Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Di Laut Kita Jadi Budak

9 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAH memilukan kerap mencuat dari puluhan ribu warga negara Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. Nestapa mereka mengingatkan pada kewajiban yang semestinya ditunaikan oleh negara. Republik ini tidak hanya belum mampu menyediakan pekerjaan layak, tapi juga lalai melindungi warga negara ketika harus bekerja di kapal ikan negara lain.

Minimnya lapangan kerja di dalam negeri membuat para pemuda mudah tergiur menjadi anak buah kapal ikan asing. Investigasi kami mengungkap puluhan ribu orang Indonesia yang bekerja di kapal ikan Taiwan tanpa jaminan sosial dan perlindungan hukum. Mereka tak dilengkapi pelatihan dan dokumen memadai serta direkrut oleh agen pengirim yang hanya bermodal surat izin usaha dari Kementerian Perdagangan.

Pemerintah semestinya segera menertibkan agen penyalur karena di Taiwan pekerja kapal yang dikirim tidak diakui sebagai tenaga kerja resmi. Akibatnya, mereka tidak mendapat perlindungan, bahkan sulit dipantau oleh perwakilan RI. Padahal banyak tenaga kerja kita di kapal ikan Taiwan yang diperlakukan tak manusiawi. Supriyanto asal Tegal, Jawa Tengah, misalnya, sampai tewas pada September 2015 dan diduga akibat dianiaya di kapal.

Awak kapal tak resmi itu diperlakukan bagaikan budak. Mereka bekerja lebih dari 20 jam sehari. Bila ikan sedang ramai menyantap umpan, mereka bisa tak tidur seharian. Jika tak mau bekerja keras, mereka disiksa. Awak kapal tak bisa berbuat banyak karena bila berhenti bekerja dianggap memutuskan kontrak dan harus membayar denda. Perlakuan durjana itu sering memicu pengeroyokan, bahkan pembunuhan, terhadap kapten kapal.

Penertiban agen penyalur "budak di laut" itu bukan perkara sulit andai kata pemerintah segera membereskan aturan yang tumpah-tindih. Menteri Perhubungan merasa berwenang menangani perizinan rekrutmen semua awak kapal, termasuk anak buah kapal ikan yang dikirim ke luar negeri. Maka muncullah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Menurut aturan ini, agen penyalur awak kapal asing diwajibkan mengantongi surat izin usaha pe­rekrutan dan penempatan awak kapal.

Adapun Kementerian Tenaga Kerja menginginkan agen penyalur awak kapal juga memiliki surat izin pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia, seperti untuk agen pengirim TKI. Tumpang-tindih wewenang yang tak kunjung dibenahi ini dimanfaatkan para agen penyalur awak kapal. Secara serampangan agen mengirim tenaga kerja dengan hanya berbekal kontrak antara perusahaan penyalur dan calon awak kapal.

Kementerian Perhubungan memiliki kemampuan teknis mengurus awak kapal ikan karena biasa menangani anak buah kapal niaga. Tapi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, Kementerian Tenaga Kerja sebetulnya lebih berhak menanganinya. Dalam pasal 28 undang-undang ini dinyatakan, "Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri." Dalam penjelasan, ditegaskan bahwa pekerjaan tertentu itu termasuk pelaut.

Presiden Joko Widodo semestinya turun tangan menuntaskan urusan yang simpang-siur itu. Langkah ini perlu karena Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja di bawah pengawasan menteri koordinator yang berbeda. Kementerian Perhubungan diarahkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman. Adapun Kementerian Tenaga Kerja diawasi oleh Kementerian Koordinator Perekonomian.

Urusan perlindungan tenaga kerja bahkan tidak ditangani langsung Kementerian Tenaga Kerja, tapi oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Lembaga ini sempat mengeluarkan edaran untuk menyetop rekrutmen dan pengiriman awak kapal ikan ke luar negeri. Tapi surat ini tidak efektif dan malah mengundang protes keras dari berbagai perusahaan pengirim awak kapal.

Jika semua kementerian dan lembaga sudah kompak, penertiban terhadap agen pengirim awak kapal ikan akan lebih mudah. Tak ada lagi perdebatan. Kepolisian juga bisa bergerak bila ada perusahaan pengirim awak kapal yang masih membandel. Praktek yang dilakukan penyalur awak kapal ikan itu sebetulnya sudah mengarah pada kejahatan. Mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang karena mengandung unsur eksploitasi.

Tanpa adanya langkah serius, pemerintah akan dinilai menelantarkan warga negaranya. Konstitusi jelas mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia-termasuk mereka yang diperlakukan bagai budak di kapal asing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus