Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Melawan Neo-Porkas Desa-Desa Mati Karena Angan-Angan ?

FKP meminta pemerintah meninjau TSSB/KSOB. Manfaatnya lebih banyak dari mudaratnya. Judi, dukun, tontonan & korupsi menyatu dengan "neo porkas". Pemda Ja-Teng mendirikan yadora untuk pengumpulan dana pon.

9 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKAN berakhirkah nasib KSOB dan TSSB ? Belum tentu. Banyak orang terlibat di dalamnya. Di lapis bawah, ada sebangsa abang becak yang menggunakan uangnya yang terbatas untuk membcli kertas-kertas tebakan berhadiah itu. Di lapis atas, para pengurus dan pejabat menyalurkan dana yang tersedot dari bawah itu untuk "sumbangan" bagi olah raga dan lain-lain. Tentu saja, sementara itu, ada yang ikut menikmati gemuknya jumlah uang yang datang ke Jakarta dan pelosok-pelosok itu, yang jumlahnya diperkirakan sampai beberapa milyar rupiah per bulan. Tapi toh dana "impian" itu kini mendapat tekanan berat. Pekan lalu, Fraksi Karya Pembangunan meminta pemerintah meninjau dan meneliti kembali kelanjutan dua jenis undian itu. Fraksi pemegang-suara mayoritas di DPR itu -- karena menduduki 299 dari 500 kursi mengambil kesimpulan itu, setelah melihat dampak yang ditimbulkan KSOB dan TSSB, melalui semacam pemantauan di lapangan. Hasil pemantauan itu, menurut Ketua F-KP, Soeharto, sudah dilaporkan kepada Ketua Umum DPP Golkar, Sudharmono. "Beliau hanya memesankan agar kita mengikuti terus perkembangan KSOB di masyarakat. Kalau ada masukan-masukan baru kita diharap memberi masukan kepada pemerintah," kata Soeharto kepada TEMPO. Ketua F-KP itu tak menyebutkan kapan laporan itu disampaikan kepada Ketua Umum DPP Golkar. Yang pasti, sampai awal pekan ini, suara F-KP tetap tegas. Mereka yang duduk dalam fraksi itu menunjukkan bahwa undian itu ternyata merasuk sampai ke desa-desa. Uang pun terkuras dari sana, semangat kerja pun melemah. Dengan terserapnya setiap bulan uang "bermilyar-milyar rupiah" dari daerah, timbul kelesuan dunia usaha. Pemasukan pajak, terutama PBB, dan berbagai jenis pajak daerah lainnya yang obyeknya di pedesaan, turun. Swadaya masyarakat merosot. Dampak lainnya, kata F-KP, undian-undian itu bisa pula memelorotkan etos kerja masyarakat, termasuk pegawai negeri. Disiplin nasional terancam. Hal yang serupa menimpa para pemuda dan pelajar yang ikut kecanduan KSOB dan TSSB. Menurut F-KP pula, para siswa yang kecanduan undian bisa dihinggapi sikap suka untung-untungan. Ini tak mendukung usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melihat itu semua, "Fraksi kami sangat khawatir," kata Abdul Latief, juru bicara F-KP, ketika menyampaikan pendapat akhir fraksinya dalam sidang komisi APBN, Kamis pekan lalu. Itu bukan satu-satunya suara. Sebelumnya, F-KP secara resmi sudah menyampaikan pernyataan sikap yang sama, kepada pers, melalui juru bicara fraksi Rachmat Witoelar, Senin pekan lalu. Setelah F-KP, dalam pendapat akhir di sidang komisi APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) pula, fraksi dari tanda gambar "Bintang", F-PP, juga bersuara lantang, mendukung suara F-KP. Karena suara mayoritas sudah seperti itu, kata juru bicaranya, H. Ali Sofwan, pemerintah "kiranya" perlu memperhatikan suara dewan ini "dengan baik". Suara serupa juga dilontarkan oleh Budi Hardjono, mewakili F-PDI, alias tanda gambar "Banteng". Singkat kata, kritik ditembakkan ke arah dana pengembangan olah raga dengan cara tebakan berhadiah. Kritik ini juga pernah deras terdengar sampai tahun 1987, ketika tebakan itu masih disebut "porkas" (dari kata Inggris forecast). Pemerintah pun akhirnya mengubah Porkas dengan "kupon sumbangan olahraga berhadiah" atau KSOB ini -- sebuah undian yang diharapkan kurang berdampak negatif. Toh tampaknya KSOB ini akhirnya juga dilihat sebagai "neo-porkas". Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang dua tahun yang lalu pernah meminta pemerintah untuk meneliti dampak Porkas, kini menyampaikan kesimpulan. "Ternyata, mudarat TSSB dan KSOB itu lebih banyak dari manfaatnya," kata Ketua MUI K.H. Hasan Basri. "Maka, keduanya adalah judi," kata kiai ini pula. Memang pendapat ini bukan mencerminkan seluruh pendapat MUI. K.H. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI, misalnya, terkenal dengan pendapat bahwa Porkas tak bisa dikategorikan judi. Alasan: pertaruhannya tidak dilakukan secara berhadap-hadapan. Bertaruh sambil berhadap-hadapan menimbulkan permusuhan, kata Ibrahim Hosen, dan karena itu judi diharamkan. TSSB dan KSOB memang pertaruhan tapi "tanpa berhadapan seperti judi joker atau domino". Jadi, Ibrahim Hosen tak mengharamkannya. Haram atau tidak adalah soal hukum Islam. Orang bisa melihatnya dari segi lain. Kctua KNPI Didiet Haryadi, misalnya cenderung lebih melihat efeknya. Ia malah menganggap KSOB dan TSSB sebagai "hama" bagi kesejahteraan umum karena melanda sebagian rakyat berpenghasilan rendah. Juga bagi anak sekolah, kata Didiet Haryadi Sabtu lalu. Cuma Fraksi ABRI yang belum membicarakan undian itu. Argumentasinya: fraksi ini menganggap kurang pada tempatnya membicarakan KSOB dan TSSB di komisi APBN. Mereka akan membahas soal itu di komisi VIII, yang berhubungan dengan Departemen Sosial. Departemen inilah yang mengurusi KSOB dan TSSB. Sikap F-ABRI terhadap undian itu mungkin akan merupakan perkecualian. "Kami sedang menelitinya," ujar Moeharsono Kartodirdjo, anggota F-ABRI yang menjabat ketua komisi APBN DPR. Tapi toh, menurut Moeharsono, KSOB dan TSSB tak bisa cuma dilihat dari segi negatifnya. Sebab, kata Moeharsono, ada juga dampak positifnya. Misalnya terkumpulnya dana buat pembinaan sepak bola. Toh masyarakat suka mengeluh bila di sport itu Indonesia kalah melulu. Sikap fraksi-fraksi ini kemudian disampaikan kepada pimpinan DPR dalam acara sarasehan di gedung DPR, Kamis malam pekan lalu. Inilah pertemuan setengah formal antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi serta komisi untuk tukar-menukar informasi. Di hadapan Ketua DPR Kharis Suhud, malam itu Haji Djamaluddin Tambunan, Wakil Ketua F-KP, kembali menegaskan sikap fraksinya terhadap KSOB dan TSSB. Malah ada usulan dari salah satu fraksi agar Ketua DPR dapat membicarakan penin jauan dan penelitian kembali KSOB dan TSSB dengan pimpinan eksekutif. Sejauh ini memang belum ada tanggapan yang tegas dari pemerintah. Menteri Sosial Haryati Soebadio sendiri belum bersedia mengomentari suara DPR itu. Selasa siang pekan ini, rencananya ia akan mengadakan pertemuan tidak resmi dengan F-KP dan F-ABRI di gedung Departemen Sosial di Salemba Raya, Jakarta Pusat. Pertemuan seperti ini disebut "setengah kamar" -- semacam pertemuan mformal antara aparat pemerintah dan dua fraksi yang dikenal sebagai pendukung pemerintah di lembaga legislatif itu, untuk melicinkan berbagai maslah menjelang acara formal di DPR. Pertemuan kali ini untuk menghadapi rapat kerja Menteri Sosial dengan komisi VIII DPR, Selasa pekan depan. Sebelum itu, satu-satunya suara pemerintah ialah dari Menteri Keuangan Sumarlin. Ia hanya mengatakan bahwa saran yang dikemukakan fraksi-fraksi itu merupakan "masukan yang berharga" bagi pemerintah. Kemudian, ikut menyambut suara dari Senayan itu ialah Menpora Akbar Tanjung. Ketika meninjau arena latihan dan asrama pemain bulu tangkis PT Djarum di Kudus, Jawa Tengah, Selasa pekan lalu, Akbar menyatakan bahwa kehadiran TSSB dan KSOB untuk membiayai peningkatan prestasi olah raga kita masih diperlukan. "Didasarkan hasil penelitian tim antardepartemen yang diturunkan dari Jakarta beberapa waktu yang lalu," kata Akbar Tanjun, KSOB dan TSSB itu juga punya "dampak positif". Pertengahan tahun lalu memang sebuh "tim survei" antardepartemen telah dikirimkan ke daerah-daerah untuk meneliti dampak Porkas. Ternyata, penelitian itu menyimpulkan Porkas lebih berdampak "positif". Ada eksesnya yang negatif, tapi, seperti dikatakan Menteri Sosial ketika itu, Nani Soedarsono, "hanya bersifat kasuistis". Adapun yang positif: dengan bantuan dana Porkas, Indonesia berhasil menjuarai SEA Games Jakarta, September 1987. Selain itu, Porkas menyelamatkan enam diklat sepak bola yang terancam tutup, karena Departemen P dan K sudah tak mampu lagi menyantuninya setelah anggaran departemen itu merosot terus. Dari cerita ini, Porkas ketika itu ibarat "dewa penolong" olah raga Indonesia. Tapi toh, karena banyak dikritik, akhirnya pemerintah memutuskan: memperpanjang izin undian yang mulai beredar sejak Januari 1986 itu, dengan catatan, mulai Januari 1988, Porkas bersalin nama dengan KSOB. Harga kupon juga naik dari Rp 300 menjadi Rp 600, dan hadiah terbesar diturunkan dari Rp 100 juta menjadi Rp 8 juta. Tujuannya: mengurangi orang yang ketagihan, sebab harganya naik, sementara hadiahnya berkurang. Tapi nyatanya dengan nama baru ini pun undian itu kian berkibar. Ia merasuk sampai ke desa-desa, sekalipun izin cuma terbatas untuk ibu kota kabupaten. Para pedagang KSOB dan TSSB memang banyak akal. Seorang anggota tim F-KP yang diturunkan memantau KSOB dan TSSB sepanjang reses bulan April dan Mei tahun ini menyebutkan kepada TEMPO bahwa mereka menemukan semacam pengecer khusus KSOB, yang menjelajahi desa-desa dengan sepeda motor. Mereka adalah orang-orang yang bekerja pada agen resmi KSOB di kota. "Rupanya, mereka dibebani semacam target oleh Jakarta," kata anggota DPR asal Jawa Timur itu. Berkibarnya semangat berundi-undi ini bertambah, jika dilihat bahwa selain KSOB -- yang undiannya dibuka setiap Minggu malam -- ada pula TSSB yang diundi setiap Kamis malam. TSSB memang sudah ada sejak 197, sebagai pengganti Undian Harapan yang pernah ada. Undian ini menjanjikan hadiah Rp 500 juta untuk penebak tepat. Yaitu bila tujuh nomor yang ada di kupon yang dibelinya persis dengan nomor yang keluar. Tapi sejak Desember tahun lalu, TSSB untuk mencari dana sosial seperti membantu korban bencana alam dan sejenisnya diizinkan Depsos mengedarkan "nomor buntut" dua, tiga, dan empat angka. Kupon undian berhadiah Rp 500 juta itu diedarkan dengan nomor-nomor yang sudah tercetak, sedangkan pada undian buntut ini, penebak memperoleh kupon tanpa nomor. Penebaklah yang mengisi angka-angka yang diinginkan. Sepintas, permainan ini mirip hwa-hwe yang pernah ada tahun 1970-an di Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin, yang kemudian, melihat hebatnya keranjingan orang waktu itu, dihentikan. Adapun TSSB model baru ini juga segera laris menyerupai KSOB. Sekalipun harganya Rp 1.000 per kupon, untuk nomor buntut itu, pembeli diperbolehkan memasang dua nomor tebakan. Bila satu nomor tebakannya mengena bayarannya hanya separuh dari biasa. Maka, tak aneh bila Nyonya Sumirah, pedagang kiosdi Desa Gamping Lor, Kecamatan Godean, Yogyakarta, mengeluh sebab setiap hari Minggu dan Kamis hari akhir penarikan undian KSOB dan TSSB -- kiosnya sepi pengunjung. Penjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari di kiosnya menurun sampai 50O. "Hampir semua orang sudah gila nomor dan hampir semua duitnya dibelikan nomor," umpat nyonya itu. Dampak yang sama melanda Butet, pengusaha rumah makan di kawasan Padang Bulan, Medan. Soalnya, rumah makan yang tak jauh dari kampus USU itu menerima mahasiswa berlangganan makan dengan bayaran Rp 32.000 tiap bulan. Karena gila KSOB, sekarang banyak mahasiswa yang menunggak sampai tiga-empat bulan, suatu hal yang tak pernah terjadi dulu sebelum ada KSOB dan TSSB. Malah sudah lima mahasiswa langganannya yang tak muncul-muncul lagi akibat menunggak terlalu besar dan mereka adalah pccandu KSOB kelas berat. "Rp 500.000 duitku hilang dilarikan hantu Porkas itu," keluh Butet. Bisnis para grosir turut macet. Itu dialami Sudarso, grosir di Pasar Kliwon Kudus, Jawa Tengah. Omsetnya merosot 30% dan pembayaran dari para pedagang melorot menjadi 25 hari dari semula cuma setengah bulan. Pada hari penarikan TSSB atau KSOB lebih parah. "Para pedagang tak pernah bisa membayar karena pasar sepi," kata Sudarso. Kelesuan juga melanda perusahaan besar seperti Jamu Cap Potret Nyonya Meneer. Sejak menggilanya KSOB dan TSSB omset penjualan perusahaan ini -- per tahunnya hampir Rp 2 milyar -- melorot sampai 10%. Penurunan terutama terjadi di daerah pinggiran dan pedalaman. "Sebelum ada KSOB, resesi saja tak memukul kami separah ini," ujar Charles Ong, direktur pemasaran perusahaan jamu itu. Ong menga penurunan itu bukan sekadar disebabkan orang memilih kupon timbang minum jamu, tapi lebih karena banyaknya kios jamu berubah menjadi agen KSOB, sebab mengharapkan untung yang lebih besar. Di kota pinggiran Jawa Tengah seperti Salatiga, Kendal, atau sepanjang Yogyakarta-Solo, memang dilaporkan banyak sekali agen jamu bersalin rupa menjadi agen KSOB. Untuk mengatasi kendala itu Nyonya Meneer sekarang menggalakkan promosi, sekalian memberikan insentif yang lebih merangsang pada para agen. "Tapi kasihan perusahaan jamu kecil, mereka 'kan tak bisa promosi besar-besaran," ujar Ong. Tak aneh kalau Ong menyambut baik usul F-KP itu. "Saya sangat setuju. Puji Tuhan," kata ketua umum Yadora, yayasan yang dibentuk Pemda Jawa Tengah untuk membina dan mengembangkan olah raga di daerah itu. Kelesuan perdagangan karena tersedotnya uang untuk TSSB dan KSOB terungkap pula pada musyawarah bank swasta se-Bali, Maret lalu. Ini dirasakan sekali oleh bank-bank pasar yang mengharapkan tabungan dari masyarakat kecil. Bank Pasar Mai Uverad, misalnya, sejak Januari yang lalu hanya mengalami pertambahan saldo (selisih tabungan dengan penarikan dana) per bulannya Rp 6 juta sampai Rp 15 juta. Padahal, sebelum ramai-ramai Porkas, tiga tahun yang lampau jumlah itu rata-rata Rp 25 juta tiap bulan. Berarti terjadi penurunan nyaris separuh, sekalipun bank sudah memberi iming-iming kepada penabung yang beruntung berupa hadiah sepeda motor, selain fasilitas penarikan tabungan dipermudah menjadi dua hari sekali. "Kita mau apa? Kalau pemerintah tetap menyetujui TSSB dan KSOB, keadaan ya akan tetap begini," keluh Ir. Gde Wijaya, pimpinan bank pasar beraset Rp 1,5 milyar dengan 27 karyawan itu. Sebetulnya, masih banyak keluhan seperti ini. Malah berbagai peristiwa yang menyedihkan bisa dikaitkan dengan undian-undian itu. Di Medan, misalnya, tahun lalu seorang tukang becak membakar istrinya karena menghilangkan kupon Porkas sang suami. Ada pula pegawai BRI yang menggelapkan dana iuran haji karena rayuan KSOB dan TSSB. Di rumah tahanan Salemba kini meringkuk seorang pegawai Kantor Pos, dituduh menggelapkan uang milyaran rupiah, antara lain untuk membeli kupon KSOB (lihat Yang Korup, yang Malu, dan yang Edan). Akibat negatif KSOB dapat dikemukakan oleh seorang ahli ilmu sosial. Dekan Fakultas Ekonomi UGM, Dibyo Prabowo, misalnya, menyaksikan.sendiri betapa KSOB beredar di Pulau Nias yang terpencil di Lautan Hindia, di sebelah barat Sumatera Utara. "Ironisnya, dari daerah terpencil yang masih perlu dibantu itu, KSOB masih menyerap dana," kata Dibyo, yang beberapa waktu yang lalu pergi ke Nias untuk suatu penelitian. Maka, menurut Dibyo, tanpa diteliti cukup dianalisa -- dampak KSOB dan TSSB sudah jelas melemahkan perekonomian desa dan masyarakat bawah kota. Dan undian itu menurut ahli ini punya andil dalam dalam proses pemiskinan. Kenapa? Kalangan bawah, pecandu KSOB dan TSSB itu, lebih suka membuat rencana dengan anganangan. Uangnya dibelikan kupon dan berkhayal bila tebakannya kena akan membeli alat produksi atau menambah modal kerja. Mereka pun menghabiskan waktu untuk mengkaji berbagai kode atau merundingkan nomor jitu dan mengakibatkan mereka malas bekerja, tidak produktif. "Rentetan dampak sosial psikologis itu akhirnya sampai ke dampak ekonomi," kata doktor ekonomi lulusan Washington State University itu. Maka, produksi mereka menurun dan penghasilannya berkurang, daya belinya melemah. Keadaan bertambah dramatis karena tabungan yang dulu mereka miliki kini digunakan untuk membeli KSOB dan TSSB. Inilah agaknya yang disebut F-KP dengan penurunan etos kerja itu. "Jika KSOB dan TSSB tidak dilarang, proses pemiskinan itu akan terus berlanjut," katanya. Pengamatan Dibyo Prabowo memang bukan ditunjang penelitian. Seperti dikatakan ahli ekonomi regional dari UI, Dr. Iwan Jaya Ais, secara intuitif segera bisa disimpulkan bahwa KSOB dan TSSB itu telah menyedot dana daerah ke pusat yang jumlahnya cukup besar. Tapi ia mengakui bahwa, secara penelitian, belum ada bukti itu. "Tentang hal ini kita perlu didukung data. Kita belum pernah melakukan penelitian," katanya. Betapapun penelitian secara ilmiah belum dilakukan, suara F-KP kali ini memang umumnya menarik perhatian. Sudah lama di fraksi itu sebetulnya berkembang sikap kurang setuju pada undian itu. Begitu Porkas dimulai, awal 1986, Ketua DPRD Jawa Timur, Blegoh Soemarto (dari F-KP), sudah berteriak menentangnya, khawatir undian itu akan memelaratkan rakyat kecil. Blegoh secara berani dan menantang arus mengusulkan dibukanya kasino dengan peserta khusus di pulau terpencil atau kutipan dari cukai rokok sebagai pengganti Porkas agar jangan rakyat kecil yang menjadi korban. "Sekarang pun pendapat saya tetap seperti dulu, Porkas atau apalah namanya, mesti dihapuskan," kata Blegoh ketika ditemui TEMPO di RS Persahabatan, Jakarta, Senin pekan ini. Ia dirawat karena menderita penyakit kanker tenggorokan. DPRD Aceh, Sumatera Barat (ketika itu didukung pula oleh gubernurnya, Azwar Anas), DPRD Jawa Timur dan belakangan DPRD Riau, tak setuju Porkas. Fatwa mengharamkan permainan itu karena dikategorikan judi muncul dari MU Aceh, Sumatera Barat, Solo, dan sejumlah MU lain, serta 100 ulama Jawa Barat. Memang di Aceh undian itu secara resmi dilarang beredar, tapi di daerah lain akhirnya berjalan lancar. Dalam rapat PK (perkiraan keadaan) yang dilakukan DPP Golkar awal 1987, daerah-daerah meminta agar izin Porkas ditinjau karena bisa menjadi batu sandungan bagi Golkar dalam kampanye pemilu. Tapi nampaknya soal itu tak mencuat keluar dan Golkar maju ke medan kampanye tanpa memoersoalkan Porkas. Toh rupanya belakangan F-KP jadi juga mengamati dampak Porkas pada masa reses panjang April -- Mei yang lalu. Hasilnya, Jika benar, memang mengenaskan. Seperti yang diungkapkan Indra Bambang Oetoyo (F-KP), dalam setahun KSOB dan TSSB bisa menyerap dana Rp 1,2 trilyun. Itu melebihi jumlah dana bantuan pusat yang dialirkan ke daerah dalam APBN tahun lalu, yakni Rp 1 182 trilyun. Padahal, uang yang dikembalikan sebagai hadiah untuk penebak jitu undian itu tak lebih dari 15% untuk KSOB dan 30% untuk TSSB. "Arus dana yang masuk ke pusat lebih besar dari yang ditinggalkan di daerah," kata Indra, yang dikenal sebagai Ketua Umum FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri ABRI) itu. Semua ini masih baru perkiraan kasar. Toh tetap sulit diduga apakah riwayat KSOB dan TSSB akan berakhir setelah ini. Ataukah Anda mau menebak? Amran Nasution, Budiono Darsono, Yopie Hidayat, Aries Margono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus