Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dua Wajah Roy

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROY Marten pasti mengenal Kurt Cobain, tapi sayang ia tidak belajar tentang arti ketenaran di mata penulis lagu dan penyanyi tunggal band rock Nirvana dari Kota Seattle itu. ”Menjadi terkenal adalah hal terakhir yang saya cari,” ujar hero alternative rock yang sejak berusia 8 tahun harus menenggak Ritalin untuk meredakan attention deficit hyperactivity disorder, sejenis autisme, itu. Ritalin dipercaya menyeret Cobain menjadi pemadat heroin sepanjang hayat. Ketika Nirvana memainkan warna baru yang menawan di antara hiruk-pikuk glam metal dan arena rock pada awal 1990-an, ia pun dinobatkan media sebagai selebriti kelas dunia. Ia tersiksa dan berontak. Ia kerap tampil kumuh, dengan muka pucat, badan bongkring, dan tingkah seenaknya. Ia tak peduli ketenarannya cacat. Ternyata itu caranya mengelakkan stres hebat setiap kali pertunjukan datang.

Kepada heroin Cobain kemudian berpaling. Begitu akrabnya sampai pusat-pusat rehabilitasi tak mampu mengusir madat dari hidupnya. Radang akut bersarang di tenggorokannya, dan makin parah tahun demi tahun. Ia didera putus asa. Mulailah ia membayangkan mati muda, seperti idolanya, gitaris legendaris Jimi Hendrix, yang tewas pada usia 27 tahun.

Suatu pagi, awal April 1994, seorang tukang listrik menemukan mayat Cobain meringkuk di ruang atas garasi rumahnya di Lake Washington, Amerika Serikat. Darah mengering dari lubang di telinganya, pistol miliknya ditemukan di sana. Kesimpulan otopsi, mayat itu sudah tiga hari tergeletak. Ia baru 27 tahun.

Cobain lari dari ketenaran, mungkin juga dari istrinya yang berisik, dan memilih narkotik sebagai tempat berlindung. Di Jakarta, Roy Marten memburu ketenaran dengan bantuan sabu-sabu, sejenis madat yang digolongkan psikotropik. Roy tahu dia bukan lagi Anton, mahasiswa cerdas yang ganteng, demonstran, penakluk wanita yang ulung, seperti tokoh yang diperankannya dalam film Cintaku di Kampus Biru, satu dari tiga film laris pada 1976. Aktor yang pernah merebut Piala Citra itu sekarang seorang kakek 55 tahun dengan rambut menipis dan stamina pas-pasan.

”Saya sudah tidak muda lagi. Kerja keras di dunia film perlu tenaga ekstra.” Sabu-sabu rupanya doping yang menyediakan tenaga ekstra itu. Ia pun menggapai kontrak demi kontrak, berselancar dari sinetron ke sinetron, nyaris tanpa kenal waktu. Ia harus menjaga rezeki itu. Ia tahu benar rasanya sepi order dan kehilangan ketenaran. Sekali waktu ia nyaris pensiun dari panggung dan merancang banting setir menjual besi bekas.

Sabu-sabu boleh jadi dewa penolongnya, sekaligus iblis yang mencabik-cabik suksesnya. Ketika tertangkap pertama kali di Ulujami, Jakarta, pada Februari 2006, dengan 2,6 gram sabu-sabu di tangannya, Roy seharusnya tahu itulah saatnya berhenti dan benar-benar tobat.

Ya, ia melakukan apa yang harus dilakukan. Di bawah sorotan lampu kamera televisi, dikawal kaum infotainment yang rajin, setiap gerak-gerik Roy Marten jadi berita hangat. Roy menjalani pertobatannya seperti telenovela yang gurih. Harus diakui, Roy masih menawan di depan kamera. Pernyataan dosanya kepada anak dan istri, janjinya untuk tak terjebak psikotropik lagi, dan puisi yang dibacakannya di penjara mengiris-iris emosi pemirsa. Ketika cucu pertamanya wafat pada usia sebulan, ia disorot televisi di pemakaman, dijaga beberapa polisi, dan publik pun trenyuh. Muncul anggapan luas: Roy bukan bandit, ia hanyalah artis baik-baik yang sedang sial atau mungkin dijebak orang. Publik terseret berpendapat, tak perlu ada sanksi sosial untuknya seperti pemadat yang biasanya dijauhi.

Roy keluar dari penjara menggenggam ketenaran. Ia berbicara di banyak panggung. Ia bahkan diundang menyaksikan penandatanganan kerja sama penanggulangan narkotik antara Badan Narkotika Nasional dan harian Jawa Pos di Surabaya pekan lalu. Roy sempat berbicara dengan Kapolri Jenderal Sutanto, menyarankan pengguna narkoba diperlakukan sebagai korban dan dikirim ke pusat rehabilitasi.

Dalam hal mengirim korban pengguna narkotik ke pusat rehabilitasi ini, Roy benar. Tapi ia jelas membohongi banyak orang ketika beberapa jam setelah berbicara dengan Kapolri ditangkap lagi di sebuah hotel di Surabaya dalam kasus yang sama: sabu-sabu. Mengirim pengguna narkoba ke penjara, seperti yang kemudian kita tahu terjadi pada Roy Marten, hanya membuat akses pengguna pada barang haram itu kian luas.

Dan Roy Marten, ah, mengapa kita tak bisa melihat dua wajah pada dirinya, mengapa begitu gampang ia mempermainkan emosi kita. Kalau benar ia juga pengedar atau anggota sindikat seperti kecurigaan sementara polisi, ketenaran bisa tercerabut darinya. Kalau ibu-ibu pemuja sinetron, produser sinetron dan film, serta media infotainment mengatakan, ”Kali ini cukup, Roy,” ia bisa menimbang untuk menghidupkan bisnis besi bekasnya.

Roy semestinya belajar dari Cobain, ketenaran bisa membius, juga membunuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus