Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Doa

Doa adalah sebuah kejadian.

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Doa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari sekadar sebuah peristiwa, sebuah kejadian membawa sesuatu yang tak diduga, tak direncanakan—sesuatu yang tak dialami sebagai rutin. Tiap salat yang sempurna bukan ulangan salat sebelumnya. Tiap doa yang khusyuk bukan kalimat hafalan. Ia sebuah metamorfosis: di sana, sesuatu “men-jadi”.

“Doa bukanlah sebuah permohonan untuk sesuatu,” kata Henry Corbin dalam telaahnya yang terkenal tentang Sufisme Ibnu ‘Arabi. Doa itu ekspresi dari suatu modus “ada” (mode d’être). Doa itu kreatif. Tuhan hadir atau “dihadirkan” dalam doa. Doa, menurut tafsir Corbin tentang Ibnu ‘Arabi, sebuah “theofani”, sebuah kejadian penampakan (tajalli). Ada pertemuan yang intens di dalamnya. Dalam doa, aku dan Engkau bersentuhan, bersua, bertaut, tapi pada saat yang sama berjarak—karena aku tetap dalam keterpesonaanku, Engkau dalam keajaiban-Mu.

Seorang teman mengingatkan, dalam satu bab karya besar Ibnu ‘Arabi, Al-Futuhat, ada sajak yang mengatakan bahwa mereka yang rajin melakukan salat tapi hanya mengalami apa yang fisik—meliuk, meregang, menatap mihrab—berbeda dengan mereka yang sembahyangnya diberkahi munâjât, dialog ilahi yang intim. Bagi Ibnu ‘Arabi, siapa yang membaca surah Quran dan menemukan makna yang sama seperti sebelumnya berarti tidak membacanya dengan patut. Tuhan membuat baru dan segar sabda-Nya tiap kali, di tiap embusan napas. Bagi sufi besar ini, tak ada yang repetitif ketika Tuhan menampakkan kehadiran-Nya: lâ takrâr fi’l-tajallî.

Mungkin Chairil Anwar, penyair yang intens itu, mengalami hal itu ketika ia menulis sajaknya, “Doa”.

 

Betapa susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh

 

“Mengingat” Tuhan adalah sebuah ekspresi yang ganjil: Tuhan tak pernah diingat karena Ia tak berada di masa lalu. Ia selalu dalam “kini”. Ia hadir bukan sebagai kenangan.

Tapi mungkin karena itu sajak itu menyatakan betapa sukarnya “mengingat”—dan “mengingat” memang tak bisa mewujudkan kembali seutuhnya, apa pun, apalagi Tuhan.

Tuhan adalah perkara yang musykil—karena pertama-tama Ia bukan sebuah “perkara”, bukan sebuah “kasus”. Dalam telaahnya yang mendalam tentang pandangan ketuhanan Ibnu ‘Arabi, Teologi Negatif Ibnu ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, Muhammad Al-Fayyadl menunjukkan bahwa bagi sufi besar itu, Tuhan, sebagai al-wujud, ditandai oleh al-huwiyyah: kondisi di mana Allah hanya bisa ditunjuk dengan kata “Dia” (huwa). Sebab al-wujud “tidak terkatakan, tak terungkapkan oleh kata-kata, dan tidak terisyaratkan”.

Ketika yang “tidak terkatakan” itu dicoba dihadirkan “penuh seluruh”, yang terjadi adalah Ia jadi perkara yang selesai. Dengan kata lain, Ia bukan lagi al-wujud yang gaib. Dalam Mashahid al-asrar Ibnu ‘Arabi membayangkan Tuhan sudah memperingatkan, “Bila kautemukan Aku, kau tak akan melihat-Ku”.

“Tak akan melihat”—karena kita memperlakukan Tuhan sebagai sebuah konsep yang abstrak, hanya seperti sebuah formula. Seseorang yang merasa telah memiliki formula tentang Tuhan tak akan lagi terkesima, gentar, dan merunduk. Sering, tanpa disadarinya, ia anggap status formula itu setara dengan al-wujud sendiri. Ia mirip orang yang membuat berhala. Kita membentuk sesuatu—sebuah patung—yang seakan-akan punya kekuasaan atas kita, tapi, seperti kata Jean-Luc Marion, filosof Katolik Prancis itu, tatapan kitalah yang membikin berhala itu tampak. Dengan kata lain, wibawa dan keangkeran benda yang kita sembah adalah proyeksi hasrat dan rasa cemas kita sendiri. Kita pun mengedarkannya, “membawa-bawa” Tuhan, untuk menyambut atau mengutuk.

Mungkin sebab itu menghancurkan berhala bukan hanya dorongan purbasangka monotheisme. Di sana ada hasrat mengutuhkan kembali al-wujud sebagai yang “tak terisyaratkan: Tuhan yang tak dikendalikan agenda siapa pun. Ada sebaris hadis yang dikutip Ibnu ‘Arabi yang dikutip Al-Fayyadl di awal bukunya: “Tuhan, buatlah aku semakin kebingungan terhadap-Mu.” Doaku adalah sebuah proses merindukan tajalli-Mu—sebuah jalan dialog yang ingin aku perbarui.

Barangkali itu sebabnya ada hubungan diam-diam antara doa dan rasa berterima kasih. “Kalaupun doamu hanya ucapan terima kasih, itu sudah cukup,” kata Meister Eckhart, mistikus dari dusun kecil di Jerman di abad ke-13. Seperti doa, berterima kasih bukan sebuah rutin. Nikmat tak diasumsikan selamanya tersedia—atau terlampau sering diabaikan, diingkari,- seperti ketika kita tak terpesona pada indahnya bulu, bunyi, dan gerak burung di dahan sebelah rumah. Tak terpesona, tak bersyukur.

Bersyukur adalah merasa lega, agak kaget, bahwa Tuhan menyapa tiap kali. Dalam lega dan kaget itulah doa sebuah kejadian.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus