Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendidikan semestinya diselenggarakan tanpa memandang agama.
Intoleransi di sekolah merupakan turunan dari peraturan daerah yang diskriminatif.
Intoleransi di sekolah semestinya menjadi alarm bagi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemaksaan mengenakan jilbab termasuk bagi siswa nonmuslim di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, tidak bisa dibenarkan demi alasan apa pun. Pemaksaan semacam itu merupakan bentuk intoleransi dan pelanggaran nyata atas sederet aturan, dari konstitusi hingga peraturan menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa tersebut tidak boleh dianggap remeh. Sesungguhnya sekolah bersama guru-gurunya sedang mengajari para murid untuk bersikap intoleran juga. Sejumlah riset menunjukkan bahwa para guru berpengaruh signifikan terhadap tingkat intoleransi siswa, yang bisa berujung pada radikalisme. Sungguh berbahaya jika kita menitipkan penyelenggaraan pendidikan kepada orang-orang demikian.
Respons Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, yang tidak memaklumi kejadian itu, sudah tepat tapi belum cukup. Membersihkan sekolah dari praktik intoleransi tidak selesai hanya dengan mensosialisasi peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan soal seragam. Sebagai permulaan, Menteri Nadiem mesti membongkar perspektif guru agar berpihak kepada kemajemukan.
Kasus di SMKN 2 Padang itu hanyalah puncak gunung es kasus intoleransi di sekolah. Hal serupa setidaknya pernah terjadi di Jawa Timur, Riau, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun di beberapa sekolah negeri di Yogyakarta—setidaknya sampai 2018--kewajiban berjilbab dibungkus menjadi “imbauan”. Murid yang tidak mengenakan jilbab ditekan dengan sindiran dan pertanyaan para guru.
Namun pemaksaan berkerudung kepada siswa muslim ataupun nonmuslim sesungguhnya sama diskriminatifnya dengan pelarangan berjilbab bagi siswa muslim, seperti yang terjadi di sebuah sekolah negeri di Papua Barat pada 2019. Pendidikan semestinya diselenggarakan tanpa memandang agama. Sebagaimana kasus di Padang, pemakaian atribut sekolah harus mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan yang menyatakan bahwa aturan soal seragam tak boleh mengabaikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinannya.
Dalam beberapa peristiwa seperti di Padang, intoleransi di sekolah merupakan turunan dari peraturan daerah yang diskriminatif. Mendapatkan payung aturan, sekolah kemudian memaksakan konservatisme di ruang kelas. Karena itu, pemerintah harus konsisten dalam meluruskan peraturan-peraturan daerah semacam itu agar tidak ada lagi praktik intoleransi, termasuk di sekolah.
Pemaksaan berjilbab hanyalah salah satu bentuk intoleransi di sekolah. Di sebuah sekolah negeri di Jakarta, wujudnya bisa berupa ajakan guru untuk memilih ketua organisasi siswa yang seagama. Berbagai bentuk intoleransi di tempat menuntut ilmu semestinya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mengubah wajah pendidikan, bahwa sekolah bukan hanya tempat siswa belajar mata pelajaran, tapi juga tempat belajar menjadi manusia yang menghargai kemanusiaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo