Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meningkatnya angka kasus Covid-19 di perkantoran dalam sepekan terakhir kian menegaskan bahwa penyebaran virus corona tidak bisa diselesaikan dengan program vaksinasi semata. Larut dalam euforia pemberian vaksin, apalagi sampai abai terhadap protokol kesehatan, bisa membuat penularan Covid-19 semakin tidak terkendali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, jumlah kasus positif Covid-19 meningkat di perkantoran dengan karyawan yang umumnya sudah divaksin. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat: angka penyebaran terdeteksi di 78 kantor dengan kasus positif mencapai 157. Satu pekan kemudian, kasus penularan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 425 kasus dan tersebar di 177 perkantoran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lengahnya penerapan protokol kesehatan ini dipicu oleh persepsi keliru di sebagian masyarakat yang menganggap pemberian vaksin membuat tubuh kebal dari virus. Padahal orang yang sudah memperoleh vaksin tetap berpeluang terjangkit virus. Apalagi sejak awal disebutkan bahwa tingkat efikasi vaksin Sinovac—yang sebagian besar dipakai dalam program vaksinasi di Indonesia—hanya 65,3 persen. Persentase itu menunjukkan bahwa potensi penurunan angka kasus aktif pada kelompok yang menerima vaksin hanya 65,3 persen dibanding kelompok yang tidak divaksin.
Sayangnya, edukasi vaksinasi, yang jauh lebih penting buat publik, tertutup oleh berbagai macam selebrasi. Sejak awal, pemerintah lebih senang merayakan program vaksinasi dengan seremoni yang tak perlu. Upacara penyambutan vaksin digelar hingga ke pelosok daerah, lengkap dengan pengibaran bendera dan letusan confetti. Pejabat publik lebih senang merayakan setiap fase vaksinasi sebagai selebrasi politik. Padahal upaya menciptakan kekebalan komunal ini baru langkah awal untuk menghentikan pandemi Covid-19.
Tak sedikit pejabat di tingkat pusat maupun daerah mengklaim telah berhasil menaklukkan penyebaran virus berkat program vaksinasi. Sejumlah ekonom dan pengusaha turut menyebarkan optimisme semu. Pemberian vaksin digadang-gadang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sejumlah indikator makroekonomi lainnya. Menempatkan program vaksinasi sebagai tolok ukur keberhasilan melawan Covid-19 jelas menciptakan rasa aman palsu.
Padahal, kita tahu, program vaksinasi belum merata di sejumlah daerah. Persoalan muncul di lapangan, dari alokasi yang keliru hingga vaksinasi yang tidak tepat sasaran. Pasokan vaksin di tingkat nasional sempat menipis akibat embargo sejumlah negara. Munculnya varian baru Covid-19 dari India di sejumlah provinsi, seperti Jawa Barat dan Kalimantan Selatan, juga tidak boleh dianggap sepele karena bisa memicu lonjakan baru.
Kita perlu menengok apa yang terjadi di India. Negeri itu semula digadang-gadang sebagai salah satu negara dengan sebaran vaksinasi paling tinggi. Tapi, bersamaan dengan program vaksinasi, perkantoran, pasar tradisional, mal, dan moda transportasi beroperasi dengan kapasitas penuh. Acara keagamaan dan pawai politik digelar tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Tsunami Covid-19 terjadi di India. Kelengahan massal membuat rumah sakit kelimpungan. Tabung oksigen langka di mana-mana. Angka kematian dalam 24 jam menembus 2.200 orang—tertinggi di dunia. Rasa aman palsu telah membuat negeri itu kocar-kacir menangani corona.
Kita tentu tak ingin kasus serupa terjadi di Indonesia. Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah tidak larut dalam glorifikasi vaksin yang berlebihan. Terlalu mahal ongkos yang harus dibayar bila negeri ini terperosok ke dalam lubang yang sama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo