Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tampaknya tak lagi menganggap hutan lindung sebagai kawasan penyangga kehidupan. Tak mengherankan jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengizinkan wilayah yang dilindungi fungsi-fungsi ekologisnya itu dibuka demi proyek lumbung pangan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Menteri Siti Nurbaya mengenai penyediaan kawasan hutan lindung dan hutan produksi untuk lumbung pangan yang diterbitkan pada 26 Oktober lalu bahkan bertentangan dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal undang-undang ini pun disusun secara serampangan dari awal hingga akhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Cipta Kerja mengatur hutan lindung hanya bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi fungsi pokoknya. Lumbung pangan—yang pada peraturan itu didefinisikan sebagai “usaha pangan skala luas dengan menggunakan modal, teknologi, dan sumber daya lain untuk menghasilkan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, serta perikanan”—sudah pasti mengganggu fungsi pokok hutan lindung.
Sesuai dengan nama statusnya, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang dilindungi karena bermanfaat untuk menjaga ekosistem. Penetapannya didasari fungsi hutan sebagai penyedia cadangan air bersih, penahan erosi, habitat flora dan fauna, serta fungsi lain.
Kementerian Lingkungan Hidup beralasan penyerahan hutan lindung untuk food estate hanya berlaku untuk kawasan yang tak lagi memiliki tutupan. Alasan itu salah kaprah karena kementerian tersebut justru berkewajiban memperbaikinya. Apalagi penetapan hutan lindung dilakukan dengan variabel kemiringan kawasan, jenis tanah, dan curah hujan. Artinya, kondisi biofisik hutan lindung tak bisa mengubah statusnya.
Keliru besar klaim bahwa proyek lumbung pangan nasional dijalankan untuk memulihkan fungsi hutan lindung yang rusak. Sejarah membuktikan sebaliknya. Proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektare oleh Presiden Soeharto di Kalimantan Tengah pada 1995 justru merusak ekosistem gambut dan menjadi penyebab kebakaran hutan saban tahun.
Presiden Joko Widodo menghidupkan kembali proyek serupa dengan membuat percontohan di bekas kawasan pengembangan lahan gambut seluas 165 ribu hektare selama 2020-2022. Sebagian besar kawasan itu merupakan ekosistem gambut dan separuhnya berfungsi lindung. Potensi bahaya akibat perubahan kawasan ini di masa depan sangat besar.
Pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan lahan hak guna usaha yang ditelantarkan pemilik izinnya. Data Forest Watch Indonesia 2019 menyebutkan, ada 1,5 juta hektare lahan semacam itu tak digunakan selama bertahun-tahun. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar memungkinkan pemerintah mengambil kembali penguasaan lahan semacam itu.
Izin Kementerian Lingkungan—yang seharusnya bertanggung jawab mempertahankan kawasan hutan—itu melegalkan salah arah pembangunan ala pemerintah Jokowi. Aneka proyek infrastruktur yang menjadi andalan pemerintah dalam enam tahun terakhir sering kali mengorbankan keseimbangan ekosistem.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang, antara lain, dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan makin jauh ditinggalkan. Boleh jadi, isu lingkungan dianggap mengganggu kecepatan pembangunan yang diinginkan pemerintah Jokowi. Pemerintah menganggap fungsi ekonomi hutan jauh lebih penting daripada nilai ekologisnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo