Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu alat pelindung diri yang sangat populer adalah masker. Kita sejatinya mengenal penutup mulut dan hidung ini sebelum virus corona merebak. Biasanya masker digunakan oleh dokter gigi yang sedang memeriksa karang dan kerak pasien atau polisi yang menjaga jalan persimpangan untuk mengatur kelancaran lalu lintas. Maklum, jalan kita tidak sehat karena polusi udara kadang melebihi ambang batas aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa pagebluk ini, penggunaan masker merupakan bagian dari penegakan protokol kesehatan, selain menjaga jarak fisik dan kerap mencuci tangan. Sebelumnya, penggunaan kata social distancing yang digunakan buat mendorong warga untuk tidak berkerumun diganti dengan physical distancing karena dianggap lebih tepat. Tapi kedua istilah ini sering digunakan oleh pelbagai media, baik cetak maupun elektronik, secara silih berganti. Malah kita jarang mendengar istilah padanannya: penjarakan sosial dan fisik.
Sesungguhnya kata masker telah lama dikenal oleh khalayak untuk menutup mulut dan hidung. Menariknya, padanan kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah topeng. Kata terakhir tersebut digunakan oleh warga jiran untuk menghindari penggunaan serapan lema asing, masker. Istilah lain yang juga acap dipakai adalah alat pelitup. Secara harfiah, kata yang diserap dari bahasa Inggris ini berarti sesuatu untuk menutup sesuatu tanpa penyebut obyek. Sementara itu, dalam keadaan sehari-hari, masker telah dipahami hanya untuk menutup mulut dan hidung, sementara topeng dilihat untuk menutup wajah secara keseluruhan.
Pendek kata, selagi kata topeng tidak dibiasakan untuk menggantikan masker, warga akan merasa tidak nyaman menyebut topeng karena selama ini kata tersebut telah terpatri pada benda ukiran yang menempel pada wajah sebagai bagian dari perlengkapan tari topeng. Berbeda dengan kata cluster yang mengalami nasib berbeda. Istilah tersebut sering diacu untuk menunjukkan gugus atau kelompok dari sumber penyebaran Covid-19. Betapapun kata gugus menggambarkan kata cluster, bahasa setempat sering kali dipahami dalam pengertian sempit sehingga kata tersebut tidak digunakan untuk menggambarkan makna yang lebih luas.
Sementara itu, dalam penggunaan di sebagian media, pilihan terhadap klaster didasarkan pada bunyi dari istilah tersebut. Dengan demikian, penulisannya secara fonologis didasarkan pada tempat huruf itu terletak dalam mulut. Peliknya, kata klaster sering digunakan untuk menunjukkan pola penyebaran virus, sementara kata turunannya, klusterifikasi, acap digunakan untuk mengelompokkan perguruan tinggi di Indonesia berdasarkan kriteria penilaian tertentu.
Manakala, dalam istilah linguistik, KBBI mengartikan sebagai kelompok konsonan atau vokal yang terdapat dalam satu daerah ucapan; gugus bunyi. Ini bermakna bahwa kata tersebut mempunyai arti sesuai dengan konteks. Pilihan salah satu koran untuk menggunakan klaster tentu menggugah karena secara umum penyerapan kata asing didasarkan pada penulisan, bukan pengucapan seperti negara tetangga, Malaysia. Tak pelak, di negeri jiran, kata asing, seperti convention, ditulis dengan konvensyen. Meskipun, anehnya, komunikasi tidak diserap dengan komunikesyen.
Sejatinya, apabila tata cara penyerapan didasarkan pada penulisan, kata cluster ditulis dan diucapkan dengan kluster. Menariknya, warga jiran tidak menulis klaster, tapi kluster dengan pengucapan klaster. Andaikata memilih pengelompokan atau penggugusan, mungkin kita tidak akan dihadapkan dengan perselisihan antara memilih klusterifikasi atau klasterifikasi. Apa boleh buat, kata asing kadang dianggap jauh lebih pas untuk menggambarkan peristiwa yang rumit dan melukiskan sesuatu yang ilmiah.
Lebih jauh, bila komunikasi dan penulisan tidak berpedoman pada aturan baku, pada gilirannya setiap komunikator dan penulis akan menggunakan istilah serapan sesuka hati, sehingga kehendak menjadikan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi internasional akan menemui kendala teknis. Keengganan menyuburkan penggunaan kosakata lokal dan ketidakkonsistenan penyerapan akan makin menjadikan bahasa nasional kita tidak lebih daripada serapan dari bahasa asing. Ironis, mungkin inilah yang memudahkan orang Inggris belajar karena kebanyakan kata yang digunakan sejatinya adalah khazanah bahasa ibu mereka. Lebih buruk, bila nanti kita berbicara bahasa nasional dalam sebagian besar lema serapan asing sehingga jati diri linguistik autentik musnah.
*) DOSEN PROGRAM MAGISTER UNIVERSITAS NURUL JADID, PAITON
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo