Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dua gerilyawan

Seorang polisi pangkat paling bawah, jujur, mendapat tugas menjual karcis pacuan kuda proyek polri. pemburu telur semut ngangrang berjasa, mengambil alih tugas burung yang tinggal di sangkar-sangkar orang kota.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu datanglah giliranku didatangi wakil Slagorde Purnapahlawan 45 dengan surat resmi nomor-trek-huruf-trek-nomor-huruf-lagi-trek-tahun. Peri hal: menjual sendok garpu piring baki dari aluminium, pisau, gambar-gambar sablon. Mohon (sukarela wajib) menolong para purna yang entah mengapa tidak mendapat jatah pemerataan kekayaan rekan-rekan bekas gerilyawan lain. Tanda tangan, cap formal? komplit dengan buku-tulis daftar nama-nama penyumbang (hampir semua orang-orang desa sederhana) yang membeli (sukarela wajib) barang-barang aluminium tadi dengan harga-harga bagaikan granat mortir palagan Ambarawa. Kupandang orang muda yang membawa komersialisasi kepahlawanan serba aluminium itu. "Lho, kok saudara masih begitu muda? Dulu ikut batalyon mana?" tanyaku menguji. Tetapi segera aku menyesal, mengapa masih bertanya begitu. Kasihan aku terkenang pada seorang paman polisi berpangkat sangat bawah, yang jujur, dan pernah mengeluh lunglai. Ia begitu malu disuruh oleh kompolnya mengadakan momen surat-surat kendaraan, tetapi sekaligus harus menjual karcis pacuan kuda yang diproyek oleh Polri lokal. Mungkin orang muda di mukaku itu, yang necis, yang sopan, dengan sepatu mengkilat rambut mengkilau (benar-benar tipe proletariat kerah putih yang memilukan) hanya di suruh ayahnya saja. Mungkin dia malu juga mengemis begitu, tetapi apa boleh buat. Maka aku pun apa boleh buat, terserah dia jujur atau penipu belaka dengan surat-surat penugasan palsu, kuikuti kawan-kawan sedesa membeli (sukarela wajib). Sebilah pisau besi lunak, tumpul kasar model zaman gerilya seharga Rp 400 walaupun aku tahu, di pasar harganya cuma Rp 150 dan boleh ditawar. Dengan menghibur diri menurut ilmu-untung Kiai Mataram dari Beringin Salatiga: "Masih untung dia cuma menggerilya Rp 400. Daripada yang menggerilya Rp 400 juta." Dan pagi itu juga, para pembaca, toh terbukti Kiai Mataram dengan ilmu Begjo-nya (yang terus terang saja tidak sepenuhnya kuamini) mengutus pelipur lara. Seperti proletar kerah-putih tadi, masuklah tanpa kulo-nuwun seorang koboi pribumi jelata. Dadanya telanjang, bersandal jepit terjepit di sabuk. Ia masuk ke dalam halaman rumah kami membawa bambu runcing kecil tetapi panjang. Gerilyawan juga? Ya, betul! Tetapi gerilyawan semut rangrang. Dia datang untuk mencari itu serangga sosial besar semerah rambut Belanda yang sengit sekali bila menggigit. Di pucuk bambu teramat runcing itu terpasung bekas basket nasi, persis moncong pesawat pemburu MIG yang aerodinamis. Dengan MIG pribuminya itu sang tamu berkelana dari desa ke desa. Pandangnya menengadah, matanya yang jeli setajam pilot Israel menembus dedaunan. Dari jauh ia sudah mensinyalir sarang-sarang semut Belanda yang sedang asyik bersalin. Dan rupa-rupanya pilot MIG kita ini berhasil, sebab dalam bakul kedua yang ia bawa kulihat seonggok besar telur-telur semut, seperti nasi belaka. Memang akhir-akhir ini semut rangrang yang merajalela keterlaluan, karena burung semakin bertransmigrasi ke sangkar-sangkar orang kota yang berada. Jadi pemburu telur semut ngangrang kita ini benar-benar berjasa, dan pantas mendapat bintang Mahaakseptor kelas I dari Sudala Menteri Emil Salim. Apalagi kalau anda dengar gumamnya yang berkali-kali ia ucapkan dengan alamat padaku: "Yang penting halal, yang penting jujur. Hidup jujur, di mana-mana punya sahabat." Satu kilo telur semut dapat ia jual Rp 2000 kepada para cinta burung kicauan yang seumurnya belum pernah mendengar nama Emil Salim. Lama kami omong-omong, atau lebih tepat, aku yang tanya dan gerilyawan ekologi ini berkuliah. Tentang: manusia yang merdeka, berdaulat, penuh inisiatif, bertanggung jawab. Dan last not least, tentang istrinya yang masih muda, merdeka, berdaulat, penuh inisiatif, dan bertanggung jawab, dan tentang anaknya satu-satunya di SMP kelas 3 yang (kesimpulan dari penggambaran ayahnya sendiri) saya khawatirkan akan bisa jadi seorang proletar kerah putih di kelak kemudian hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus