Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Perhubungan menyatakan tidak akan melarang mudik Lebaran.
Pernyataan tersebut bisa melonjakkan mobilitas masyarakat dan meningkatkan penyebaran virus corona.
Pemerintah sebaiknya melarang mudik dan meminta warga merayakan Lebaran bersama keluarga inti di rumah.
Pemerintah seperti tak pernah belajar memperbaiki cara komunikasi di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari setahun. Contoh buruk terbaru adalah pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi soal mudik Lebaran tahun ini. Dalam rapat kerja dengan Komisi Infrastruktur dan Perhubungan DPR, pekan lalu, Budi mengatakan pemerintah tidak akan melarang warga merayakan Lebaran di kampung halaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan tersebut bisa memicu kenaikan mobilitas orang pada seputar hari raya Idul Fitri, 13-14 Mei mendatang. Ujung-ujungnya, bisa ditebak, lonjakan jumlah pasien Covid-19. Memang, Menteri Budi Karya tidak mendorong orang untuk pulang kampung. Namun pernyataannya itu bisa disalahartikan publik dan menjadi kontraproduktif dalam konteks pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negeri ini telah berulang kali babak belur dihantam virus corona setelah mobilitas warganya meningkat dalam liburan hari besar. Seperti yang terjadi setelah libur panjang 17 Agustus 2020 yang mendorong peningkatan kasus hingga 188 persen dan libur maulid Nabi pada akhir Oktober 2020 sebesar 22 persen. Logikanya, virus menyebar karena manusia sebagai inang berpindah tempat dan bertemu dengan manusia lain, termasuk saat silaturahmi. Jadi, pemecahannya sederhana: batasi mobilitas.
Tahun lalu, pemerintah memberlakukan larangan mudik Lebaran. Pada Mei 2020, dengan penambahan kasus harian 400-600 orang, relatif tidak ada penolakan dari masyarakat. DKI Jakarta, sebagai episentrum penyebaran virus, malah memberlakukan pembatasan lebih ketat lewat surat izin keluar-masuk Ibu Kota. Lantas, apa yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk membolehkan mudik sekarang, saat 5.000-an orang menjadi korban baru Covid-19 setiap hari?
Jika jawabannya untuk menggerakkan roda ekonomi, klaim itu lemah. Kita sulit berharap momen mudik Lebaran bisa meningkatkan ekonomi triwulanan hingga 25 persen, seperti saat prawabah. Sebab, pandemi ini telah melemahkan banyak sendi perekonomian, dengan tak kurang dari 6,4 juta pekerja dirumahkan atau diberhentikan. Jadi, kalaupun bisa pulang kampung, para pemudik tidak akan banyak membelanjakan uangnya atau berwisata seperti pada masa sebelum wabah corona.
Terlalu prematur bagi pemerintah untuk berpikiran bahwa puncak penyebaran Covid-19 telah berlalu dan kini waktunya mengizinkan berbagai pelonggaran, termasuk membolehkan mudik. Pemerintah semestinya tak boleh silau oleh klaim penurunan grafik pandemi. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 413 Tahun 2020 tentang Pengendalian Covid-19 menyatakan bahwa puncak pandemi baru disebut terlewati jika terjadi penurunan 50 persen selama tiga pekan berturut-turut dan terus menurun pada pekan-pekan selanjutnya.
Di atas kertas, kondisi itu terpenuhi. Awal tahun menjadi tonggak baru dengan mulai bergulirnya program vaksinasi nasional. Hingga kemarin, 7 jutaan orang Indonesia telah mendapat suntikan imunisasi. Dengan 270 juta penduduk, artinya, probabilitas penularannya menurun 2,5 persen.
Namun, seperti yang diwanti-wanti banyak epidemiolog, data penurunan jumlah kasus bisa saja menyesatkan. Sebab, sejak akhir tahun lalu, masyarakat cenderung beralih ke tes cepat antigen. Sedangkan parameter yang digunakan pemerintah tetap tes PCR. Jumlah pemeriksaan yang menyusut tentu menghasilkan kasus yang lebih kecil. Apalagi hanya lima dari 34 provinsi yang memenuhi standar jumlah pemeriksaan testing minimal.
Kalaupun betul-betul akurat, data pemerintah itu tetap tak dapat dijadikan pijakan untuk melonggarkan pembatasan. Pengalaman di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan penurunan jumlah kasus pada pekan keenam pasca-imunisasi, yang mereka mulai pada awal Desember lalu. Namun jumlah kasus kembali melonjak pada Februari. Dugaan penyebabnya adalah varian baru virus corona dan rentang waktu kekebalan pasca-imunisasi. Artinya, grafik pandemi bisa memiliki lebih dari satu puncak. Walhasil, membolehkan mudik di tengah pandemi jelas lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. •
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo