Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Patriotisme dalam format

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA seseorang bertanya kepada saya apakah "tanah air", saya dapat menyodorkan kepadanya sebuah kamus dan selembar peta. Tetapi saya tak percaya bahwa ribuan orang yang kita namakan "patriot" telah bertempur dan mati semata-mata karena sebuah konsep dan sebuah bagan. Jika seseorang bertanya: apakah yang terbayang, terpikir, dan mungkin terasa ketika kau mendengar kata "tanah air", itu berarti ia menanyakan sesuatu yang lebih kongkret, lebih berdarah-daging, lebih hidup. Saya dapat mengatakan kepadanya bahwa yang terbayang di angan saya pantai dengan pohon-pohon kelapa dan pandan, hamparan sawah dengan beberapa dusun yang menyembunyikan rumah-rumah dalam rimbun tumbuhan, atau perbukitan dan gunung-gunung api. Malah dapat saya kemukakan bahwa terbayang juga perkampungan padat dengan lorong-lorong rumit dan tak terduga, atau orang-orang sedang bekerja di sawah atau di laut, atau sedang berupacara. Barangkali jika saya cermat menyidik, saya akan mengenali bahwa semua itu ternyata potongan-potongan kenangan tentang alam dan kehidupan di Jawa Tengah dan Jawa Barat -- barangkali dengan perubahan dan perpaduan, ditambah dengan kenangan tentang dua-tiga pulau yang pernah saya kunjungi. Yang pasti, yang muncul tak pernah alam dan kehidupan Indonesia seluruhnya. Meskipun begitu, konsep tanah air selamanya saya tangkap melalui bayangan-bayangan yang kecil, terbatas, dan khusus itu. Saya menangkap yang abstrak melalui yang kongkret. Seorang buruh pergi berjuang melawan tentara penjajah, mungkin karena hidup keluarganya semakin sulit. Seorang pemuda angkat senjata melawan serdadu Jepang, mungkin untuk membalaskan kematian anggota keluarga, atau kerabat, atau kawan sekampung. Para warga sebuah desa berontak melawan pemerintah kolonial, mungkin karena tata kehidupan mereka diporakporandakan tanpa hormat. Seseorang berjuang mungkin hanya di seputar desanya, kotanya, atau daerahnya. Semua berbuat dalam format masing-masing yang tertentu, khusus, terbatas. Itu tak membatalkan mereka menjadi patriot. Dalam bahasa Yunani patriotes adalah orang yang mencintai atau orang yang berbuat kebajikan kepada tanah airnya. Makna perbuatan mereka tak tersekap dalam formatnya yang terbatas itu. Makna itu bertalian dengan konteks kehidupan yang lebih luas, dalam hal ini dengan pembebasan bangsa dari penjajahan. Tentu bisa saja ke dalam patriotisme praktis itu patriotisme yang kongkret, berdarah-daging, dan hidup itu -- datang berpadu pikiran-pikiran yang abstrak dan luas, bermacam gagasan dan teori yang diserap dari buku, pamflet, pidato, dan mungkin juga dari lagu. Dan tentu bisa juga seseorang memperlihatkan patriotisme tanpa teori dan lagak -- patriotisme lugu. Tanah air sebagai keseluruhan saya tangkap dalam konsep, dalam pengertian yang abstrak, di dalam pikiran. Dalam praktek hidup, tanah air saya alami melalui sepotong kehidupan, sepotong alam. Saya tahu, alam dan kehidupan itu banyak seluk-beluknya: banyak seginya, bagiannya, potongannya -- dan semua ini banyak ragamnya. Maka, cinta patriotisme amat banyak wujudnya. Perjuangan bersenjata melawan penjajah adalah salah satu di antaranya. Ini barangkali wujud patriotisme yang paling spektakuler dan dramatik hingga terpatri dalam pikiran dan ingatan orang. Itu juga wujud yang jarang, karena tak sering terjadi dalam sejarah kehidupan bangsa. Karena patriotisme itu banyak dan bermacam-macam wujudnya, seseorang bisa berada dalam kontradiksi. Seseorang bisa dianggap patriot karena berjasa dalam pertumbuhan ekonomi tanah air misalnya karena memajukan suatu jenis industri dengan satu pabrik yang besar. Tetapi di pihak lain, ia misalnya memeras dan menindas buruhnya dan mencemari lingkungannya. Ia, dengan kata lain, seorang patriot cacat. Patriot yang utuh ialah seorang patriot di suatu bidang kehidupan di suatu tempat, yang perbuatannya tak merugikan bidang lain atau tempat lain. Dan sehubungan dengan patriot utuh, adalah cinta tanah air yang utuh. Tentu saja "cinta" dalam "cinta tanah air" bukanlah cinta gombal yang lahir dari mentalitas pengemis, semacam cinta yang merengek dalam lagu-lagu pop kita. Itu egosentrisme, bukan cinta. Cinta bukanlah kekurangan, melainkan kelebihan, kelimpahan. Oleh cinta orang memberi, melindungi, merawat, dan menghormati. Orang memperhatikan obyek cintanya agar tumbuh mewujudkan kemampuan-kemampuannya dan mampu mandiri, memiliki kepribadiannya. Siapa yang dapat percaya kepada seorang bapak atau ibu yang mengaku mencintai anaknya, tetapi menggenggam dan menindas anak itu jadi boneka atau katak yang lumpuh? Ia seorang tiran yang mengidap sadisme, bukan pecinta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus