Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Pemaksaan Penggunaan Jilbab di Sekolah Umum

Pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah umum merupakan bentuk intoleransi yang mengoyak keberagaman. Segregasi peserta didik berdasarkan perbedaan agama harus dicegah sejak awal.

1 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Editorial Koran Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemaksaan penggunaan jilbab bertentangan dengan prinsip kesetaraan di sekolah umum.

  • Kasus pemaksaan penggunaan jilbab berulang terjadi karena ketidaktegasan pemerintah.

  • Kondisi psikologis korban harus segera dipulihkan.

PEMAKSAAN penggunaan jilbab di sekolah umum negeri yang terus berulang harus segera dihentikan. Selain menabrak aturan tentang pakaian seragam sekolah, pemaksaan itu mengoyak prinsip toleransi, keberagaman, dan inklusivitas yang seharusnya berlaku di semua sekolah yang dibiayai negara.

Kasus terbaru pemaksaan penggunaan jilbab dilaporkan terjadi di sebuah SMA negeri di Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada pertengahan Juli lalu. Kasus ini mencuat setelah orang tua murid mengadu kepada kantor Ombudsman Yogyakarta. Orang tua itu melaporkan bahwa anaknya mengalami depresi setelah dipaksa memakai jilbab oleh guru bimbingan kesiswaan di sekolah tersebut.

Pakaian seragam sekolah tak hanya berkaitan erat dengan etiket seputar kerapian dan kepatutan pakaian siswa. Pemakaian seragam sekolah juga bertujuan untuk mengaburkan perbedaan status sosial dan ekonomi di kalangan peserta didik. Kesenjangan di antara peserta didik dari keluarga kaya dan keluarga miskin diharapkan tidak terlihat mencolok. Dengan demikian, pakaian seragam sekolah akan membentuk semacam rasa kesetaraan, kebersamaan, dan inklusivitas di kalangan peserta didik.

Dalam konteks ini, pemaksaan penggunaan jilbab jelas bertentangan dengan tujuan membangun kesetaraan dan kebersamaan di sekolah. Lebih berbahaya lagi bila penggunaan jilbab di sekolah umum itu dipaksakan untuk membedakan siswi beragama Islam dengan siswi beragama lain. Maka, dengan cara itu, sekolah tidak hanya membuat segregasi berdasarkan agama, tapi juga menyemai benih konservatisme beragama dan intoleransi di kalangan peserta didik.

Aturan pemakaian seragam di sekolah negeri sebetulnya sudah cukup jelas. Peraturan Menteri Pendidikan tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik yang terbit pada 2014 membebaskan siswi untuk memakai atau tidak memakai jilbab di sekolah negeri. Ada juga surat keputusan bersama Menteri Pendidikan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri yang terbit pada 2021. Keputusan bersama ini menegaskan bahwa pemakaian seragam dan atribut seperti jilbab harus berdasarkan pilihan bebas peserta didik, bukan atas dasar pemaksaan ataupun pelarangan.

Faktanya, kasus pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah umum terus berulang. Contoh ekstrem, pada tahun lalu, sebuah sekolah menengah kejuruan negeri di Padang, Sumatera Barat, menjadi sorotan karena memaksa siswi nonmuslim mengenakan jilbab. Sebaliknya, pada 2014, sekolah-sekolah negeri di Bali dilaporkan melarang penggunaan jilbab oleh siswi beragama Islam.

Deretan kasus itu membuktikan bahwa aturan di atas kertas saja tidak cukup. Pemerintah harus lebih tegas menerapkan aturan tentang pakaian seragam sekolah yang tidak diskriminatif dan menjamin pilihan para peserta didik. Ketika pemaksaan penggunaan jilbab terjadi, pemerintah jangan ragu menjatuhkan sanksi kepada sekolah ataupun guru yang melanggar.

Agar kasus pemaksaan seperti di Bantul dan di kota lain tak berulang, Kementerian Pendidikan juga mesti membuat saluran pengaduan yang mudah diakses korban dan keluarganya. Identitas pengadu juga perlu dilindungi. Sebab, seperti dalam kasus perundungan, tidak semua peserta didik atau orang tua berani bersuara lantang. Bagi siswi yang menjadi korban pemaksaan pemakaian jilbab, ketika berani melaporkan kasusnya, ada risiko bakal dikucilkan.

Selanjutnya, setiap pengaduan yang masuk wajib direspons secara cepat, tanpa menunggu viral di media sosial. Kondisi psikologis korban pemaksaan penggunaan jilbab pun perlu segera dipulihkan. Menunda penanganan kasus sama dengan membiarkan korban dalam kondisi tertekan. Pada saat yang sama, bila tidak dicegah sejak awal, bibit-bibit intoleransi di sekolah bisa semakin subur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus