Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Khambali*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH sempat berpolemik, Sekolah Cikal yang memiliki hak atas merek Merdeka Belajar menghibahkannya kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Merdeka Belajar sebelumnya diumumkan oleh Nadiem Makarim pada akhir 2019 sebagai payung besar kebijakan pendidikan yang digagasnya. Kini polemik hak merek Merdeka Belajar memang telah usai, tapi perdebatan tersebut telah memperlihatkan bagaimana pendidikan kita masih berkisar pada urusan dagang dan slogan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan Pangkalan Data Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, merek Merdeka Belajar memang terdaftar di kelas 16 dan kelas 41. Kelas 16 terkait dengan penggunaan untuk alat tulis kantor dan kelas 41 terkait dengan jasa seperti pelatihan, pengajaran, dan kegiatan budaya (Kompas, 8 Agustus 2020).
Idiom “merdeka belajar”, ketika diseret ke urusan hukum dan paten, membuatnya diperlakukan tidak berbeda dengan merek dagang kuliner Ayam Geprek Bensu, yang sebelumnya juga ribut. Dalam ranah paten, Merdeka Belajar yang mungkin kita bayangkan sebagai gagasan pendidikan menjadi urusan siapa yang berhak dan tidak berhak untuk memakai dan mengkomodifikasinya, selayaknya barang jualan.
Dalam perkamusan kita, “merdeka” rupanya belum dikaitkan dengan “belajar”. Misalnya dalam Kamus Paedagogik (1954) yang digarap oleh Perhimpunan Pendidikan Indonesia sebagai usaha untuk membantu dalam menjelaskan vak-vak atau istilah pendidikan. Kata “merdeka” belum termuat di sana. Hanya ada entri lain yang terkait, misalnya “bebas”, yang diturunkan dalam djam-peladjaran bebas, karangan bebas, dan pembebasan. Sementara itu, belajar dijelaskan ringkas, “Berusaha memiliki pengetahuan atau ketjakapan.”
Eko Endarmoko dalam Tesamoko (2016) mengaitkan “merdeka” dengan (1) bebas, independen, langgas, mandiri, otonom, dan (2) berlapang-lapang, leluasa, lepas, los, dan sesuka hati. Adapun W.J.S. Poerwadarminta dalam Logat Kecil Bahasa Indonesia (1951) cetakan ketiga mengartikan “merdeka” sebagai (1) bukan hamba tebusan, (2) bebas; tidak didjadjah oleh bangsa asing. Sultan Mohammad Zain dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia memberikan pengertian yang hampir serupa. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V menambahkan pengertian “merdeka” dalam kalimat: merdeka dari tuntutan penjara seumur hidup. Dalam kamus, istilah merdeka ternyata masih berkutat dengan penjajahan dan tindakan kriminal.
Apabila kita telusuri dalam teks pendidikan, pemungutan idiom atau istilah “merdeka belajar” tampaknya berangkat dari ide-ide pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Dalam Wasita jilid I Nomor 3, Desember 1928, Ki Hadjar mengutarakan, “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia.” Sejurus kemudian dia menyebutkan tentang manusia merdeka, yang diterangkannya sebagai, “Manusia yang hidupnya lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”
Belajar yang memerdekakan berkelindan dengan ide-ide pendidikan yang memberi kebebasan dan cara berpikir kritis kepada murid. Gagasan tersebut banyak kita jumpai dalam buku pendidikan yang ditulis oleh pemikir pendidikan kita, seperti Tan Malaka dan Romo Mangunwijaya, atau pemikir luar seperti Paulo Freire—dalam bukunya yang diterjemahkan sebagai Pendidikan Kaum Tertindas—ataupun buku-buku lain yang lebih kontemporer. Artinya, ide mengenai merdeka belajar sama sekali bukan hal baru.
Najelaa Shihab, pendiri Sekolah Cikal, mengatakan Merdeka Belajar merupakan gerakan pendidikan untuk meningkatkan kompetensi dan kolaborasi dari guru, orang tua, komunitas, dan organisasi pendidikan. Sementara itu, Nadiem Makarim menuturkan bahwa Merdeka Belajar adalah program yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan sepaket dengan program lain, yakni Kampus Merdeka, Organisasi Penggerak, dan Guru Penggerak. Polemik yang kemudian sempat bergulir dianggap ada pada masalah hukum dan etika.
Paten sebenarnya berbicara tentang orisinalitas. Mematenkan Merdeka Belajar, selain dapat membuatnya seolah-olah itu adalah sebuah gagasan baru dan tulen, mengarahkannya bukan sebagai ide pendidikan, melainkan sebagai komoditas belaka. Lebih dari itu, polemik Merdeka Belajar menjadi cerminan dari semacam kelatahan berlebihan dan berulang untuk memproduksi istilah-istilah dalam pendidikan. Misalnya istilah pendidikan karakter, yang pada akhirnya kita tahu sekadar menjadi jargon dan bahasa spanduk.
Pendidikan sudah sejatinya menumbuhkan karakter. Begitu pula pendidikan memang sudah sewajarnya perlu dihadirkan untuk memerdekakan murid. Tidak usah lebay, kata muda-mudi. Dengan begitu, pendidikan kita tidak terus terjebak dalam muslihat bahasa untuk berdagang, berpolitik, dan membuat slogan.
*) PENULIS DAN PENGAJAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo