Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghentian penyidikan kasus korupsi pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 kembali menunjukkan sisi buruk dualisme peradilan pidana kita. Tentara yang terlibat seharusnya diusut dan diadili di peradilan umum—seperti warga negara lainnya—bukan di jalur khusus peradilan militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau korupsi pengadaan tiga helikopter oleh TNI Angkatan Udara ini sejatinya sudah menyengat sejak awal. Pada 2015, Presiden Joko Widodo melarang rencana pembelian helikopter buatan Inggris dan Italia itu. Sebab, harganya dianggap terlalu mahal: Rp 740 miliar. Kuat dugaan, harganya digelembungkan sekitar Rp 220 miliar. Tapi Kepala Staf TNI-AU saat itu, Marsekal Agus Supriatna, meneruskan rencana pembelian burung besi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesalahan sesungguhnya terjadi sejak awal pengusutan. Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya mengusut sendiri perkara ini pada 2017, tanpa menyerahkan penyidikan peran anggota TNI ke Pusat Polisi Militer TNI.
Memang, sempat ada kemajuan ketika KPK menetapkan bos PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh, sebagai tersangka. Diratama adalah agen penjualan AW 101 di Indonesia. Lalu, Polisi Militer pun menetapkan lima perwira sebagai tersangka, di antaranya Marsekal Pertama Fachry Adamy, pejabat pembuat komitmen (PPK) atau Kepala Staf Pengadaan TNI-AU 2016-2017. Fachry dan kawan-kawan diduga main mata untuk meloloskan PT Diratama sebagai pemenang lelang. Namun, sejak itu, pengusutan jalan di tempat. Proses hukum di Polisi Militer berkutat pada penghitungan kerugian negara--yang tak kunjung kelar. Ujungnya, Polisi Militer malah menghentikan penyidikan perkara ini.
Selama pengusutan, TNI menutup-nutupi perkara ini. Kelima tentara juga selalu mangkir saat dipanggil oleh KPK untuk melengkapi berkas penyidikan Irfan Kurnia. Penyidik KPK pun kesulitan saat meminta berkas-berkas tersangka kepada Polisi Militer TNI. Agus Supriatna, Kepala Staf TNI AU saat pembelian heli berlangsung, selalu berdalih informasi seputar pengadaan itu merupakan rahasia negara. Janji Marsekal Hadi Tjahjanto, dalam pelantikan sebagai Panglima TNI, untuk segera membawa kasus ini ke pengadilan ternyata omong kosong belaka.
Kebiasaan memakai dalih kerahasiaan negara untuk menutupi korupsi di tubuh TNI seharusnya sudah lama diakhiri. Dalih tersebut hanya membuat institusi militer semakin jauh dari pengawasan publik dan kendali hukum sipil. Ketertutupan hanya membuat kasus korupsi di sektor pertahanan sulit terungkap. Pada saat yang sama, anggota TNI yang terlibat kejahatan luar biasa seperti korupsi terus menikmati impunitas. Itu jelas melukai rasa keadilan publik.
Maka, penyidikan kasus korupsi pembelian heli ini harus dibuka kembali. Presiden Jokowi, sebagai “pemegang kendali” atas KPK yang kini menjadi bagian dari pemerintah, seharusnya mendukung penuh komisi antirasuah untuk mengusut kembali perkara ini. Jokowi juga seharusnya memastikan tak ada hambatan dari TNI terhadap investigasi perkara ini. Ingat, Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Agar kasus seperti ini tidak berulang, dualisme sistem peradilan di negeri ini perlu segera diakhiri. Caranya, antara lain, dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Revisi harus menegaskan bahwa hanya anggota TNI yang melakukan kejahatan militer--seperti pembangkangan atau pengkhianatan di masa perang--yang disidang di peradilan militer. Sedangkan tentara yang melakukan kejahatan korupsi atau tindak pidana umum harus dibawa ke peradilan umum.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo