Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA Harifin Andi Tumpa terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung pada Januari 2009, banyak yang khawatir reformasi peradilan akan menemui ajalnya. Tumpa dianggap mewakili banyak sisi yang mengecewakan dari lembaga yang menjadi gawang terakhir pencarian keadilan itu. Ia hakim karier, sehingga diragukan akan mampu membenahi institusi yang lama jadi tempatnya mengabdi.
Lelaki kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, 23 Februari 1942, ini juga dinilai kelewat sepuh. Dia jadi wujud paling nyata dari hasil Revisi Undang-Undang Mahkamah Agung, yang memperpanjang usia pensiun hakim agung hingga menjadi 70 tahun. Banyak aktivis dan pengamat hukum sempat menentang keras beleid baru itu. Mereka yakin perubahan hanya akan berjalan lebih progresif di tangan generasi yang lebih muda.
Memang, tak ada gebrakan mencengangkan yang dibuat Tumpa. Tapi kekhawatiran terhadapnya, yang terkadang berlebihan, juga tak sepenuhnya terbukti. Tumpa boleh dibilang cukup berhasil dengan membagi 54 hakim agung yang ada saat ini ke dalam lima sistem kamar berbeda, yakni pidana, perdata, agama, militer, dan tata usaha negara. Dengan begitu, tak ada lagi cerita seorang hakim agung yang berlatar keahlian hukum agama mengadili sengketa perdata atau perkara korupsi. Begitu juga sebaliknya.
Calo perkara dan makelar kasus tak sepenuhnya bisa dihabisi. Namun sistem informasi penanganan perkara yang sudah dibuat online lumayan membantu para pencari keadilan untuk mengecek kemajuan upaya hukum mereka.
Dua pekan lagi, Tumpa akan memasuki masa pensiun. Masih banyak masalah klasik di Mahkamah yang ia tinggalkan. Tunggakan perkara tetap saja menggunung. Di awal kepemimpinannya, ia mewarisi 8.280 perkara yang belum diputus pada 2008. Di pengujung jabatannya, angkanya tak banyak beranjak. Dari total 20.234 perkara yang masuk sepanjang tahun lalu, ada 11.671 yang bisa kelar. "Sisanya masih berjalan sebanyak 8.563 perkara," demikian Harifin Tumpa dalam laporannya.
Bisa saja Hatta Ali yang nanti akan menggantikan Tumpa. Silakan juga kalau mereka hendak memilih Ahmad Kamil, Mohammad Saleh, Abdul Kadir Mappong, atau bahkan kandidat yang tak banyak diperhitungkan seperti Artidjo Alkostar. Yang pasti, siapa pun hakim agung yang terpilih jadi pemimpin baru pekan ini, ia akan tetap dihadapkan pada kronisnya praktek suap yang masih membekap peradilan kita. Pembenahan atas lemahnya pengawasan terhadap hakim-hakim nakal merupakan pekerjaan rumah yang tak mudah.
Tentu kita tak ingin mendengar lagi putusan Mahkamah Agung yang tidak hanya janggal, tapi juga melukai rasa keadilan publik dan melawan akal sehat. Cukup sudah vonis konyol semacam yang dihadapi Prita Mulyasari atau nenek Rasmiah, yang dijatuhi hukuman bui empat bulan sepuluh hari lantaran dianggap terbukti mencuri enam keping piring dan pakaian bekas majikannya.
Untuk itulah, siapa pun yang nantinya duduk di kursi yang ditinggalkan Tumpa punya kewajiban lebih aktif mengasah kecerdasan dan sensitivitas para koleganya dalam menimbang perkara. Sebagai langkah pertama, kita sungguh berharap proses pemilihan Ketua MA kali ini menjadi ajang perdana untuk membuktikan komitmen mereka. Sebab, bagaimana mungkin kita bisa percaya akan muncul pemimpin baru Mahkamah yang bersih dan amanah jika pemilihannya saja sudah dipenuhi praktek tak bermartabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo