Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kawasan konflik seperti Papua, dialog dan kekerasan berkolerasi negatif satu sama lain. Makin sering dialog diadakan—betapapun panjang dan melelahkan—makin besar kemungkinan kekerasan dapat dihindari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, sikap Jakarta yang menghalang-halangi inisiatif Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk berdialog ihwal otonomi khusus patut disayangkan. Sikap paranoia aparat, yang menuduh MRP akan memprovokasi masyarakat untuk menuntut referendum, malah membuat lebih runyam konflik di Bumi Cenderawasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan atau tanpa MRP, pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan otonomi khusus, yang akan berakhir pada 2021. Evaluasi harus dilakukan secara obyektif dan menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk para ahli yang independen. Evaluasi itu penting untuk mengetahui apakah otonomi khusus masih relevan sebagai “jalan tengah” dalam meredam tuntutan kemerdekaan Papua.
Jakarta juga tak perlu terburu-buru memutuskan otonomi khusus tahap kedua (2022-2041) sementara sikap warga Papua masih terbelah tajam. Sebagian warga Papua—dengan proporsi yang terus membesar—menolak perpanjangan otonomi khusus dan menuntut kebebasan politik yang lebih luas.
Pelaksanaan otonomi khusus memang belum mengatasi konflik mengakar di Papua. Lewat penelitian intensif selama 2004-2008, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengidentifikasi empat akar konflik: proses integrasi Papua ke Indonesia yang bermasalah, kekerasan oleh negara dan pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, serta marginalisasi warga asli Papua. Laporan terbaru LIPI pada 2017 menyimpulkan empat masalah tersebut masih belum terselesaikan.
Sepanjang 2002-2020, Jakarta telah menggelontorkan Rp 126,99 triliun dana otonomi untuk Papua—setara dengan dua persen Dana Alokasi Umum Nasional. Dalam hal infrastruktur fisik, Papua memang telah banyak berubah. Meski demikian, karena lemahnya perencanaan pembangunan dan korupsi yang merajalela, angka kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan rakyat Papua masih tertinggal dibanding provinsi lain.
Dana otonomi khusus juga belum bisa “membeli hati” orang Papua. Musababnya, meski uang digelontorkan, Jakarta tak pernah mengendurkan pendekatan keamanan terhadap Papua. Kekerasan oleh aparat terus berulang. Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang Januari 2010-Februari 2018, 69 warga Papua menjadi korban kekerasan di luar hukum (unlawful killing). Betapapun besarnya, dana otonomi khusus tak akan pernah mengembalikan nyawa orang Papua yang hilang.
Jakarta harus mengakhiri pendekatan represif dan membuka ruang dialog selebar-lebarnya. Sesegera mungkin pemerintah harus merangkul Majelis Rakyat Papua. Bagaimanapun, secara legal dan kultural, MRP merupakan institusi yang relatif mewakili keberagaman warga Papua. Untuk menciptakan Papua yang damai, pemerintah tak boleh merusak “jembatan” yang tersisa.
Tak ada cara instan untuk mengakhiri konflik berkepanjangan. Dialog pun hanya mungkin berhasil bila semua pihak menyadari kekeliruan masing-masing, mau membangun rasa saling percaya, dan bersedia menempatkan diri dalam posisi yang setara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo