Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak seperti riwayat telur dan ayam, keberadaan masyarakat dan negara bisa dirunut sejak mula, yakni masyarakat hadir untuk membentuk negara. Dalam hal ini negara adalah kesatuan administratif yang dibentuk oleh sekelompok orang untuk menyatukan masyarakat yang berada dalam wilayah yang berserak. Demikian halnya jika kita menelisik masyarakat adat di dalam kawasan hutan.
Sebagaimana konstitusi mengamanatkan bahwa bumi, air, dan udara dikuasai negara, demikianlah hak pengaturan menjadi mandat kesatuan administratif itu. Masyarakat adat sudah eksis sebelumnya menjalankan kearifan dan budaya mengelola alam dan menjadikan hutan tempat tinggal mereka. Negara hanya perlu mengelola aturan main agar perlakuan terhadap tiap kelompok masyarakat tersebut menjadi adil serta akuntabel dari sisi tata kelola negara atau pemerintahan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menyatakan hutan adat adalah hak masyarakat adat, bukan lagi hutan negara, semestinya dilihat sebagai delegasi penuh negara kepada masyarakat adat yang melekat sejak mereka ada. Di antara hubungan keduanya, hadir pemerintah pusat ataupun daerah dengan mandat sebagai regulator untuk memastikan konstitusi diberlakukan secara adil di lapangan.
Latar belakang filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebutlah yang menjadi dasar pemerintah membuat program Perhutanan Sosial. Program nasional ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan. Aturan tersebut ditopang tiga peraturan presiden, yaitu Nomor 2 Tahun 2015, Nomor 88 Tahun 2017, dan Nomor 86 Tahun 2018 terkait dengan Reforma Agraria.
Ada lima skema Perhutanan Sosial dalam program itu, yaitu Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanam-an Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat.Tujuan Perhutanan Sosial itu sendiri adalah terciptanya fungsi ekologis hutan, manfaat ekonomi, dan fungsi sosial yang menopang kehidupan masyarakat. Tugas pemerintah menyelaraskan tata kelola agar ketiga tujuan itu berjalan paralel untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kelestarian hutan.
Mengingat hutan adat berada di dalam dan di luar kawa-san hutan, payung hukum yang mengaturnya sudah cukup berjenjang. Dari Undang-Undang Desa untuk Hutan Adat di Luar Kawasan Hutan, lalu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, hingga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak.
Ada pandangan bahwa aturan yang sudah beragam itu terkesan masih berserak, belum satu payung hukum, yakni Undang-Undang Masyarakat Adat. Undang-undang tersebut sampai kini masih berupa draf yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat melalui hak inisiatif yang telah disetujui pemerintah untuk dibahas bersama. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan para pihak terkait telah mendiskusikan draf untuk mengembangkan perspektif dan melengkapi hal apa saja yang mesti diatur dalam aturan tersebut.
Ada juga yang melihat dari kacamata lain bahwa aturan yang berserak itu merupakan terobosan mengatasi ketidakpastian akibat ketiadaan payung hukum pada level undang-undang, bukan sebagai penghalang dalam proses pengakuan hutan adat.
Dari perspektif tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ketiadaan Undang-Undang Masyarakat Adat mengesankan adanya kekosongan payung hukum yang mengatur hutan adat.
Sebenarnya masih ada perangkat hukum yang tersedia, seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sehingga proses pengakuan hutan adat tetap berlangsung. Di lapangan, pemerintah telah membuat aturan teknis turunan undang-undang dan peraturan pemerintah untuk menerjemahkan pelaksanaan, perlindungan, dan pengakuan hutan adat agar prinsip pengakuan hutan berlangsung secara nyata.
Salah satunya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Hutan Hak. Untuk mempercepat proses-proses pengakuan hutan adat sejalan dengan dinamika yang ada, peraturan menteri tersebut telah mengalami perbaikan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/MENLHK-SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak pada 29 April 2019.
Peraturan menteri itu menjadi basis hukum pengakuan dan perlindungan terhadap hutan adat melalui program Perhutanan Sosial. Program ini didesain oleh pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menangkap dan memantapkan esensi putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai perwujudan Nawacita, Perhutanan Sosial berada khusus dalam satu direktorat di Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Seiring dengan sinkronisasi pemahaman para pihak yang terlibat dalam program ini, sepanjang 2016-2018 pengakuan terhadap hutan adat berjalan progresif. Sampai Mei 2019, sudah ada penetapan 49 unit surat keputusan hutan adat. Dari usul penetapan hutan adat seluas ± 3.660.813 hektare yang telah memiliki produk hukum, baik peraturan daerah maupun produk hukum daerah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan peta hutan adat dan wilayah indikatif seluas ± 472.981 hektare melalui surat keputusan 312/MENLHK/SETJEN/PSKL.1/4/2019 pada 29 April 2019 yang terdiri atas hutan negara ± 384.896 hektare, area penggunaan lain ± 68.935 hektare, dan hutan adat ± 19.150 hektare. Melalui keputusan ini pula nantinya penetapan akan dilakukan berkala dan kumulatif setiap tiga bulan, apabila ada produk hukum baru yang mencantumkan subyek dan obyek hutan adat.
Penetapan hutan adat tersebut telah melalui tahap usul dan verifikasi lapangan serta didukung peraturan daerah/peraturan kepala daerah di lokasi hutan adat itu berada secara administratif. Kendati pencapaiannya hampir 13 persen, sebagai akselerasi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor SK.347/MENLHK/PSKL/PKTHA/KUM.1/5/2019 tentang Perpanjangan Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat.
Kelompok kerja yang dipimpin Direktur Jenderal PSKL dengan keanggotaan multipihak (lembaga swadaya masyarakat, pejabat daerah, pelaku hutan adat) merupakan terobosan kebijakan untuk memproses pengakuan hutan adat. Bersama pegiat hutan adat, pemerintah mengadvokasi dan memverifikasi masyarakat adat dengan tujuan agar mereka segera mendapatkan haknya yang diakui secara hukum.
Finalisasi masih memerlukan waktu karena mandat pengaturan kepada pemerintah mewajibkan birokrasi menjalankannya sesuai dengan aturan. Setidaknya melalui proses validasi dan verifikasi itu dapat dimaknai ada jaminan pemerintah terhadap hutan adat dan perlindungan aktivitas masyarakat adat dalam mengelola hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Verifikasi itu, sekali lagi, semata-mata agar proses pengakuan terhadap hutan adat menjadi valid, akuntabel, sesuai dengan tujuan, dan tak menyalahi aturan hukum. Agar berjalan mulus, para pihak yang bekerja bersama di dalamnya perlu mendukung proses tersebut supaya masyarakat adat segera mendapatkan haknya.
Tahap-tahap pengakuan tersebut berlaku dengan derajat yang sama pada skema lain dalam program Perhutanan Sosial. Hingga Mei 2019, verifikasi dan validasi berjalan lancar dan telah tercapai + 3,1 juta hektare, dengan hampir 700 ribu keluarga ikut dalam program ini.
Target pemerintah hingga akhir 2019 bisa mendistribusikan Perhutanan Sosial 3,4 juta hektare. Untuk itu, akselerasi kebijakan dan perangkat pendukungnya akan terus digenjot buat mencapai target luas program ini hingga akhir tahun. Salah satunya dengan sinergi multipihak untuk mempercepat proses pengakuannya secara transparan dan sesuai dengan hukum.
Yang paling penting dari semua proses itu adalah setelah ditetapkannya hutan negara sebagai hutan adat yang menjadi bagian skema Perhutanan Sosial. Diperlukan pendampingan berkesinambungan untuk tetap menjaga praktik-praktik kearifan lokal dengan lebih baik, sehingga tujuan ekologis dan ekonomi dari penetapan hutan tersebut tercapai. Sebab, meski hak pengelolaan sudah didelegasikan dari negara kepada masyarakat adat, hutan yang ada di sana tetap sebagai hutan dengan kesatuan ekosistem alam yang harus dijaga kekayaan dan kelestariannya. Hal ini merupakan amanat konstitusi yang diemban oleh pemerintah.
Di luar itu, hutan menjadi sepenuhnya hak masyarakat adat. Mereka berdaulat secara penuh mengelola hutan yang ada di sekeliling tempat tinggal mereka, menjalankan kearifan lokal sebagai kekayaan identitas dan kebinekaan Indonesia. Kearifan lokal adalah modal utama mengelola hutan adat. Banyak sekali sumber daya genetik dan pengetahuan lokal, yang selain memiliki nilai ekologis, mempunyai nilai ekonomi yang masih perlu dikembangkan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam skema Perhutanan Sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo