Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POSISI masyarakat adat selalu rentan ketika berhadapan dengan perusahaan yang didukung pemerintah. Mereka dengan mudah tersingkir dari tanah kelahiran oleh konsesi bisnis. Begitu pula yang dialami masyarakat adat Umalulu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat di sana berusaha mempertahankan tanah ulayat dari ekspansi bisnis PT Muria Sumba Manis. Perusahaan yang 75 persen sahamnya dimiliki PT Hartono Plantation Indonesia, anak usaha Grup Djarum, itu mendapat konsesi perkebunan tebu seluas 52 ribu hektare pada 2015. Wilayah konsesi ini merambah tanah ulayat, termasuk sumber mata air, sawah, padang penggembalaan ternak, serta situs ritual Marapu, agama leluhur masyarakat Umalulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pabrik gula Muria, yang berkapasitas produksi 12 ribu ton tebu per hari, berdiri sejak 21 April 2018. Pemerintah mengklaim pabrik itu memenuhi kebutuhan gula nasional. Pendirian pabrik tersebut menggusur penduduk 6 kecamatan dan 30 desa sejak 2017. Padahal ketika itu perusahaan baru mengantongi izin lokasi. Protes dan pengaduan masyarakat adat ke DPRD Sumba Timur menguap begitu saja.
Kebun tebu dan pabrik gula juga merusak hutan lindung Bulla di Desa Wanga. Awalnya, Dinas Kehutanan Sumba Timur meminjam hutan itu dari masyarakat adat melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Ternyata pemerintah memberikan lahan itu kepada Muria untuk pembuatan embung sumber pengairan perkebunan tebu. Ritual peribadatan masyarakat pun rusak. Situs hamayang Katuada Njara Yuara Ahu di Desa Patawang sering terendam akibat timbunan tanah galian proyek embung. Bagi masyarakat adat Umalulu, perkebunan tebu itu menghasilkan kepahitan hidup.
Alih-alih mengakui masyarakat adat dan hak-hak mereka sesuai dengan konstitusi, pemerintah sering memang justru menerbitkan keputusan yang menyasar wilayah mereka. Wilayah adat dianggap tak berpenghuni dan, karena itu, pemerintah memberikan hak pengelolaan kepada para pengusaha.
Negara belum berpihak pada masyarakat adat. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tak kunjung menyusun undang-undang khusus untuk menjalankan hak konstitusional mereka. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sudah sepuluh tahun mangkrak di Dewan dan dua kali batal disahkan.
Rancangan Undang-Undang Pertanahan pun menyebutkan masyarakat adat diakui hak-haknya hanya sepanjang masih eksis—dibuktikan dengan memenuhi sejumlah syarat. Ketentuan itu senada dengan pasal-pasal Undang-Undang Kehutanan, yang telah digugat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan dua kesatuan masyarakat adat ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah mengabulkan gugatan itu pada 2012 dan menyatakan hutan adat bukanlah hutan negara. Pasal-pasal tersebut dianggap melanggar konstitusi. Toh, putusan itu tak juga memperbaiki posisi masyarakat adat terhadap negara.
Pemerintah tak segera memperbaiki administrasi sebagai bagian upaya melindungi masyarakat adat dari berbagai ancaman. Padahal banyak hal bisa dilakukan. Misalnya menyediakan pelayanan sederhana buat mereka untuk pembuatan kartu tanda penduduk atau sertifikat tanah. Perlu dipahami bahwa hak masyarakat adat itu melekat sejak mereka lahir.
Pemerintah sering keliru menerjemahkan pengakuan kepada masyarakat adat hanya dengan menggunakan simbol-simbol mereka. Misalnya yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan mengenakan pakaian adat Sumba—wilayah yang sama dengan masyarakat Umalulu—pada saat pidato kenegaraan dan upacara peringatan Hari Kemerdekaan yang lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo