Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 20 Oktober 1997, Presiden Soeharto menyatakan akan lengser keprabon madeg pandita. Pada masa Abdurrahman Wahid, aksi impeachment mengalihkan kekuasaan kepada Megawati Soekarnoputri. Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, isu impeachment beralih ke pemakzulan dan muncul-tenggelam mengikuti suhu politik. Sementara itu, Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan kata diberhentikan dan pemberhentian presiden.
Ketiga kata itu berkelindan dalam wacana politik kita. Ketiganya memiliki latar sosial-budaya yang berbeda. Lengser berlatar budaya Jawa. Dalam kisah pewayangan, disebutkan bahwa Wisrawa, ayah Dasamuka, diberkahi Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu. Ia kemudian memilih lengser keprabon dengan menyerahkan takhta kepada putranya, Prabu Danaraja. Ia lalu menjadi wiku atau pandita (madeg pandita) untuk menyebarkan ilmunya.
Kata lengser kemudian kalah pamor oleh impeachment, yang berlatar budaya Barat. Ketika gencar digunakan, kata itu banyak dipertanyakan. Bukankah impeachment lahir dari budaya Barat yang kerap mempertontonkan kekejaman politik? Lalu dicarilah kata yang memiliki kemiripan makna dan pemakzulan pun hidup kembali.
Russell Jones mengidentifikasi makzul berasal dari bahasa Arab dengan arti “be deposed,- retire from office”. Makzul lebih dulu “dipinjam” bahasa Melayu, yang kemudian dicatat Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan arti “berhenti memegang jabatan; turun takhta”.
Kamus Dewan melabelkan “Arab (Ar)” pada makzul, sementara Kamus Besar menghilangkannya. Ini dapat dimaknai bahwa kata itu lazim dipakai dan sudah padu dalam bahasa Indonesia. Kata makzul ternyata sudah lama digunakan dalam teks-teks Melayu.
Teks Bustan al-Salatin (Taman Para Sultan), yang ditulis pada 1638, mencatat bentuk makzul, dimakzul, dimakzulnya, dimakzulkan, makzullah, makzulnya, memakzulkan, dimakzulkannyalah, dan kaumakzulkan. Sesuai dengan judulnya, teks itu berisi beragam kisah para penguasa Parsi, Byzantium, Mesir, Arab, hingga Malaka dan Aceh. Kata makzul beserta turunannya berkaitan dengan kisah penguasa-penguasa Arab, sehingga wajar jika diasumsikan bahwa kata tersebut memang dipinjam dari bahasa Arab dengan arti “berhenti dari kedudukan dan jabatan”, baik untuk sultan maupun jabatan lain, seperti panglima perang dan hakim atau kadi.
Teks Hikayat Hang Tuah, yang mulai ditulis sekitar 1700, mencatat bentuk dimakzulkan. Dalam teks ini, kata itu digunakan dalam konteks pemberhentian raja dari kekuasaannya. Teks Hikayat Patani, yang mulai ditulis sekitar 1730, juga mencatat bentuk dimakzulkan. Dalam teks ini, kata itu digunakan dalam konteks pemberhentian seseorang dari jabatan bendahara kerajaan.
Teks Mukhtasar Tawârîkh al-Wustâ, yang mulai ditulis pada 1854, mencatat pula bentuk dimakzulkan. Dalam teks tentang sejarah Riau ini, kata itu digunakan dalam konteks pemberhentian raja dari kekuasaannya. Adapun teks Hikayat Muhammad Hanafiah, yang mulai ditulis sekitar 1380, mencatat bentuk dima`zulkannya. Dalam teks ini, kata itu digunakan dalam konteks pemberhentian khalifah atau raja dari kekuasaannya.
Teks Surat Perjanjian Banjar-Belanda, yang ditulis dalam rentang 1747-1860, mencatat bentuk ma`zul. Dalam teks ini, kata itu digunakan dalam konteks pemberhentian menteri kerajaan Banjar. Teks Surat Kesultanan Banten, yang ditulis dalam rentang 1629-1819, mencatat bentuk ma`zul. Teks dalam Surat Beriluminasi Raja Nusantara 1791-1886 juga mencatat bentuk ma`zűl. Dalam kedua teks tersebut, kata makzul digunakan untuk Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese yang diberhentikan dengan hormat dan digantikan Herman Willem Daendels.
Teks Aqâ´id al-Nasafî, yang mulai ditulis sekitar 1590, mencatat pula bentuk ma`zul. Bahkan teks itu memberikan keterangan langsung setelah kata makzul, yaitu “ya`ni dipaccat”, yang digunakan dalam konteks pemberhentian raja karena berbuat fasik dan durhaka. Terakhir, teks Hikayat Aceh, yang mulai ditulis sekitar 1600, mencatat bentuk ma`zulkan. Dalam teks ini, kata makzul digunakan dalam konteks pemberhentian sultan di Aceh Darussalam.
Dari korpus tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata makzul memiliki arti yang netral. Kata itu dapat digunakan untuk raja atau penguasa atau jabatan tertentu dan dapat berkonotasi positif dan negatif.
Lalu apakah kata makzul sama dengan impeach? Dalam kamus Oxford dan Webster, kata impeach memiliki konotasi negatif yang berkaitan dengan adanya unsur “pelanggaran hukum atau etika”, sementara makzul netral. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makzul memiliki arti yang lebih umum daripada impeach. Dengan kata lain, makzul dapat digunakan sebagai padanan impeach, tapi artinya bukan hanya itu.
*) PENELITI DI BALAI BAHASA JAWA BARAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo