Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS yang menjerat Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin semakin menambah panjang daftar dinasti politik yang berkelindan dengan korupsi. Kekuasaan yang dibangun melalui politik kekerabatan ini membuka ruang terjadinya pelbagai penyelewengan yang berujung pada praktik korupsi.
Bersama tiga tersangka lainnya, Dodi terjerat kasus dugaan korupsi pembangunan sistem irigasi. Anak mantan Gubernur Sumatera Selatan dan Bupati Musi Banyuasin dua periode, Alex Noerdin, ini diduga menerima rasuah senilai Rp 2,6 miliar. Perkara suap dalam proyek infrastruktur itu merugikan rakyat sebagai pemberi mandat.
Ironisnya, penetapan tersangka ini hanya berselang satu bulan setelah sang ayah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Alex dijerat dengan dua perkara sekaligus, yakni dugaan korupsi penjualan gas bumi dan korupsi pembangunan masjid di Palembang. Di bawah dinasti politik keluarga Noerdin, korupsi ditengarai merajalela di Sumatera Selatan.
Sebagai pejabat daerah, Dodi diduga membuat daftar paket pekerjaan. Ia yang menentukan calon rekanan yang akan menjadi pelaksana proyek. Dodi pula yang menentukan persentase pemberian fee dari setiap nilai proyek di kabupaten tersebut. Bagi-bagi fee ini semakin menunjukkan bagaimana praktik perselingkuhan antara politik dan kekuasaan dalam dinasti politik yang menguntungkan segelintir kroni—termasuk pengusaha yang menjadi teman dekat. Akses terhadap kekuasaan dan privilese inilah yang kemudian berkembang biak menjadi bibit korupsi.
Tindakan lancung ini mengingatkan kita akan politik dinasti Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin, dalam perkara suap jual-beli jabatan. Politik dinasti serupa terjadi pada Syaukani Hasan Rais dan anaknya, Rita Widyasari, di Kutai Kartanegara. Ikatan keluarga yang menjadi pintu gerbang korupsi juga terjadi pada Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, di Banten. Praktik suap dan korupsi itu merajalela di tengah mengguritanya kekuasaan keluarga.
Fenomena dinasti politik ini menjadi duri dalam demokrasi. Ironisnya, kekuasaan yang dibangun melalui politik kekerabatan ini tumbuh subur setelah reformasi 1998. Gurita kekuasaan lewat jalur keluarga hadir di partai politik dan pemerintahan. Terpilihnya kepala daerah melalui jalur kekerabatan ini bahkan seperti sudah menjadi tradisi dan berlangsung turun-temurun seperti dalam kerajaan.
Terpilihnya kepala daerah melalui politik kekerabatan ini jelas merusak demokrasi. Praktik ini mengabaikan prinsip meritokrasi rekrutmen calon kepala daerah. Nama besar keluarga jelas memberikan keunggulan non-material yang tak dimiliki calon lain dari kalangan rakyat jelata. Mereka juga mewarisi jaringan politik dan sokongan finansial yang terbangun turun-temurun dari keluarganya. Akibatnya, kandidat yang berkualitas dari luar dinasti politik memiliki peluang lebih kecil dalam kontestasi elektoral. Politik kekerabatan ini membuat mayoritas pemilih kehilangan kesempatan memperoleh calon pemimpin yang lebih baik.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya institusionalisasi partai politik. Sudah menjadi kebiasaan, para ahli waris dinasti politik ini merupakan petinggi partai. Dodi Alex Noerdin, misalnya, merupakan Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Selatan. Fenomena ini terjadi karena ada simbiosis mutualisme antara dinasti politik dan partai politik. Dinasti politik memerlukan rekomendasi partai untuk berkompetisi dalam pemilihan legislatif dan kepala daerah. Sedangkan partai membutuhkan dinasti politik untuk mendulang suara, sekaligus membiayai kegiatan operasional. Tak mengherankan bila dinasti politik menguasai struktur partai di tingkat lokal maupun nasional. Kaderisasi di partai politik pun macet.
Kian maraknya dinasti politik dalam kompetisi elektoral juga dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut larangan keluarga elite politik terlibat dalam pemilihan kepala daerah. Dampaknya, dari 1.000 lebih kandidat yang bertarung di 270 daerah pada Desember 2020, sebanyak 124 calon berasal dari dinasti politik.
Pada akhirnya, politik kekerabatan mendorong lahirnya kartel politik. Di tangan mereka, politik hanya menjadi alat untuk mengeruk manfaat bagi kepentingan keluarga, pribadi, dan segelintir kroni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo