Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi Kita ke Depan: ?Déjà Vu??

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Mulyani Indrawati Direktur Eksekutif IMF

PROSPEK ekonomi 2004 dan seterusnya seperti kecamuk buat bangsa ini. Krisis ekonomi sejak 1997 akan segera kita tinggalkan, dengan tanggalnya sejumlah atribut yang menempelnya. Program IMF berakhir tahun ini, dan BPPN akan ditutup Februari 2004. Kondisi makroekonomi menunjukkan stabilitas. Dua tahun terakhir tak terdengar keluhan berarti mengenai gejolak rupiah, bahkan kurs rupiah menguat. Inflasi tahun ini diperkirakan di bawah 5 persen?angka terendah selama 20 tahun terakhir?dan suku bunga Bank Indonesia menurun cepat.

Defisit fiskal kita mengecil, diiringi rasio utang publik terhadap pendapatan domestik bruto yang menurun. Neraca pembayaran cukup membesarkan hati dengan surplus transaksi berjalan dan akumulasi cadangan yang kuat, meskipun transaksi modal masih terus lemah. Keluhan yang sering terdengar adalah tidak adanya koneksi perbaikan indikator makro dengan kondisi mikro. Meskipun konsumen terus membelanjakan uang, perbankan masih belum sepenuhnya melakukan fungsi intermediasi, dan perusahaan masih terbebani utang serta belum optimal menggunakan kapasitas terpasangnya. Minat investasi, yang merupakan faktor penghela pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tidak jua pulih.

Krisis ekonomi kita, selain disebabkan oleh perubahan drastis dari kebijakan makro (terutama dalam hal nilai tukar), juga diakibatkan oleh rapuhnya pelaku mikro kita, khususnya industri perbankan dan perusahaan. Di masa lalu, sebagian besar pelaku ekonomi adalah para kapitalis kroni, yaitu mereka yang besar karena kedekatan dengan sumber kekuasaan. Keputusan bisnis lebih didasarkan pada pertimbangan pertemanan (dan tentu motif mendapat untung) dan tidak diimbangi oleh kalkulasi risiko?contoh klasik dari moral hazard.

Pola laku ini makin terdistorsi karena kebijakan makro masa lalu sebelum krisis juga memberikan insentif yang sama. Nilai tukar rupiah yang relatif tetap memberikan rasa aman yang salah. Kebijakan moneter prakrisis bercirikan: mencapai tujuan beragam, nilai tukar stabil, inflasi di bawah 10 persen, dan ekspansi moneter dan kredit untuk mendukung pertumbuhan. Dalam realitas, rupiah selalu dipatok dengan depresiasi tidak lebih dari 5 persen per tahun, dengan akibat ekspansi uang beredar dan kredit perbankan terus melonjak karena sterilisasi dari kondisi neraca pembayaran kita yang selalu surplus, baik oleh penerimaan ekspor maupun oleh arus modal jangka pendek dan PMA yang deras karena kepercayaan internasional yang masih tebal.

Akibatnya, inflasi dan suku bunga dalam negeri berada pada tingkat yang lebih tinggi dibanding negara tetangga. Dengan lalu-lintas modal yang sangat bebas, pelaku ekonomi makin terdorong untuk mengakumulasi utang luar negeri secara agresif. Hal ini bertemu dengan sikap kreditor asing yang begitu tergiur oleh struktur kapitalis kroni yang menjanjikan keuntungan (nyaris tak terbatas) dengan risiko yang hampir nol. Kinerja ekonomi umum, seperti pertumbuhan ekonomi tinggi, kebijakan perburuhan yang represif, kebijakan lingkungan yang leluasa, serta stabilitas politik yang kuat, juga menambah daya tarik investasi Indonesia. BUMN kita terhindar dari perlombaan akumulasi utang luar negeri bukan karena mereka hati-hati dan bijaksana, tapi karena adanya larangan dari pemerintah melalui pembatasan kredit luar negeri.

Suasana internasional dan regional juga menguntungkan waktu itu, karena wilayah Asia Tenggara disebut sebagai emerging market dengan prospek ekonomi yang kerap dilihat dengan nada optimistis. Jumlah arus PMA ke Asia tahun 1997 mencapai US$ 65,6 miliar dan masuk ke Indonesia sebesar US$ 6,2 miliar pada 1996, sebelum anjlok di tahun 1998 hingga sekarang.

Banyak keluhan tentang korupsi juga di zaman itu. Namun, keluhan itu selalu bisa dipinggirkan, karena secara pragmatis para pelaku ekonomi baik di dalam maupun luar negeri sama-sama senang dalam pembagian keuntungan bisnis yang terus berkembang. Kita juga hampir tidak pernah mendengar keluhan masalah kontrak bisnis atau bahkan istilah kebangkrutan. Perselisihan bisnis selalu bisa diselesaikan dengan efisien dan efektif melalui intervensi politik, keluarga maupun pertemanan. Kasus Indocement, Bank Duta, Pertamina, Bank Suma, Bank Pacific, dan lainnya merupakan contoh nyata.

Krisis ekonomi, yang awalnya disebabkan oleh guncangan dari luar negeri, yang tecermin pada runtuhnya keseimbangan neraca pembayaran kita, mengharuskan Indonesia meminta bantuan darurat dari IMF. Krisis, di mana saja di dunia, selalu menciptakan peluang bagi perubahan kebijakan ekonomi dan struktur kelembagaan untuk mengoreksi distorsi dan kesalahan masa lalu.

Program IMF dirancang dengan keyakinan bahwa perekonomian Indonesia akan bisa tumbuh tinggi lagi bila kepercayaan pelaku ekonomi pulih. Kualitas pertumbuhan dan aspek pemerataan akan lebih baik bila dilandasi kebijakan makro yang hati-hati, dan kelembagaan ekonomi yang baik. Pada tingkat makro, koreksi kebijakan dilakukan dengan menghilangkan distorsi dan menjamin konsistensi antara kebijakan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran. Nilai tukar, suku bunga, dan harga dibebaskan pada mekanisme pasar, kebijakan moneter terfokus hanya pada stabilitas harga dengan jangkar uang beredar, serta kebijakan fiskal dikonsolidasi dengan penguatan penerimaan negara dan menjaga pengeluaran sehingga utang publik menurun pada tingkat aman.

Untuk tujuan ini, program IMF dapat dikatakan sukses, terutama dalam dua tahun terakhir?meski beberapa kali mengalami kemacetan sewaktu terjadi pergantian pemerintahan dalam transisi politik kita.

Bagian kedua dari program adalah koreksi kelembagaan agar perekonomian dijalankan dan diawasi oleh institusi-institusi publik maupun privat yang bersih, kredibel, dan independen. Distorsi kelembagaan ditangani dengan melakukan perubahan radikal. Undang-Undang Bank Indonesia diubah drastis dengan memberikan independensi agar kebijakan moneter tak lagi jadi obyek intervensi kekuasaan. Fungsi pengawasan bank yang dianggap gagal pada masa lalu juga dibongkar dengan target ambisius membentuk lembaga pengawasan sektor keuangan dan pasar modal yang komplet satu atap. Perbankan direstrukturisasi, termasuk melakukan penutupan, pengambilalihan, rekapitalisasi, dan akhirnya divestasi. Dibuat lembaga peradilan komersial dan undang-undang kebangkrutan untuk menyelesaikan perselisihan bisnis antara kreditor dan peminjam. Bahkan, untuk menangani masalah korupsi, dibentuk lembaga antikorupsi.

Dalam hal perubahan aturan dan undang-undang tersebut cukup banyak yang telah kita capai, meski prosesnya kerap berlangsung tak mudah dan tak bersih.

Namun, kualitas kelembagaan dirasa masih mengecewakan karena perubahan hanya terjadi pada tingkat nominal dan bukan riil. Pembangunan kelembagaan memang perlu waktu lama dan tak mudah. Insitusi publik kita saat ini dianggap lebih buruk karena mandul dan korup dibandingkan dengan zaman Orde Baru yang juga korup tapi efektif. Kasus Bank Bali, Manulife, Bank Lippo, APP, Cemex, dan berbagai restrukturisasi debitor kakap di bawah BPPN menyokong anggapan tersebut.

Semua kasus ditangani berlarut dan menimbulkan biaya resmi ataupun tak resmi yang mahal tapi tidak berujung jelas. Kapitalisme kroni tetap berlangsung, hanya strukturnya makin rumit karena pola patronase?dalam artian mereka yang harus digarap dengan pendekatan pertemanan dan uang?telah berubah. Dulu polanya adalah patronase linear sederhana, tergantung satu ?kepala suku? dengan tarif yang jelas. Sekarang berbentuk matriks dengan aspek vertikal meliputi instansi pusat-daerah, dan aspek horizontal: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan implikasi biaya yang eksponensial. Suasana internasional dan regional juga berubah. Para pemodal internasional, akibat terhantam krisis bertubi-tubi di Asia, Amerika Latin, dan Rusia, cenderung menjadi emoh risiko (risk averse) dan makin cerewet terhadap masalah governance, kepastian hukum, dan kontrak.

Lalu, bagaimana prospek ekonomi kita? Kebijakan makro kita barangkali tidak banyak berubah, karena siapa pun pemegang tampuk kekuasaan tahun depan akan segera paham bahwa pilihan mereka tidak banyak. Skenario terburuk adalah bila dukungan politik untuk konsolidasi fiskal melemah, dengan akibat penerimaan pajak dan privatisasi mandek dan disiplin pengeluaran melemah. Beban utang memburuk karena pasar akan bereaksi spontan dengan meminta yield obligasi pemerintah yang lebih tinggi, dan kurs rupiah melemah. Skenario ini kecil kemungkinan terjadi, karena Indonesia akan terus dipantau dunia internasional (IMF, lembaga kreditor-CGI, dan lembaga rating internasional) dan juga oleh pelaku pasar yang akan terus memberikan sinyal setuju atau tidak setuju secara instan terhadap arah kebijakan makro.

Yang lebih mungkin terjadi adalah, kebijakan makro akan relatif stabil, namun kemajuan di bidang mikro dan kelembagaan akan terus mengalami pergulatan. Institusi-institusi yang sudah dan sedang kita benahi akan terus menghadapi tekanan kepentingan kelompok.

Sistem demokrasi juga menjadikan pemegang kekuasaan makin miopik dan mementingkan prioritas kekuasaan jangka pendek. Institusi yang paling rawan adalah perbankan, BUMN, dan perusahaan, karena distorsi yang dialami tidak akan langsung mengakibatkan risiko sistemik, namun pada akhirnya kerusakannya akan bertahap dan tetap akan meminta biaya ekonomi.

Pertempuran antara mereka yang ingin melakukan perbaikan dan yang menjadi faktor perusak akan terus berlangsung, di mana suatu kasus atau skandal akan melahirkan reaksi koreksi di tingkat manajemen, aturan, atau pengawasan. Kasus BNI dan semacamnya akan terus terjadi dengan skala, waktu, dan tempat yang berbeda.

Proses aksi dan reaksi inilah inti dari pembangunan kelembagaan itu sendiri. Pelaku bisnis biasanya tidak menyerah menghadapi keruwetan ini. Bahkan struktur kapitalis kroni yang baru juga akan melahirkan pengusaha kroni baru?atau pemain lama yang telah menyesuaikan diri dengan medan baru. Ekonomi akan tetap tumbuh sekitar 4-5 persen dengan konsumsi tetap menjadi faktor utama. Kadang-kadang pertumbuhan bisa lebih tinggi karena faktor sentimen regional/internasional. Hanya, efisiensi usaha akan tetap buruk.

Ini gambaran ekonomi kita lima tahun ke depan. Déjà vu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus