Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Republik Indonesia seharusnya tidak memecat anggotanya hanya karena persoalan orientasi seksual. Tidak ada satu pun undang-undang dan peraturan yang melarang seorang homoseksual menjadi personel Korps Bhayangkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang memecat Brigadir TT, 29 tahun, pada 27 Desember 2018 tidak akan ada jika mengacu pada peraturan. Komisi Kode Etik yang menyidangkan kasus ini menganggap TT melakukan perbuatan tercela, melanggar Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Padahal peraturan tersebut hanya menyebutkan tentang norma susila, bukan soal orientasi seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemecatan pun tak perlu terjadi jika kepolisian mempertimbangkan faktor hak asasi manusia. Vonis pemberhentian dengan tidak hormat kepada Brigadir TT merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengakui persamaan terhadap hak komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender pada 2011. Indonesia sebagai anggota PBB seharusnya mematuhi resolusi tersebut.
Kepolisian sebenarnya sudah memiliki dasar untuk menegakkan prinsip kesetaraan dan menjunjung hak asasi manusia. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Standar Hak Asasi Manusia dalam Tugas Kepolisian dengan terang-benderang menyebutkan bahwa polisi wajib melindungi kaum minoritas, salah satunya adalah komunitas yang memiliki orientasi seksual berbeda. Peraturan itu seharusnya juga diterapkan ke lingkup internal kepolisian.
Brigadir TT melawan putusan Komisi Kode Etik dengan mengajukan permohonan banding. Setali tiga uang dengan sidang Komisi, permohonan bandingnya ditolak. Ia tetap dipecat dengan tidak hormat. Hak-haknya sebagai seseorang yang pernah mengabdi kepada negara, seperti uang pensiun, dicabut. Hukuman ini sama dengan vonis bagi personel kepolisian yang terlibat narkotik, pembunuhan, hingga pemerkosaan. Ia menggugat pemecatan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.
Majelis hakim PTUN Semarang harus mempertimbangkan masak-masak dasar hukum dan pengabdian yang diberikan TT selama bertugas di kepolisian. Setiap warga negara, apa pun status dan orientasi seksualnya, memiliki hak yang sama untuk mengabdi kepada negara dan melindungi masyarakat.
Brigadir TT tak memiliki catatan buruk selama kerja. Kariernya sebagai polisi pariwisata berjalan mulus. TT tak pernah mendapat hukuman penundaan pangkat. Ia juga tak pernah tercatat melakukan kejahatan dan pelanggaran serius. Ini menepis tudingan bahwa TT adalah seorang pelaku kriminal. Pada awal penangkapan, TT sempat dituduh memeras seorang dokter di Kudus, tapi tak terbukti. Tuduhan telah melakukan desersi sebagai salah satu faktor untuk memecat TT sangat dipaksakan.
Kepolisian RI seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas personel. Survei penilaian integritas Komisi Pemberantasan Korupsi yang dirilis pada November 2018 mencatat bahwa kepolisian duduk di posisi kedua terbawah dengan nilai hanya 54,01. Polisi masih dianggap lemah dalam mencegah budaya korupsi serta mengelola sumber daya manusia dan anggaran. Artinya, polisi masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang jauh lebih penting ketimbang mengurus orientasi seksual anggotanya.