EKSPOR di luar migas, yang dianggap beberapa pengamat sebagai penentu hidup matinya Indonesia, memang harus digalakkan terus sampai neraca pembayaran Indonesia cukup aman. Aman dalam arti devisa yang dihasilkan dari sektor ini cukup untuk memenuhi impor (yang bakal meningkat karena deregulasi), cukup untuk membayar cicilan utang dan bunganya, dan cukup untuk menumpuk cadangan devisa. Dalam menjual komoditi nonmigas ini, ternyata masalahnya bukanlah apakah eksportir kita bisa menjual atau tidak. Banyak cerita tentang beberapa eksportir yang kewalahan menerima order. Dan justru di situlah letak masalahnya. Kapasitas untuk ekspor sekarang ini belum kritis, karena kapasitas beberapa industri manufaktur yang dibangun di awal 1980-an masih belum terpakai sepenuhnya. Namun, ekspor di luar migas, yang menurut Bank Dunia harus naik dua kali lipat dalam 5 tahun ini agar neraca pembayaran Indonesia cukup aman, bisa terhambat apabila tambahan kapasitas produksi tidak dibangun sejak sekarang. Investasi ini memerlukan modal tidak sedikit, sekitar US$ 4 milyar tiap tahun, menurut perhitungan Bank Dunia. Dari mana dana sebanyak ini bisa tersedia? Atau, sudah siapkah lembaga-lembaga keuangan di sini (termasuk pasar modalnya) menghadapi ledakan permintaan dana ini? Satu-satunya hasil yang cukup mencolok dari deregulasi perbankan Juni 1983 adalah melonjaknya aset sektor keuangan, termasuk aset perusahaan leasing dan asuransi, yang pada 1982-1987 melonjak tiga kali. Deposito berjangka naik rata-rata 40% setahun. Dan bank-bank sudah berhasil mengurangi ketergantungan mereka dari kredit likuiditas Bank Indonesia, dan lebih banyak menggantungkan dari deposito nasabahnya. Namun, kualitas dari kredit portfolio belum mengalami perubahan berarti. Di bank-bank pemerintah, lonjakan deposito belum diimbangi dengan peningkatan kredit yang memadai. Pada akhir 1987, return on invesment (ROI) bank-bank adalah 0,2%-4,3%, dengan ROI bank-bank pemerintah berada pada jumlah yang rendah. Kualitas persaingan antarbank juga tak membaik karena 70% kredit masih dikuasai bank-bank pemerintah yang mendapat akses dana BUMN dan kredit likuiditas BI. Kredit likuiditas masih merupakan 30% dari seluruh kredit, jumlah yang tak berubah dari situasi pada akhir 1983. Kredit yang berasal dari 56 bank swasta nondevisa sebagian besar digunakan untuk membiayai perusahaanperusahaan milik grupnya sendiri, hingga tak menyumbang pada mutu persaingan. Yang paling memprihatinkan dari semua itu adalah masih kecilnya jumlah kredit jangka panjang. Padahal, hasil sebuah investasi tak bisa dipetik hanya dalam satu atau dua tahun. Memang bisa dimengerti kalau bank-bank tidak bersemangat memberi kredit jangka panjang. Fluktuasi bunga yang tajam memberi banyak risiko. Pembukuan perusahaan masih acak-acakan, hingga menyulitkan bank dalam melakukan evaluasi. Apalagi banknya sendiri masih lemah dalam keahlian mengevaluasi usulan proyek. Di samping itu, dana yang dikumpulkan bank kebanyakan juga merupakan simpanan jangka pendek. Kemampuan pasar modal dalam memenuhi dana jangka panjang masih harus diuji. Pengeluaran obligasi seperti yang sudah dilakukan beberapa perusahaan jasa Marga, Papan Sejahtera, Grup Astra baru dalam taraf permulaan, dan akan memerlukan beberapa waktu sebelum masyarakat yakin bahwa instrumen tersebut merupakan bentuk investasi yang memadai. Karena itu, alokasi dana yang salah akan terus terjadi. Pinjaman akan mengalir kepada sektor-sektor jangka pendek dan yang sifatnya kadang-kadang spekulatif. Keadaan ini akan mengakibatkan banyak keuntungan dari investasi jangka panjang akan terlewatkan. Tingkat bunga riil yang masih tinggi (12% untuk modal kerja, 9% untuk investasi) juga bisa menekan kegairahan investasi. Struktur suku bunga juga kaku, dalam arti tidak responsif terhadap perubahan likuiditas yang terjadi, karena besarnya unsur biaya intermediasi yang dimasukkan dalam kalkulasi suku bunga. Besarnya spread (selisih antara suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman) di Indonesia masih 6-7 point -- atau tertinggi di Asia. Tingginya spread ini merupakan pencerminan belum efisiennya operasi perbankan (biaya tetap administratif yang tinggi), juga dari besarnya kerugian dari kredit macet dan cadangan-cadangan penghapusan lainnya. Semua ini dibebankan sebagai biaya ke nasabah. Di lain pihak, perusahaan-perusahaan industri juga masih belum lepas dari beberapa kelemahan yang baru kelihatan setelah beberapa program deregulasi dilakukan pemerintah. Beberapa industri manufaktur ternyata belum bisa menyesuaikan diri dengan persaingan pasar yang lebih intensif akibat dikuranginya berbagai jenis proteksi. Ini menekan laba mereka dan menimbulkan kesulitan keuangan. Situasi diperburuk karena kebanyakan struktur permodalan mereka sangat pincang. Tak jarang kita membaca neraca beberapa perusahaan dengan rasio utang dan modal (debt equity ratio) mencapai 9:1, bahkan kadang lebih besar, karena sebenarnya jumlah yang ditunjukkan dalam modal juga berasal dari pinjaman. Ini berarti kebanyakan industri manufaktur kita bekerja dari pinjaman atau modal dengkul. Karena struktur modalnya lemah daya tahan mereka terhadap angin buruk seperti devaluasi dan fluktuasi suku bunga sangat lemah. Tapi karena banyak di antara mereka merupakan eksportir bukan minyak yang potensial, program bantuan keuangan terhadap mereka merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan oleh bank-bank. Bagi bank yang menghadapi kredit macet yang tak bisa dibayar, opsi penutupan pabrik atau penyitaan aset bukan penyelesaian, karena banyak nilai kekayaan perusahaan yang bersangkutan ternyata lebih kecil dari jumlah utangnya. Bantuan untuk meringankan beban keuangan itu bisa berupa penundaan jangka waktu pembayaran, atau konversi pinjaman jangka pendek menjadi pinjaman jangka panjang. Sayangnya, program semacam ini tak bakal bisa dinikmati oleh semua perusahaan, karena bank-bank jelas akan memberi prioritas kepada perusahaan-perusahaan besar yang dikenalnya dengan baik. Bank bisa saja menganalisa perusahaan yang baru dikenalnya, asal perusahaan tersebut bisa menyusun neraca pembukuan yang bisa dipercaya. Karena instrumen pertama dan terpenting untuk menganalisa sebuah perusahaan tak lain adalah ketertiban pembukuannya. Seperti yang diketahui dari beberapa cerita pengusaha, mereka umumnya membuat tiga macam pembukuan. Yang satu selalu menunjukkan angka rugi terus. Ini katanya buat kantor pajak. Yang kedua selalu menunjukkan laba terus. Ini buat bank. Yang ketiga, yang memuat angka sebenarnya, ini buat disimpan di kantungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini