Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH sebaiknya memikirkan ulang rencana proyek gasifikasi batu bara. Digadang-gadang bisa menggantikan elpiji yang selama ini membuat tekor kantong negara, hasil penghiliran batu bara belum tentu menghasilkan produk akhir lebih murah. Tetap memaksakan proyek yang belum teruji keberhasilannya bisa membuat keuangan negara makin tertekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghiliran batu bara kembali mengemuka setelah PT Bukit Asam berencana meneken kerja sama dengan Pertamina dan Air Products, investor asal Amerika Serikat, pekan ini. Mereka akan membangun pabrik gasifikasi batu bara senilai US$ 2,1 miliar di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas tidak ada yang keliru dari perjanjian bisnis itu. Meski begitu, tarik-ulur masih terjadi menjelang penandatanganan kerja sama. Salah satu yang mencuat adalah kepastian peran dari tiap entitas.
Yang membuat Bukit Asam dan Pertamina maju-mundur: harga dimethyl ether (DME), sebagai hasil gasifikasi, diperkirakan lebih mahal dari impor elpiji sekalipun. Artinya, kedua perusahaan pelat merah tersebut berpotensi merugi.
Kalau sudah begitu, siapa yang harus menanggung selisih harga? Bila pemerintah harus memberikan subsidi, bukan tidak mungkin akan memicu tekanan keuangan lebih besar di kemudian hari. Niat awal menghemat kas negara malah bisa sebaliknya, membuat kantong makin boncos.
Pemerintah memang berkepentingan mengurangi ketergantungan impor elpiji. Selama ini, pemakaian elpiji untuk rumah tangga masih menerima kucuran subsidi sebesar Rp 42-55 triliun per tahun. Besarnya angka subsidi membuat pemerintah tekor. Namun memaksakan proyek gasifikasi tanpa perhitungan matang sebagai pengganti elpiji bisa membuat pemerintah rugi dua kali.
Studi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) bisa menjadi rujukan awal. Perhitungan IEEFA menunjukkan pembangunan fasilitas produksi DME tidak ekonomis dan masuk akal. Dengan total biaya produksi US$ 470 per ton, ongkos DME hampir dua kali lipat dari yang konsumen keluarkan untuk membeli elpiji saat ini. Bila diteruskan, fasilitas produksi DME diprediksi akan menelan kerugian US$ 377 juta atau sekitar Rp 5 triliun per tahun.
Dari situ saja pemerintah seharusnya sadar bahwa proyek gasifikasi batu bara bukan pilihan tepat untuk menekan defisit perdagangan, yang salah satunya datang dari impor elpiji. Pemerintah juga harus melihat best practice di negara lain. Meski proses gasifikasi telah banyak diuji coba di negara-negara kaya batu bara, tidak satu pun dari mereka menerapkan kebijakan tersebut dalam skala besar.
Pada akhirnya kebijakan penghiliran harus mengacu pada analisis biaya-manfaat untuk menakar apakah pilihan tersebut layak secara ekonomis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kebijakan itu juga tidak boleh semata-mata diniatkan untuk melegalkan perpanjangan konsesi batu bara milik para pengusaha yang akan habis masa kontraknya.
Lebih jauh dari itu, penciptaan nilai tambah dalam proses penghiliran tidak bisa disamaratakan untuk semua produk dan komoditas. Melimpahnya bahan baku bukan jaminan kita mampu menghasilkan produk akhir yang bisa bersaing. Kemampuan memasok produk yang bersaing juga bergantung pada ketersediaan input domestik yang efisien.
Presiden Joko Widodo tidak boleh memaksakan kebijakan penghiliran batu bara bila pilihan tersebut menabrak hukum pasar. Keputusan itu bisa membuat perusahaan negara yang menjadi pionir dalam program ini setengah hati melaksanakannya. Bila sudah begitu, rencana penandatanganan kerja sama gasifikasi batu bara bisa dipastikan sebatas seremoni belaka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo