dan kemampuan ilmu serta teknologinya yang berbeda. Kemungkinan munculnya Bumantara sebagai puncak budaya baru bukanlah hal yang mengada-ada. Sejarah membuktikan bahwa tak ada kebudayaan yang tetap di puncak selama-lamanya. Mesir Kuno, Babilonia, India, dan Cina jatuh dan diganti oleh kebudayaan bangsa yang muda, yang semula terkebelakang dan tiada bertenaga. Jan Romein dalam Het Onvoltooid Verleden berbicara tentang hukum "retroenese" dalam sejarah. Bahwa puncak sejarah yang berikutnya itu bukan lanjutan dari puncak yang sudah ada, melainkan lompatan dari kebudayaan yang sebelumnya lebih rendah, tetapi dapat menimbulkan vitalitas, keluasan jiwa, dan kesegaran tenaga cipta yang baru dan segar. Di sini saya tunjukkan kemungkinan tugas bagi Asia Tenggara untuk memberi sumbangan kepada dunia, yang kini penuh dengan perselisihan dan kekacauan oleh serba ragam tenaga dan aliran politik, ekonomi, agama, ideologi, dan ilmu yang belum terintegrasi. Yakni untuk mentrasformasikannya ke dalam keseimbangan baru, seperti dituntut oleh Zaman Poros Sejarah yang Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini