Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dilema iggi

Iggi dapat bertahan selama hampir 25 tahun mencer- minkan kontinuitas dan stabilitas politik di indo- nesia. laporan bank dunia tentang ekonomi di indo nesia menentukan jumlah dan arah bantuan.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilema IGGI HADI SOESASTRO SEBAGAI pengantar, ada baiknya kita meninjau kembali arti IGGI bagi Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa IGGI merupakan suatu "penemuan" yang sangat berguna, bukan cuma buat Indonesia tetapi juga bagi pemerintah negara-negara donor yang terlibat. Seandainya IGGI itu tak ada, kedua pihak itu- penerima dan pemberi bantuan- akan ada dorongan kuat untuk menciptakannya. Banyak negara berkembang ingin punya "IGGI"-nya. Tapi ternyata mereka tak gampang untuk menciptakannya. Mungkin IGGI ini bisa dianggap sebagai suatu "kebetulan sejarah". Tak jelas apakah ada gunanya atau tidak jika dilakukan suatu pengkajian mengenai sebab-sebab terbentuknya IGGI dan faktor-faktor yang mendukung kelangsungannya selama hampir seperempat abad ini. Yang jelas adalah bahwa "reform" ipoleksos (ideologi, politik, ekonomi, dan sosial) yang terjadi di Indonesia dengan kekuatan sendiri pada paruh kedua tahun l960-an itu telah ikut memobilisasi komitmen sejumlah negara untuk ikut membuat reform itu berhasil. Bahwa IGGI dapat bertahan selama hampir 25 tahun mungkin pula mencerminkan kontinuitas dan stabilitas politik di Indonesia dan keterlibatan yang terus-menerus dari sejumlah pengelola ekonomi yang telah dipercaya oleh pihak pemberi. Peranan Bank Dunia juga sangat menentukan. Laporan tahunannya tentang ekonomi Indonesia menjadi dasar penentuan jumlah bantuan dan arah bantuan. Isi laporan itu dari tahun ke tahun semakin mencerminkan kebutuhan obyektif dan "keinginan yang ada di pihak Indonesia sendiri". Mekanisme konsorsium yang didukung oleh masukan intelektual dari Bank Dunia ini membuat proses pemberian bantuan menjadi efisien dan efektif bagi Indonesia, dan secara politis juga sangat membantu pemerintah negara donor. Dengan latar belakang ini tentu saja kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk mempersoalkan IGGI, yang tampaknya telah menjadi suatu mekanisme yang memberikan hasil optimal. Buktinya lagi, dalam keadaan ekonomi dunia yang menunjukkan tanda-tanda kekurangan modal (global capital shortage) ternyata komitmen bantuan ke Indonesia masih dapat meningkat. Tambahan lagi, mereka yang melihat bahwa IGGI mendikte penetapan prioritas pembangunan dan mendesakkan syarat-syarat, seperti penghapusan kemiskinan, pelestarian lingkungan, pengembangan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, sebenarnya mereka itu tak mengerti bahwa tuntutan-tuntutan itu sangat masuk akal dan memang kita sendiri juga mendukungnya. Jika ada pertanyaan yang ingin kita lontarkan, pertanyaan itu harus dialamatkan kepada kita sendiri. Pertama, apakah mekanisme hubungan pemberi-penerima yang demikian baik itu cenderung membuat kita menerimanya seperti adanya (take for granted) dan karenanya bersikap menggampangkan datangnya bantuan dari luar? Meningkatnya bantuan yang diberikan tahun ini antara lain didasarkan atas pertimbangan memburuknya neraca pembayaran. Dan keadaan seperti ini dianggap bersifat sementara. Betulkah itu? Proyeksi neraca pembayaran yang dibuat oleh Bank Dunia hingga tahun 2000/2001 menunjukkan bahwa Indonesia masih terus memerlukan (dan mengharapkan) bantuan IGGI dalam jumlah yang meningkat selama sepuluh tahun mendatang. Dalam proyeksi itu terlihat bahwa pada tahun 2000/2001 ekspor nonmigas diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 56 milyar dari sekitar US$ 16 milyar pada tahun 1990/1991. Namun, surplus neraca perdagangan hanya akan meningkat dari US$ 2,1 milyar menjadi US$ 4,3 milyar. Ini berarti bahwa penghasilan dari ekspor (termasuk migas) untuk sebagian besar dibelanjakan untuk impor. Defisit neraca transaksi berjalan sektor nonmigas dan pembayaran cicilan utang luar negeri pada tahun 2000/2001 akan mencapai kira-kira 6% PNB. Untuk pembiayaannya kira-kira 70% masih diharapkan datang dari bantuan luar negeri kepada pemerintah. Gambaran yang diperoleh adalah bahwa pada tahun 2000/2001 itu kita masih berada dalam proses sebagian besar dari pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri masih dibiayai oleh utang baru. Mungkin skenario ini realistis. Artinya, hasil dari ekspor seluruhnya kita pakai untuk terus-menerus memperbesar kapasitas produksi (dan kapasitas ekspor) dan sebaiknya belum disisihkan untuk membayar utang. Bila demikian, apakah mekanisme IGGI yang berfungsi sangat baik sekarang ini akan bisa menjamin pemenuhan kebutuhan itu? Sebenarnya, pada saat sekarang ini sebesar 85% dari seluruh bantuan dalam rangka IGGI datang dari tiga sumber saja, yaitu Jepang, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Mungkin mengelola ketergantungan hanya pada tiga sumber itu lebih mudah daripada banyak sumber, tetapi risikonya juga lebih besar. Hubungan baik dengan Jepang menjadi sangat penting artinya, dan ini pun tidak dapat diterima seperti adanya (take for granted). Pertanyaan kedua adalah sejauh mana peningkatan bantuan IGGI tahun ini dapat mulai mengatasi kesulitan ekonomi yang kita hadapi. Apakah fast disbursing assistance (FDA) yang diberikan untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran juga otomatis berarti bahwa tight money policy (TMP) bisa mulai dilonggarkan seperti harapan sementara kalangan? Seperti diketahui, FDA itu mengambil bentuk sector program loans dan two-step loans. Masalahnya adalah apakah kita mampu mengadministirnya sesuai dengan tujuannya, mengingat bahwa uang itu bersifat fungible, yaitu meresap ke mana-mana seperti air dalam karet busa. Tambahan lagi, sejauh mana dapat dihindarkan pemberian kredit besar-besar yang bukan ditujukan untuk proyek-proyek yang diprioritaskan, tetapi semata-mata diberikan kepada pihak-pihak yang punya kedudukan atau backing politik yang kuat? Selama jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tak jelas, selama itu pula kita akan berada dalam dilema besar. Di satu pihak akan menjurus kepada penggunaan stagnasi utang yang tidak bertanggung jawab, dan di pihak lain akan terjadi stagnasi dalam investasi yang berorientasi ekspor, sehingga target ekspor nonmigas tak akan tercapai. Terhadap persoalan dilematis ini tak ada pilihan yang lebih baik. Kedua-duanya membawa dampak ekonomi yang sangat berbahaya. Letak pemecahannya adalah di bidang politik. Tetapi seperti dapat diduga sebelumnya, dalam suasana menjelang pemilu, politik menjadi sangat tidak dapat diperhitungkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus