Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masyarakat Adat dalam Belantara Aturan

R. Yando Zakaria, Antropolog serta pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yogyakarta

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Masyarakat Adat dalam Belantara Aturan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertengahan Mei ini, enam tahun lalu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menegaskan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat yang telah diamanatkan konstitusi. Putusan itu mengatur kriteria dan kondisional yang perlu dipenuhi serta mekanisme pengakuan hak adat sekaligus menegaskan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui jika keberadaan mereka telah ditetapkan dalam sebuah peraturan daerah.

Putusan itu penting karena menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Alih-alih meluruskan logika hukum keliru yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Undang-Undang Kehutanan (1999) tentang definisi itu, putusan MK tersebut justru mengukuhkannya. Walhasil, putusan yang dianggap beberapa kalangan sebagai terobosan hukum tersebut hanya menghasilkan banyak aturan dengan minim perubahan.

Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai akhir 2018, hutan adat yang resmi ditetapkan baru sekitar 28 ribu hektare untuk 35 komunitas adat. Padahal, sampai April 2019, wilayah adat yang telah didaftarkan di Badan Registrasi Wilayah Adat, suatu jaringan kerja masyarakat sipil pembela hak-hak masyarakat adat, terdapat 814 peta wilayah adat dengan luas sekitar 10,24 juta hektare.

Peta wilayah tersebut berasal dari 26 provinsi dan 107 kabupaten/kota. Sebanyak 21 persen di antaranya, seluas 2,36 juta hektare, berada di kabupaten/kota yang telah memiliki kebijakan daerah yang bersifat mengatur pengakuan masyarakat adat. Sebanyak 8 persen (1,39 juta hektare) sudah memiliki penetapan pengakuan melalui peraturan daerah atau surat keputusan (SK) kepala daerah. Sisanya, 6,48 juta hektare, belum memiliki perda ataupun SK kepala daerah. Menurut pemerintah, hanya sekitar 450 ribu hektare yang layak dicadangkan untuk penetapan hutan adat dalam waktu dekat.

Sementara itu, meski telah memiliki Peraturan Nomor 10 Tahun 2017 tentang tata cara penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada di kawasan tertentu, seperti hutan dan perkebunan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang hanya berhasil mengeluarkan beberapa sertifikat hak komunal di Jawa Timur (Tengger), Bali, dan dua persekutuan adat di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Faktor utama penghambat Putusan MK Nomor 35 menurut kajian-kajian ilmiah adalah birokrasi, dari kesungguhan presiden hingga pemerintah daerah. Juga lemahnya kemauan politik elite nasional dan daerah (karena tidak melihat manfaat politis dari isu ini) serta komunitas yang belum terkonsolidasi dengan baik. Dalam banyak masyarakat adat saat ini, penguasaan tanah (termasuk hutan adat) berpusat pada sistem kekerabatan, seperti marga raja bersama marga boru dalam etnis Batak Toba, kaum dan suku dalam etnis Minangkabau, serta soa dalam etnis Maluku.

Faktor penghambat makin pelik jika melihat besaran anggaran dan waktu legislasi yang lama jika syarat peraturan dan/atau SK kepala daerah itu hendak dipertahankan. Menurut pengalaman saya selama ini, untuk satu peraturan daerah penetapan komunitas masyarakat adat perlu setidaknya biaya Rp 500 juta sampai Rp 2 miliar. Alih-alih membantu masyarakat adat memperoleh haknya, ketentuan dan kebutuhan ini berpotensi membunuh mereka.

Masyarakat adat akan diakui hak-haknya sepanjang mereka masih eksis, seperti hendak dirangkul dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang poin-poinnya beredar pada awal April 2019. Untuk itu, masyarakat adat harus membuktikan diri memang masih memenuhi sejumlah syarat.

RUU Pertanahan merumuskan “kesatuan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal-usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Rancangan itu juga mengatur soal hak ulayat. Di sana hak ulayat didefinisikan sebagai “hak kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat komunal untuk menguasai, mengelola, dan/atau memanfaatkan serta melestarikan wilayah adatnya sesuai tata nilai dan hukum adat yang berlaku”.

Hak penguasaan atas tanah atau hak atas tanah adalah hubungan hukum yang memberi wewenang untuk berbuat sesuatu atas tanah itu. Hak penguasaan atas tanah ini dapat dipakai dalam arti fisik dan yuridis. Pengertian penguasaan dan menguasai di sini berdimensi perdata dan publik. Penguasaan dalam dimensi perdata adalah penguasaan yang memberi “wewenang untuk mempergunakan” tanah yang bersangkutan, sedangkan penguasaan dalam dimensi publik memberi “wewenang kepada pemegangnya untuk mengurus dan mengatur” tanah (wilayah) yang dikuasainya.

Menurut Soermardjono (2018), pengertian hak atas tanah yang demikian itu juga berlaku bagi hak ulayat. Artinya, ada hak ulayat yang bersifat publik dan ada pula yang bersifat privat. Pertanyaannya kemudian, pada hak ulayat yang mana ketentuan yang diusulkan Tim Perumus RUU Pertanahan itu dimaksudkan?

Sejatinya konstruksi hukum yang hendak digunakan oleh RUU Pertanahan adalah pengakuan bersyarat dan bertahap yang mulai diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan belakangan diperkuat oleh putusan MK 35/PUU-X/2012.

Padahal, di tingkat komunitas, urusan penguasaan tanah umumnya berpusat pada unit-unit sosial yang terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan semata. Keberadaan entitas sosial yang bersifat publik semacam nagari, negeri, dan desa pekeraman atau marga (Papua) di berbagai pelosok negeri telah memudar dan kehilangan peran. Malah lebih banyak yang telah punah sama sekali.

Selain itu, ingat bahwa ada masyarakat adat yang masih berburu dan meramu. Sistem penguasaan lahannya berbeda sama sekali. Dalam masyarakat seperti ini, mereka belum mengenal model penguasaan persil lahan. Yang mereka tahu adalah medan pengembaraan kehidupan yang disebut para ahli sebagai labenstraum.

Masalahnya, masyarakat adat itu sudah ada sebelum Negara Republik Indonesia ada dan masih eksis hingga sekarang. Sesuai dengan paham teori entitas natural, merujuk pada Suwitra (2018) serta Simarmata dan Steni (2015), tidak ada alasan bagi negara tidak mengakuinya sebagai badan hukum yang mempunyai hak atas tanah komunalnya.

Toh, pengakuan atas keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya telah selesai pada tingkat konstitusi. Dengan demikian, pekerjaan rumah yang masih tersisa adalah bagaimana mengadministrasikan pengakuan dan melakukan sejumlah upaya untuk melindunginya dari berbagai ancaman yang mungkin saja akan merugikan masyarakat adat itu.

Maka pendekatan pengadministrasian bisa menjadi pendekatan baru dari semua pendekatan pengakuan hak ada yang ada selama ini. Artinya, jangan sampai aspek teknokratik-birokratik sistem pengadministrasian tersebut, yang selama ini dijalankan pemerintah, justru menghambat niat awal pengakuan hak-hak masyarakat adat itu sendiri.

Langkah pertama yang harus ditempuh adalah meniadakan proses penetapan subyek hak. Pengakuan hak-hak masyarakat adat memang harus dapat dilakukan semudah mungkin. Bak warga negara membuat kartu tanda penduduk atau pembuatan sertifikat tanah saja.

Tidak perlu melalui proses politik dan birokrasi yang berbelit hingga melibatkan parlemen atau menteri segala. Dalam konteks masyarakat berburu dan meramu, pemerintah yang harus proaktif mencadangkan lahan bagi kehidupan komunitas itu.

Dari perspektif kajian sosio-antropologis masyarakat adat sebagai subyek hukum atas berbagai obyek hak itu bukanlah suatu yang sulit karena memang telah menjadi bagian kehidupannya sehari-hari. Tidak sulit untuk menilai apakah klaim suatu masyarakat adat itu benar atau tidak. Sebab, susunan masyarakat adat itu sudah demikian adanya. Tak satu pun entitas sosial yang dapat mengada-ada begitu saja.

Bahwa akan ada banyak klaim yang tumpang-tindih juga tak mengejutkan. Serahkan saja soal ini pada mekanisme internal masyarakat adat yang bersangkutan untuk menyelesaikannya. Negara dan pemerintah tinggal mendaftarkan hasilnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus