Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN setelah wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 melumpuhkan segalanya, Indonesia kini harus menghadapi hantaman kedua: melonjaknya jumlah penganggur. Pemerintah semestinya mengambil langkah cergas untuk menopang kehidupan jutaan orang yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan itu. Keputusan keliru berpotensi meningkatkan kerawanan sosial di tengah wabah yang belum ketahuan akhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandemi corona betul-betul telah menaklukkan sebagian besar wilayah bumi, tak terkecuali Indonesia. Sebagian besar kegiatan ekonomi praktis berhenti. Roda berbagai sektor industri tak lagi bergerak. Dalam waktu singkat, banyak perusahaan kehilangan pendapatan. Sebagian harus gulung tikar—dan artinya menghilangkan semua pekerjanya. Yang lain harus merumahkan sebagian pegawainya. Pilihan pahit manajemen perusahaan-perusahaan itu sudah tentu akan meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Rabu, 8 April lalu, jumlah pekerja dan buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan adalah 1,2 juta orang dari 74.430 perusahaan. Dari jumlah itu, sebanyak 1,01 juta orang merupakan pekerja formal. Mereka sebelumnya bekerja di 39.977 perusahaan. Sisanya pekerja informal, yang diberhentikan dari 34.453 perusahaan. Angka itu hampir pasti masih akan bertambah, lebih-lebih jika wabah tidak segera berakhir.
Apalagi dunia usaha masih akan terpukul hingga beberapa bulan setelah kelak pandemi berakhir. Dalam hal ini, keseriusan pemerintah untuk menggerakkan semua sumber daya guna menghentikan penyebaran virus mutlak diperlukan. Keputusan ragu-ragu—seperti yang terjadi pada boleh-tidaknya penduduk Jakarta mudik ke kampung halaman—sepatutnya tidak boleh terulang. Makin tidak karuan keputusan yang diambil pemerintah, makin panjang kemungkinan waktu berakhirnya wabah. Ini pada gilirannya bakal menyedot waktu dan perhatian perusahaan-perusahaan serta menyita kemampuan mereka untuk bangkit lagi.
Sejauh ini, kebijakan pemerintah untuk menopang kehidupan penganggur baru itu tidaklah tepat. Ketika jutaan orang kehilangan pekerjaan, Presiden Joko Widodo meresponsnya dengan mempercepat pelaksanaan Kartu Pra-Kerja—program untuk para pencari kerja yang dijanjikannya pada masa kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Program senilai Rp 20 triliun ini tidak sesuai karena sebagian berbentuk biaya pelatihan-pelatihan. Para pemegang kartu bisa menggunakan deposit di kartunya untuk biaya pelatihan yang dipilihnya.
Kartu Pra-Kerja tadinya dibuat untuk warga negara berusia minimal 18 tahun yang sedang mencari kerja, pekerja sektor informal, serta pelaku usaha mikro dan kecil. Anggaran program kampanye Jokowi ini Rp 10 triliun. Setelah pagebluk membuat banyak perusahaan rontok, program diluaskan dan anggarannya meningkat dua kali lipat. Tambahan anggaran ditujukan buat penganggur baru. Setiap pemegang kartu disebut akan memperoleh Rp 3,55 juta, yang terdiri atas biaya pelatihan Rp 1 juta, insentif Rp 600 ribu selama 4 bulan, dan tiga kali dana survei sebesar Rp 50 ribu. Pemerintah menganggarkan penerima kartu itu sebanyak 5,6 juta orang.
Insentif berupa biaya pelatihan tidak cukup berguna untuk mereka yang baru saja kehilangan pekerjaan. Mereka jauh lebih menantikan bantuan tunai untuk menggantikan pendapatan yang berhenti seketika. Pendeknya, uang tunai di tangan bisa dibelanjakan di pasar. Sebagai perbandingan, pemerintah beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Singapura, juga Hong Kong, memberikan uang tunai bagi warganya yang terkena dampak corona.
Betul, tidak mudah mendistribusikan bantuan itu ke sasaran. Data kependudukan kita telah lama punya banyak kelemahan. Usaha pembenahan terganjal pejabat korup, seperti yang terjadi ketika pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono berusaha membangun sistem kartu tanda penduduk elektronik. Toh, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak memberikan bantuan kepada sekelompok penduduk yang tiba-tiba miskin. Di masa krisis, hambatan-hambatan birokrasi dalam penyaluran bantuan bisa dipangkas.
Pemerintah Jokowi juga sudah seharusnya merelakan dana proyek-proyek ambisius seperti pemindahan Ibu Kota dipotong, untuk membiayai penyelamatan warga negara. Tanpa program jaring pengaman yang jelas, jutaan penganggur baru itu bisa memunculkan “hantaman gelombang berikutnya” buat negara: kemarahan sosial. Kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo