TENG terkenal bukan sebagai orang yang menyenangkan. Wakil
Perdana Menteri RRC yang pendek ini biasa bicara kasar.
Kissinger pernah menilainya sebagai kurang-lebih "orang busuk".
Agak aneh juga bahwa kelompok-kelompok yang berkuasa di Cina
kini mengangkatnya lagi. Satu hal jelas: dia bukan pengikut Mao.
Ketika dia Sekretaris Jenderal dan Mao Tse-tung Ketua Partai,
sang Ketua menyaksikan sendiri bagaimana si Teng tak mau
mengikuti garis yang diletakkannya. Mao misalnya berpendirian
bahwa bila petani diberi hak mengolah sawah milik sendiri, itu
berarti menempuh "jalan kapitalis". Teng sebaliknya bicara
terus-terang: "Pengolahan sawah pribadi tak apa-apa asal
menaikkan produksi, seperti juga tak jadi soal apakah seekor
kucing putih atau hitam asalkan menangkap tikus. "
Mao kesal kepadanya. Teng itu tuli, kata Mao, "tapi dalam rapat
dia selalu duduk jauh-jauh dari saya." Dan dalam pertemuan
pemimpin partai Nopember 1966, ketika Mao mulai menggerakkan
mahasiswa untuk mengganyangi tokoh-tokoh partai yang dianggapnya
menyeleweng, Ch'en Po-ta, orang kepercayaan Mao, menyerang Teng
lebih kasar. Teng arogant, kata Ch'en, "menganggap diri
dilahirkan sebagai ensiklopedia." Berdiskusi dengan Teng "lebih
sukar ketimbang mendaki gunung."
Dan di awal Agustus 1967, Sekretaris
Jenderal Partai Komunis Cina, Teng Hsiao-ping, mengalami
peristiwa yang tak mungkin dilupakannya: ia diseret para
mahasiswa Pengawal Merah, diinterogasi dan disuruh mengaku bahwa
ia "kontra-revolusioner". Hari itu, Revolusi Kebudayaan yang
digerakkan Mao dan isterinya, Chiang Ch'ing, berhasil menggasak
musuh-musuh besarnya. Berbareng dengan Teng, di bagian lain kota
Peking Presiden Liu Shao-ch'i dan isterinya juga "diadili"
beramai-ramai.
Liu Shao-ch'i sampai kini entah mati entah hidup. Tapi Teng
Hsiao-p'ing ternyata bisa naik kembali -- bahkan sebelum Mao
mangkat. Cina ternyata masih membutuhkan dia. Biarpun umurnya
sudah 70-an. Biarpun dia "penempuh jalan kapitalis". Revolusi
Kebudayaan ternyata gagal.
Gelombang yang digerakkan Mao dan nyonya memang ternyata
menghasilkan bentrokan, bunuh-bunuhan -- semuanya menyebut diri
"revolusioner" dan "kiri" -- hingga mirip sebuah perang saudara.
Pada akhirnya negara harus ditata kembali. Dan Teng
dikembalikan: ia seorang organisator.
Kenapa Teng begitu dibutuhkan?
Agaknya karena RRC kekurangan stok pemimpin. Agaknya karena tak
cukup kader muda. Mungkin karena seorang kader muda, sepotong
wajah baru, harus melalui jalan panjang untuk sampai ke atas: ia
harus mendapatkan dukungan dari pelbagai faksi di dalam partai
yang besar itu, yang anggotanya 30 juta. Barangkali, itulah
kesulitan Hua Kuo-feng buat tampil sebagai pemimpin: dia cuma
orang yang didrop dari atas, dari haribaan Mao -- suatu pilihan
yang diproses dari atas ranjang mati.
Kembalinya Teng juga suatu petunjuk, betapa liatnya
jaring-jaring orang Partai yang dulu ditata olehnya. Bahkan Mao
Tse-tung sendiri tak bisa meruntuhkan mereka. Prestise Mao di
kalangan rakyat di luar Partai memang besar, apalagi lewat
kampanye "kultus individu". Namun dengan Revolusi Kebudayaannya,
ia paling-paling seorang tokoh komunis yang mencoba melawan
Partai Komunisnya sendiri, tapi tanpa banyak hasil.
Jika seorang Mao tak begitu sukses untuk mengubah, bagaimana
generasi yang lebih muda? Apalagi jika Mao sendiri kemudian,
setelah menggerakkan anak-anak muda Pengawal Merah itu untuk
kepentingannya, mencampakkan mereka. Mereka tak layak jadi
generasi pengganti, kata Mao. "Bahkan untuk jadi komite daerah
pun tidak."
Selalu banyak kisah anak-anak muda yang gemuruh tapi kemudian
sedih. Tanggal 6 Januari 1968, sebuah esai ditulis oleh sejumlah
Pengawal Merah yang umumnya terdiri dari anak sekolah menengah.
Judulnya bertanya: "Ke Mana Cina Kini?" Isinya, seperti
dikatakan Stanley Karnow dalam Mao and China, mengungkapkan
paling jelas suatu frustrasi: rasa kecewa sebuah generasi yang
tak bisa terus. Rasa kecewa kepada Mao Tse-tung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini