Menteri Riset & Teknologi, Dr. B.J. Habibie jarang dikutip berbicara khusus tentang arti -- dan cita-cita -- kemerdekaan. Sebagai salah seorang yang diberi tugas mendesain satu bagian dari Indonesia kini dan nanti, baiklah kita dengar pandangannya: DALAM konsep yang saya gunakan, kebangsaan ditandai oleh kemandirian nyata. Berpegang pada ukuran ini, rakyat suatu negara baru dapat dinamakan suatu bangsa jika ia telah sanggup berdiri sendiri secara ekonomis, politis, dan kultural. Dengan demikian ia dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan, dan karena ltu salmg memuaskan, dengan bangsa lainnya. Nyatalah bahwa tak semua negara negara merdeka telah mencapai tingkat berkebangsaan seperti yang saya maksudkan. Adapun negara yang telah mencapainya -- seperti Amerika Serikat, Jepang dan berbagai negara Eropa -- mendapatkannya setelah melalui perjuangan bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, dan sering kali harus pula melalui berbagai revolusi. Sementara itu, maksud negara berkembang untuk mencapai hal ini yang sering didengungkan sebagai tatanan dunia baru, acap kali mengalami hambatan akibat kondisi historis. Indonesia belum ada setengah abad berjuang untuk secara bebas menentukan sendiri identitasnya. Maka, pengembangan potensi dirinya tak bisa dibandingkan dengan negara yang telah ratusan tahun melakukannya. Persoalannya adalah: apakah kita lebih menyukai dan akan merasa lebih enak hidup dalam suatu dunia yang penuh dengan ketidaksamaan, ketidakpastian, dan ketidakamanan, ataukah dalam dunia yang negaranya sama kuat dan berhubungan dalam jalinan ekonomi, politik, dan kultural yang saling menguntungkan? Satu hal jelas: untuk dapat menjadi suatu negara-bangsa yang merdeka secara ekonomis, paling sedikit diperlukan dua hal. Yakni kemampuan menghasilkan barang dan jasa-jasa yang diperlukannya sendiri, atau yang diperlukan dunia pada umumnya, sehingga kelebihan produksinya dapat ditukarkannya dengan barang dan jasa yang diperlukan tapi tak dapat dihasilkannya sendiri. Pemilikan sumber daya alam, seperti energi, mineral, lahan, dan sumber hasil pertanian, sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan ini. Tapi ini bukan kuncinya. Tanpa kemampuan untuk mendapatkan, memiliki serta mengembangkan teknologi, pemilikan sumber alam dalam jumlah yang berlimpah-limpah pun tidak merupakan jaminan tercapainya kedudukan sebagai suatu bangsa. Sebaliknya, jika kemampuan untuk memperoleh dan mengembangkan teknologi itu ada, maka langkanya sumber alam bukanlah merupakan halangan dalam pembangunan bangsa. Inilah yang dibuktikan oleh Jepang. Jepang adalah negara yang miskin sumber alam, tapi kaya dalam tenaga kerja yang mampu menyerap dan mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa bagi seluruh dunia. Dengan modal inilah ia jadi kekuatan ekonomi dunia yang disegani. Jadi, terbuktilah bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi itu yang jadi kunci pembangunan bangsa. Untuk mentransformasi Indonesia menjadi bangsa yang berteknologi tinggi ini, saya berpandangan bahwa pendidikan, walaupun sangat penting, berdiri sendiri, tidak cukup. Ilmu dan teknologi hanya dapat kuasai melalui bekerja. Keterampilan teknologi yang langgeng hanya dapat dialihkan dan dikembangkan lebih lanjut melalui program yang kongkret. Yaitu program yang menghasilkan barang dan jasa. Program ini, di Indonesia, dilakukan dalam tiga tahapan, yang mungkin bertumpang tindih. Tahapan pertama pemanfaatan teknologi yang sudah ada, untuk memperbesar nilai tambah. Kemudian mendesain produk baru berdasarkan integrasi teknologi yang sudah ada. Dan tahap ketiga adalah pengembangan teknologi baru. Bila ketiga tahap ini sudah dicapai, ada satu tahap lagi yang harus dilakukan, agar keunggulan di bidang ilmu dan teknologi dapat dipertahankan, yakni melakukan penelitian dasar untuk mengembangkan ilmu itu sendiri. Adapun pemilihan program yang dianggap sesuai untuk melakukan transformasi ini dilakukan berdasarkan berbagai faktor: geografi, kekayaan alam, laju perkembangan ekonomi, luasnya pasar dalam negeri. Indonesia, yang terdiri dari 13 ribu pulau yang terpampang sejauh jarak dari Irlandia ke Moskow di Eropa, tentu menjanjikan pasar yang baik bagi produksi industri transportasi dan telekomunikasi. Apalagi penduduknya hampir 170 juta jiwa dan terletak di alur lalu lintas perkapalan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Pengembangan transportasi akan menuntut peningkatan penggunaan energi dan rekayasa. Selain itu, luasnya lahan di luar pulau Jawa yang relatif tak subur dan sedikit penduduknya menuntut mekanisasi pertanian yang lebih intensif. Dan semua ini tentu harus dipertahankan dari ancaman terhadap keamanan dan ketertibannya. Karena itulah wahana industrialisasi yang dilakukan di Indonesia dilakukan melalui 8 jalur: industri penerbangan dan angkasa luar, industri maritim dan perkapalan industri elektronika dan telekomunikasi, industri energi, industri rekayasa, industri peralatan dan mesin pertanian serta industri pertahanan. Itulah yang ingin saya kerjakan untuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini