Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari sekadar kebetulan bila Miranda Swaray Goeltom dan Bank Artha Graha sama-sama muncul dalam dua kasus—yang satu terjadi sesudah yang lain. Selama ini Bank Artha Graha selalu disebut-sebut dalam kasus suap cek pelawat terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Miranda terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Yang belum luas diketahui, dan patut diduga berhubungan, adalah peran Miranda dalam pemberian diskon bunga pinjaman subordinasi kepada Bank Artha Graha.
Diskon bunga pinjaman itu, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2010—yang sungguh keterlaluan tak dilaporkan ke DPR—menyebabkan BI menyimpan potensi kerugian Rp 497 miliar. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution sudah berusaha menagihnya, tapi Bank Artha Graha malah menyatakan tidak terdapat kurang bayar atas bunga pinjaman itu.
Pinjaman subordinasi Rp 1,019 triliun mengucur ketika bank tempat pengusaha Tomy Winata menjadi komisaris itu dipercaya mengambil alih Bank Artha Prima, yang megap-megap kasnya pada 1997. BI menetapkan bunga pinjaman berjangka 25 tahun ini paling tinggi enam persen. Merasa kewajibannya kian berat, sejak 2007, Bank Artha Graha beberapa kali minta keringanan. Pada 23 Desember 2008, melalui rapat dewan gubernur, BI akhirnya setuju melakukan restrukturisasi, termasuk memangkas bunga menjadi hanya 3,25 persen.
Sampai di situ segala sesuatu memang tampak berlangsung seperti seharusnya. Keputusan pun ditetapkan bersama, seperti belakangan diklaim Miranda. Tapi, jika diperhatikan benar, yang terjadi dan diputuskan dalam rapat tak persis seperti yang disampaikan Miranda. Apalagi, pada kenyataannya, Mirandalah yang—berselang lima bulan kemudian—berinisiatif melaksanakan keputusan rapat saat ia menjabat pelaksana tugas gubernur.
Sulit dielakkan bila timbul anggapan keputusan pemberian keringanan bunga bagi Bank Artha Graha merupakan tindakan pilih kasih. Alasannya sangat jelas. Pada saat yang sama, Bank Artha Graha sebenarnya bukan satu-satunya bank yang meminta keringanan, Bank Mega dan Bank Danamon juga meminta hal serupa. Untuk kedua bank ini, meski membukakan jalan pelunasan pinjaman yang dipercepat, BI sama sekali tak mengubah besaran bunga.
Hal lain yang ikut memperkuat kesan BI telah memberi perlakuan "khusus" adalah dibiarkannya Bank IFI sekarat dan kemudian mati karena beban kredit serupa. Padahal menyelamatkan bank jelas merupakan tugas BI. Dalam rapat, beberapa deputi gubernur mempertanyakan ihwal ini. Tapi pemberian fasilitas istimewa untuk Bank Artha Graha, yang datang dari Deputi Gubernur Bidang Pengawasan Bank Siti Fadjrijah dan didorong Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior, akhirnya tak terbendung.
Keputusan rapat dewan gubernur memang merupakan kebijakan, sesuatu yang seharusnya bukan obyek perkara hukum. Kecuali di kemudian hari bisa dibuktikan ada tindakan melawan hukum di balik lahirnya kebijakan itu. Karena itu, yang paling mungkin dilakukan adalah menelusuri kemungkinan ada peserta rapat yang punya motif mengarahkan hasil akhir rapat, misalnya karena telah menerima suap, sumbangan, atau pemberian yang lain. Dari titik inilah, dalam kasus diskon "bersahabat" untuk Bank Artha Graha, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa melancarkan penyelidikan. KPK perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan membuktikan kecurigaan tentang adanya suap.
Kecurigaan terhadap Miranda bukan tanpa dasar. Ketika terpilih menjadi Deputi Gubernur Senior pada 2004, Miranda diduga menerima sokongan dana dari pihak luar yang berniat mengambil manfaat dari keberadaannya di BI. Dana senilai Rp 24 miliar itulah yang dibagi-bagikan sebagai "gizi", dalam wujud 480 lembar cek pelawat, kepada sejumlah anggota DPR. Bank Artha Graha punya kaitan dengan cek pelawat itu.
Miranda, yang menyelenggarakan rapat kilat untuk melaksanakan keputusan rapat dewan gubernur tapi menyangkal tahu-menahu urusan teknis, menolak dikaitkan dengan Bank Artha Graha. Bantahan serupa juga datang dari Bank Artha Graha. Tapi, karena kebetulan-kebetulan yang terlalu gamblang di antara dua kejadian terpisah itu, masalahnya tak boleh berhenti di sini.
KPK bisa saja memisahkan kedua perkara itu. Tapi proses penyelidikannya, dan kelak penyidikannya jika fakta-fakta yang relevan diperoleh, mesti diusahakan sekeras-kerasnya. Pimpinan baru KPK menanggung beban berat untuk mengungkapkan sejelas-jelasnya kasus yang mulai dibuka pendahulunya itu. Menemukan adanya kaitan antara Miranda dan Bank Artha Graha, baik dalam kasus cek pelawat maupun perlakuan istimewa terhadap Bank Artha Graha, akan menambah kredit signifikan bagi KPK. Ini penting untuk menambah keyakinan publik bahwa KPK masih pantas menjadi tempat menaruh harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo