Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah ancaman virus corona, perang minyak, perang mata uang, serta macetnya permintaan dan penyediaan barang dan jasa di dunia, rencana membuat omnibus law sebaiknya dihentikan saja. Bukan sekadar kehilangan relevansi, aturan besar ini—menggabungkan lebih dari 1.000 peraturan di 79 undang-undang pelbagai sektor dalam 11 kluster—berpotensi menabrak aturan, penuh muslihat, dan dipaksakan pembentukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak ahli hukum sudah bicara. Di antaranya soal omnibus yang tak memiliki pijakan hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, misalnya, sama sekali tidak mengatur tentang mekanisme pembentukan omnibus law. Memaksakan aturan raksasa itu akan membuat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah meyakini omnibus law merupakan terobosan yang dapat meringkas proses pembentukan hukum—hemat biaya, hemat waktu, dan memudahkan harmonisasi beberapa undang-undang sekaligus. Nyatanya, alih-alih meringkas, omnibus malah meringkus dan memberangus hak-hak warga sipil. Dihamparkannya karpet merah kepada investor lewat omnibus law telah mengebiri hak buruh, termasuk soal gaji dan hubungan kerja. Omnibus juga menghilangkan sejumlah aturan mengenai perlindungan lingkungan dan izin berusaha.
Selain itu, omnibus menyerahkan banyak aturan teknis kepada pemerintah dalam wujud pembentukan peraturan pemerintah. Di beberapa kluster, pemberian mandat kepada pemerintah ini terdengar konyol dan salah kaprah. Pasal tentang pers, misalnya, menyebutkan aturan turunan omnibus law adalah peraturan pemerintah. Perancang draf tampaknya lupa bahwa pers Indonesia diberi mandat mengatur dirinya sendiri. Turunan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 2003 bukan peraturan pemerintah, melainkan peraturan Dewan Pers—lembaga yang dibentuk oleh dan dari komunitas pers.
Proses pembentukan omnibus yang tidak melibatkan publik memperburuk keadaan. Dirancang secara sembunyi-sembunyi, aturan ini mendadak muncul sesaat sebelum diserahkan ke DPR. Tidak diketahui wujudnya ketika masih berbentuk naskah akademik. Para pejabat yang berwenang berkilah bahwa proses pembuatan omnibus tak terbuka untuk menghindari gaduh. Menyerahkan persiapan penyusunan omnibus law kepada Kamar Dagang dan Industri, pemerintah secara terbuka menunjukkan keberpihakannya kepada pengusaha—bukan publik luas yang semestinya mereka ayomi.
Upaya masyarakat sipil mempersoalkan peraturan tersebut bahkan dihadang. Sejumlah buruh yang merancang demonstrasi menolak peraturan sapu jagat ini diciduk polisi. Aparat mengaku penangkapan para buruh dipicu oleh aduan dari kelompok buruh lain. Namun momentum penangkapan yang bersamaan dengan rencana aksi penolakan omnibus law jelas menerbitkan curiga. Aparat juga menangkap sejumlah mahasiswa yang berdemonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di depan DPR.
Menghalau partisipasi publik dalam penyusunan omnibus law adalah tindakan antidemokrasi. Memaksakan undang-undang yang akan membawa mudarat adalah pengkhianatan terhadap orang ramai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo