Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKOMENDASI Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini seperti peluru hampa saja. Meski bunyinya sayup terdengar ke luar gedung komisi antikorupsi, dampaknya nyaris tak ada. Musababnya, Dewan Pengawas tak bisa memaksa pimpinan KPK pilihan Presiden Joko Widodo menjalankan rekomendasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pengawas menyampaikan hasil evaluasi triwulanan dalam rapat dengan pimpinan KPK pada 27 April dan 6 Mei lalu. Dewan Pengawas merumuskan 18 poin rekomendasi, sebagian di antaranya berkaitan dengan kendurnya penindakan kasus korupsi sejak KPK dipimpin Firli Bahuri. Misalnya, Dewan Pengawas mempersoalkan lambannya perburuan Harun Masiku, tersangka kasus suap penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan. Dewan Pengawas juga menyoroti maju-mundurnya perburuan Nurhadi, bekas Sekretaris Mahkamah Agung yang menjadi tersangka kasus “jual-beli” perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patut disayangkan, Dewan Pengawas menyampaikan rekomendasi mereka secara tertutup kepada pimpinan KPK. Akibatnya, publik tak bisa ikut mengawasi apakah pimpinan KPK menjalankan rekomendasi itu atau tidak. Lebih aneh lagi, Dewan Pengawas pun meminta Wadah Pegawai KPK—yang selama ini lantang mengkritik pimpinan mereka—tidak membuka kasus internal kepada publik.
Sikap Dewan Pengawas itu sebetulnya tak mengagetkan. Majalah ini telah jauh-jauh hari mengingatkan bahwa keputusan Jokowi menempatkan “orang-orang baik” di Dewan Pengawas sia-sia belaka. Sebab, latar belakang pembentukan Dewan Pengawas jauh dari niat untuk memperkuat KPK. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang KPK hasil revisi, Dewan Pengawas KPK merupakan manifestasi fobia para politikus DPR dan pejabat eksekutif atas lembaga antikorupsi yang independen.
Undang-Undang KPK terbaru memberi Dewan Pengawas wewenang yang ambivalen. Di satu sisi, Dewan Pengawas berwenang menyetujui atau menolak permohonan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dengan wewenang itu, Dewan Pengawas bisa menghambat bahkan mengintervensi pengusutan perkara di KPK. Sebelumnya, wewenang tersebut merupakan senjata andalan KPK sebagai lembaga independen.
Namun, di sisi lain, undang-undang hasil revisi tak memberi Dewan Pengawas wewenang untuk mendorong KPK bekerja lebih giat dalam memerangi korupsi. Ketika pimpinan KPK loyo membongkar korupsi, Dewan Pengawas tak bisa berbuat banyak. Itu misalnya terjadi ketika penyidik KPK gagal menggeledah ruang kerja Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam perkara suap Harun Masiku, pada Januari lalu. Dewan Pengawas pun hanya bisa manggut-manggut ketika Firli Bahuri menghentikan penyelidikan 36 perkara dugaan korupsi pada Februari lalu.
Karena keberadaan Dewan Pengawas salah kaprah sejak awal, menggantungkan harapan kepada lembaga ini ibarat memperpanjang kesia-siaan saja. Rekomendasi terakhir Dewan Pengawas itu bak gula-gula yang tidak akan berarti apa-apa. Rekomendasi tertutup itu malah bisa menabur garam bagi luka mereka yang terus berharap pemberantasan korupsi tetap berjalan.
Sebenarnya “orang-orang baik” di Dewan Pengawas yang ditunjuk Jokowi bisa menyelamatkan muka. Mereka perlu berusaha keras menyiasati kungkungan undang-undang hasil revisi. Mereka selayaknya menggandeng barisan pegiat antikorupsi. Dewan Pengawas juga seharusnya membuka rekomendasi mereka tentang perbaikan kinerja KPK kepada masyarakat melalui media massa. Dengan begitu, rekomendasi Dewan Pengawas akan menjadi alat penekan kepada pemimpin komisi antikorupsi agar tidak mengkhianati harapan publik kepada lembaga itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo