Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WALAUPUN pada tahun 2004 akan ada dua atau tiga pemilihan umum yang melibatkan rakyat banyak, perkembangan ekonomi yang sudah mulai stabil akan terus membaik. Yang bisa mengganggu ekonomi bukan hasil pemilu itu, melainkan kalau terjadi huru-hara yang merusak. Karena pemerintah, polisi, dan TNI sudah siap, kiranya itu tidak akan terjadi.
Hasil pemilu juga sudah banyak diramalkan. Raihan suara Golkar meningkat dan PDIP menurun. DPR tetap akan dikuasai lima partai besar yang "moderat". Megawati Soekarnoputri hanya bisa dikalahkan oleh calon presiden dari kalangan Golkarsiapa dia, waktu ini belum tampak. Mungkin bukan Wiranto ataupun Akbar Tandjung. Tapi siapa pun presiden baru, pola kebijakan ekonomi tak akan berbeda banyak, hanya gaya pribadi presidennya.
Laju pertumbuhan 4 persen bisa dicapai pada tahun 2003, hanya naik sedikit dari 2002 yang mencapai laju 3,7 persen. Kemajuan secara marsinal bisa diharapkan akan berlanjut pada 2004.
Akar sebabnya ada di dalam negeri dan luar negeri. Ekonomi dunia tahun 2004 akan lebih baik ketimbang 2003. Di Asia, Cina merupakan pasar yang besar dan meluas, dan sudah dimanfaatkan oleh Thailand. Kinerja ekonomi Thailand tahun 2003 sudah baik. Laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 6,0-6,5 persen ditopang oleh pertumbuhan ekspor sekitar 15 persensuatu angka yang sangat bagus. Indonesia hanya bisa mencapai pertumbuhan ekspor sekitar 6 persen setahun.
Di seminar memperingati HUT ke-50 Bank Indonesia, 10 Desember yang lalu, banyak pembicara asing yang diundang. Di antaranya adalah Tarisa Watanagase, Deputi Gubernur Bank of Thailand. Ia menegaskan, "Thailand ketiban rezeki (lucky)." Ekonomi bisa tumbuh sekitar 6,5 persen "hanya" dengan mengandalkan konsumsi dan ekspor. Saya tanya bagaimana investasi. Jawabnya: belum normal, seperti di Indonesia saja. Bagaimana bisa mencapai laju pertumbuhan PDB dan ekspor yang begitu baik? Jawabnya: Thailand beruntung karena masih mengandung banyak excess capacity (kapasitas lebih) yang bisa mendukung kinerja ekonomi yang baik itu.
Di Indonesia, salah satu teka-teki adalah berapa excess capacity ini. Masih cukup atau tidak? Tak ada yang bisa menjawab berdasarkan kenyataan di lapangan. Kalau ada excess capacity di sektor industri, hal itu tidak mampu meningkatkan ekspor nonmigas secara cukup banyak. Mesin-mesinnya sudah usang, karena kurang ada penambahan selama krisis. Koran Tempo tanggal 15 Desember 2003 memuat berita "Kuota Dihapuskan, Industri Tekstil Terancam Tutup.... Dari semua sisi, baik kualitas, harga, maupun pengiriman order, industri sudah sulit bersaing. Mayoritas mesinnya sudah tua". Menurut harian The Jakarta Post (13 Desember), 67 pabrik tekstil di Bandung tahun 2003, yang banyak dimiliki pihak asing, sudah kolaps, pindah ke Cina, Vietnam, dan Kamboja, atau ke Jawa Tengah.
Persaingan dari Cina ini juga dialami Thailand. Tapi Dr. Tarisa menyatakan Thailand berhasil meningkatkan ekspornya ke Cina dan memupuk surplus ekspor yang besar. Apa yang banyak mereka ekspor? Karet, besi, dan lain-lain komoditas yang memang tak bisa dihasilkan Cina secara kompetitif. Cina tidak bisa unggul di semua pasar dan terhadap semua komoditas. Cina sebagai pasar penting sudah dimanfaatkan oleh pengusaha Indonesia. Thailand mempunyai kelebihan karena secara geografis lebih dekat.
Tapi mengapa kenaikan ekspor di Thailand 16 persen dan di Indonesia hanya 6 persen? Suatu telaah Bank Dunia untuk Indonesia menunjukkan bahwa ada korelasi besar antara kinerja ekspor dan perusahaan asing. Lingkungan di Bangkok jauh lebih ramah untuk pengusaha Jepang, dengan banyak sekali perusahaan Jepang skala menengah.
Stabilitas ekonomi makro Indonesia semakin mantap. Inflasi turun dari tingkat 9 persen tahun lalu ke 4,5 persen untuk 2003. Kurs rupiah sepanjang tahun stabil sekali, bahkan menguat sekitar 5 persen. Kurs saham di bursa bahkan menguat 50 persen sepanjang 2003. Suku bunga SBI menuju ke 8 persen setahun. Sayang, suku bunga pinjaman bank masih tinggi, sekitar 14 persen setahun, akan tetapi pasti ini juga akan turun.
Suku bunga deposito berjangka sudah turun menuju ke 6 persen setahun. Yang diterima penabung cuma 5 persen karena ada pajak PPN, sehingga ada yang mengeluh bahwa suku bunga riil (nominal minus inflasi) sudah cenderung negatif. Menempatkan uang tabungan di reksadana dan obligasi menjadi populer. Reksadana sementara ini masih bebas pajak. Perbankan syariah juga tambah populer (sampai bank asing buka loket syariah), karena penerimaan penabung lebih besar sedikit berkat bagi-hasil. Kalau berdasarkan keyakinan agama saja, popularitas bank syariah tidak akan terjamin. Wakil dari Bank Negara Malaysia yang juga menjadi pembicara tamu dalam seminar BI tersebut, Datuk Razif Abdul Kadir, menegaskannya ketika ditanya oleh penulis.
Tingkat inflasi yang sangat rendah pada ujung tahun 2003 (4,5 persen) itu mengandung makna yang penting. Apakah ini pertanda inflasi di Indonesiadi masa Orde Baru rata-rata 9 persen setahun (upper single digit)mulai tahun 2003 bisa menjadi medium single digit (4-5 persen setahun)? Mudah-mudahan. Akan tetapi banyak orang belum yakin. BI dan pemerintah memasang sasaran inflasi (inflation targeting) untuk tahun 2004 pada angka 5-6 persen. Artinya, diperkirakan sedikit naik karena ketidakpastian politik pada tahun 2004.
Antisipasi atau psikose inflasi memang kuat di Indonesia. Tetapi wakil dari Thailand dan Malaysia di seminar BI itu mengungkapkan bahwa inflasi di Malaysia dan Thailand sesudah krisis 1998 kembali ke low single digit (di bawah 2 persen setahun). Kalau sesuatu bisa dicapai di Thailand dan Malaysia, mengapa tidak bisa di Indonesia? Bisa, asal ada kemauan politik. Seluruh dunia sudah mulai masuk paradigma baru very low inflation, bahkan di beberapa negara (antara lain Jepang) ada deflasi atau disinflasi. Maka pengaruh luar kepada inflasi Indonesia juga akan serba deflationary. Kalau kebijakan fiskal dan moneter terus ketat, inflasi rendah bisa menjadi paradigma baru bagi Indonesia.
Apakah inflasi yang lebih rendah lagi bisa membantu meningkatkan laju pertumbuhan? Tidak pasti, akan tetapi tampak demikian di Thailand dan Malaysia. Bagi Indonesia, yang masih mengalami banyak distorsi serta ketidaksempurnaan di perekonomiannya, kami juga tidak mengharapkan, atau menuntut, inflasi serendah Thailand. Akan tetapi BI dan Menteri Keuangan harus yakin bahwa tingkat inflasi 4-5 persen setahun harus bisa dipertahankan di Indonesia untuk waktu yang akan datang.
Sesudah krisis 1998, paradigma pertumbuhan ekonomi juga mengalami perubahan yang mungkin serba permanen. Dulu pertumbuhan ekonomi dipicu oleh sejumlah konglomerat dan didukung pengucuran kredit perbankan dari (bank-bank) pemerintah. Modal dan kredit dari luar negeri juga membanjir. Maka gejala inflasi (rata-rata 9 persen setahun) ibarat menjadi suhu badan yang sedikit demam karena harus berlari terlalu kencang. Seorang pembicara dari Bank Sentral Australia di seminar BI menyebut inflasi di negara berkembang sebagai penyakit kanak-kanak yang sedang tumbuh. Tetapi, paling tidak dunia waktu ini sedang memasuki paradigma pertumbuhan baru: laju pertumbuhan yang cukup tinggi dibarengi dengan inflasi yang rendah.
Thailand, Malaysia, dan Korea sudah bisa melepaskan diri dari supervisi IMF yang ketat, dengan letter of intent dan segalanya. Tahun depan Indonesia akan melepaskan hubungan program dengan IMF. Tetapi mekanisme CGI sebagai konsorsium donor masih dipertahankan. Sejumlah LSM dan pakar ekonomi sudah mulai kampanye agar Indonesia tidak dikuasai oleh konsorsium donor. Lebih baik kucuran kredit dirundingkan secara bilateral dengan berbagai donor, sehingga posisi tawar Indonesia akan lebih kuat.
Pemerintah sekarang dan pemerintah 2004 kiranya tidak akan mudah melaksanakannya. Hanya ada tiga donor yang sangat besar, yakni Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan pemerintah Jepang. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia tidak akan mudah melepaskan forum semacam CGI, dan sangat mungkin Jepang akan merasa lebih aman dengan forum demikian. Kalau CGI tidak ada, Indonesia bisa juga mendapat kredit, akan tetapi jumlahnya tidak akan sebesar sekarang.
Yang dituntut LSM dan beberapa pakar ekonomi adalah agar Indonesia berhenti menumpuk utang baru. Pada hakikatnya, aspirasi demikian oke saja. Akan tetapi yang penting adalah prosesnya, secara berangsur-angsur atau sekali pukul secara unilateral? Dengan sistem politik yang tidak menjamin adanya pemerintah yang kuat, perubahan kebijakan ekonomi sebaiknya dilakukan secara berangsur-angsur agar tidak timbul gejolak.
Menurut amanat MPR, pada tahun 2004 defisit APBN harus nol. Ini sudah molor sampai 2005. Tapi defisit nol belum berarti kita bebas dari utang. Setiap tahun pemerintah harus mencadangkan lebih dari US$ 10 miliar untuk debt service payments, pengembalian pokok plus bunga. Ini merupakan beban anggaran yang berat, dan pemerintah masih harus mencari dana lain untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Mungkin aktivis LSM atau pakar akan menjawab: boleh, asal (pokoknya) tidak lewat CGI. Ini sikap apriori. Padahal, kalau aktivis LSM masuk pemerintah atau komisi (seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), sikapnya sering berubah. Begitulah pentas politik di Indonesia sekarang, yang di buku Theodore Friend yang baru, Indonesian Destinies, disebut sebagai "Anarcho-Democracy".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo