Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Diangkat Kembali

Mao Tse-tung dengan revolusi kebudayaan dapat menggeser wakil PM Teng Hsiao-Ping. Tapi kelompok penguasa Cina mengangkat teng kembali, menandakan mao tidak bisa mendobrak jaring partai komunis.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENG terkenal bukan sebagai orang yang menyenangkan. Wakil Perdana Menteri RRC yang pendek ini biasa bicara kasar. Kissinger pernah menilainya sebagai kurang-lebih "orang busuk". Agak aneh juga bahwa kelompok-kelompok yang berkuasa di Cina kini mengangkatnya lagi. Satu hal jelas: dia bukan pengikut Mao. Ketika dia Sekretaris Jenderal dan Mao Tse-tung Ketua Partai, sang Ketua menyaksikan sendiri bagaimana si Teng tak mau mengikuti garis yang diletakkannya. Mao misalnya berpendirian bahwa bila petani diberi hak mengolah sawah milik sendiri, itu berarti menempuh "jalan kapitalis". Teng sebaliknya bicara terus-terang: "Pengolahan sawah pribadi tak apa-apa asal menaikkan produksi, seperti juga tak jadi soal apakah seekor kucing putih atau hitam asalkan menangkap tikus. " Mao kesal kepadanya. Teng itu tuli, kata Mao, "tapi dalam rapat dia selalu duduk jauh-jauh dari saya." Dan dalam pertemuan pemimpin partai Nopember 1966, ketika Mao mulai menggerakkan mahasiswa untuk mengganyangi tokoh-tokoh partai yang dianggapnya menyeleweng, Ch'en Po-ta, orang kepercayaan Mao, menyerang Teng lebih kasar. Teng arogant, kata Ch'en, "menganggap diri dilahirkan sebagai ensiklopedia." Berdiskusi dengan Teng "lebih sukar ketimbang mendaki gunung." Dan di awal Agustus 1967, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina, Teng Hsiao-ping, mengalami peristiwa yang tak mungkin dilupakannya: ia diseret para mahasiswa Pengawal Merah, diinterogasi dan disuruh mengaku bahwa ia "kontra-revolusioner". Hari itu, Revolusi Kebudayaan yang digerakkan Mao dan isterinya, Chiang Ch'ing, berhasil menggasak musuh-musuh besarnya. Berbareng dengan Teng, di bagian lain kota Peking Presiden Liu Shao-ch'i dan isterinya juga "diadili" beramai-ramai. Liu Shao-ch'i sampai kini entah mati entah hidup. Tapi Teng Hsiao-p'ing ternyata bisa naik kembali -- bahkan sebelum Mao mangkat. Cina ternyata masih membutuhkan dia. Biarpun umurnya sudah 70-an. Biarpun dia "penempuh jalan kapitalis". Revolusi Kebudayaan ternyata gagal. Gelombang yang digerakkan Mao dan nyonya memang ternyata menghasilkan bentrokan, bunuh-bunuhan -- semuanya menyebut diri "revolusioner" dan "kiri" -- hingga mirip sebuah perang saudara. Pada akhirnya negara harus ditata kembali. Dan Teng dikembalikan: ia seorang organisator. Kenapa Teng begitu dibutuhkan? Agaknya karena RRC kekurangan stok pemimpin. Agaknya karena tak cukup kader muda. Mungkin karena seorang kader muda, sepotong wajah baru, harus melalui jalan panjang untuk sampai ke atas: ia harus mendapatkan dukungan dari pelbagai faksi di dalam partai yang besar itu, yang anggotanya 30 juta. Barangkali, itulah kesulitan Hua Kuo-feng buat tampil sebagai pemimpin: dia cuma orang yang didrop dari atas, dari haribaan Mao -- suatu pilihan yang diproses dari atas ranjang mati. Kembalinya Teng juga suatu petunjuk, betapa liatnya jaring-jaring orang Partai yang dulu ditata olehnya. Bahkan Mao Tse-tung sendiri tak bisa meruntuhkan mereka. Prestise Mao di kalangan rakyat di luar Partai memang besar, apalagi lewat kampanye "kultus individu". Namun dengan Revolusi Kebudayaannya, ia paling-paling seorang tokoh komunis yang mencoba melawan Partai Komunisnya sendiri, tapi tanpa banyak hasil. Jika seorang Mao tak begitu sukses untuk mengubah, bagaimana generasi yang lebih muda? Apalagi jika Mao sendiri kemudian, setelah menggerakkan anak-anak muda Pengawal Merah itu untuk kepentingannya, mencampakkan mereka. Mereka tak layak jadi generasi pengganti, kata Mao. "Bahkan untuk jadi komite daerah pun tidak." Selalu banyak kisah anak-anak muda yang gemuruh tapi kemudian sedih. Tanggal 6 Januari 1968, sebuah esai ditulis oleh sejumlah Pengawal Merah yang umumnya terdiri dari anak sekolah menengah. Judulnya bertanya: "Ke Mana Cina Kini?" Isinya, seperti dikatakan Stanley Karnow dalam Mao and China, mengungkapkan paling jelas suatu frustrasi: rasa kecewa sebuah generasi yang tak bisa terus. Rasa kecewa kepada Mao Tse-tung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus