Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Megawati sering mengeluh tentang besarnya utang bangsa Indonesia. Ini keluhan yang wajar, yang juga kita rasakan. Namun persamaan rasa ini sayangnya tak bergulir hingga ke ujung lain buku kas pemerintah, ke kolom piutang negara. Entah karena tak diberi tahu para pembantunya, entah karena sebab lain, pendapat Presiden perihal ini—dengan mengutip sebuah iklan produk otomotif—"suaranya nyaris tak terdengar."
Padahal besarnya piutang ini dan cara penanganannya yang terkesan kusut sungguh membuat kita banyak mengelus dada. Ratusan triliun rupiah menguap tanpa kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab. Hampir Rp 500 triliun piutang negara hangus dan dinyatakan sebagai "biaya krisis", tapi yang masuk penjara tak lebih dari hitungan jari. Bahkan sebagian besar pengusaha yang berutang triliunan rupiah dan menyatakan tak sanggup membayar itu ternyata tetap hidup mewah dan hilir-mudik dengan mobil wah. Termasuk para pejabat yang dulu turut bertanggung jawab atas guyuran pinjaman dari bank-bank milik negara yang kemudian bangkrut tapi ternyata umumnya masih bergaya hidup dengan lebih dari sekadar berkecukupan.
Tengok apa yang terjadi dengan piutang pemerintah pada kelompok usaha Texmaco, yang nilainya setelah direstrukturisasi mencapai Rp 29,37 triliun. Sampai Badan Penyehatan Perbankan Nasional resmi dibubarkan 27 Februari lalu, yang uang pesangonnya saja lebih dari Rp 300 miliar itu, kasus ini tak juga dapat dituntaskan. Upaya terakhir menjual hak tagih piutang ini ke investor asing cuma mendapat tawaran seperseratus nilai nominalnya, alias berpotensi menghanguskan lagi lebih dari Rp 29 triliun uang negara. Ini jumlah yang cukup untuk membiayai kegiatan pemilihan umum, seperti yang sebentar lagi akan berlangsung, sepuluh kali.
Penawaran teramat rendah itu, menurut para calon investor, karena diperlukan suntikan modal besar—ada yang menyebutkan sekitar US$ 200 juta—untuk membuat mesin-mesin pabrik Texmaco menjadi produktif kembali. Selain itu, banyak yang khawatir sulit menguasai aset-aset tersebut secara fisik kendati secara hukum sudah menguasai semua surat yang diperlukan. Maklum, perkara penegakan hukum memang masih menjadi persoalan besar di negeri ini. Jika pemerintah saja sering kedodoran dalam menguasai unit-unit produksi yang telah disitanya, bagaimana pula kalangan swasta.
Menghadapi masalah ini, pemerintah tak punya banyak pilihan lain. Secara strategis, yang paling mungkin dilakukan demi meminimalkan kerugian publik adalah menyita semua aset tersebut, lalu mencari mitra strategis untuk mengoperasikannya, termasuk menyuntik modal kerja, dengan model pembagian keuntungan. Karena Texmaco tercatat pernah menjadi produsen bahan tekstil terbesar di dunia, mestinya tak sulit mencari perusahaan multinasional sejenis yang akan tertarik untuk mengoperasikan pabrik-pabriknya.
Demikian pula dengan aset di bidang rekayasa. Mengingat mulai berlakunya kawasan perdagangan bebas ASEAN tahun depan—yang memberikan fasilitas pajak sangat ringan bagi produk otomotif yang dibuat di kawasan ini—pasti banyak perusahaan otomotif mancanegara yang tertarik mengoperasikan mesin-mesin Texmaco untuk membuat produknya dengan mengeluarkan biaya investasi yang jauh lebih rendah ketimbang harus membuat pabrik baru.
Solusi ini punya manfaat berlipat ganda: selain menarik investor strategis, membuka lowongan kerja, dan meraih bagian dari keuntungan operasional, selisih antara nilai aset yang disita dan piutang yang harus dibayar tetap dapat ditagih. Bahkan patut juga dipertimbangkan menawari bekas pemilik Texmaco keringanan dan imunitas dalam mencicil selisih utangnya itu bila mereka mau memberikan bukti terjadinya kegiatan patgulipat dalam pengucuran pinjamannya pada masa lampau.
Sebab, demi menghilangkan moral hazard, pemrosesan hukum para pencuri uang negara lebih penting ketimbang sekadar mendapatkan sisa-sisa aset belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo